Senin, 14 Juli 2014

MY OLD STORY

Cast:
You & Yours

Genre:
Sad, Hurt, Comfort

Length:  2508 words (twoshoot)

Author : Miranti Rizkika.

NO COPYPASTE! :D


YOU POV

Kami bertemu lagi. Sungguh tidak diduga, kupikir dia akan selamanya menghilang. Kedua bola mataku menatapnya dari kejauhan, bahkan nyaris tak berkedip. Aku ingin mata kami saling menyapa, walau setengah hatiku berkata tidak mau. Satu persatu orang – orang datang menyapaku, menanyakan kabarku, membuatku mengalihkan pandangan darinya. Apakah akan kau lakukan hal yang sama seperti mereka? Seperti dulu.

“Selamat pagi.”

“Kau lagi.” Kupercepat langkah kakiku guna menghindarimu sambil mengatur nafas, aku memang tidak terlalu berbakat dalam ‘jalan cepat’. Tak kudengar lagi suara langkah kakimu di belakangku. Oh, kutarik kembali semua ucapanku. Mungkin aku memang berbakat.

“Ayolah, kakimu akan sakit jika berjalan terus.” Suara itu terdengar kembali, namun diiringi suara kayuhan sepeda, diakhiri dengan sebuah suara bell.

Kuhentikan langkahku, lantas menoleh dengan lambat, hingga beberapa detik kemudian yang terdengar hanya bunyi ban yang sedikit berdecit. Matamu menatapku lembut, diiringi senyummu yang dibuat semanis kembang gula. Astaga, aku ingin muntah.

Kau mengedikan kepalamu kearah belakang, bermaksud memberitahuku ada tempat kosong pada kumpulan besi dengan roda yang sedang kau duduki. Entah kenapa aku seperti tidak punya pilihan lain. Kakiku menghampirimu, menghampiri sepedamu. Selama melangkah aku terus menunduk menatap ujung sepatuku. Aku terkejut mendapati sneakers putihmu berada di hadapan sepatuku, hingga aku mendongakan kepalaku. Terperangkap dalam lensa hitam milikmu,aku hanya bisa membeku. Hingga suaramu mencairkanku.

“Apa kabarmu? Merindukanku?”

Telingaku kini tengah mencari suara gaduh yang mendominasi, dan mataku mendapati sebuah panggung yang diatasnya terdapat suara nyanyian. Di iringi suara tepuk tangan dan tawa, aku sedikit bingung, kau tidak berada pada tempatmu tadi. Hingga aku mendengar suara gelak tawa, yang kuyakini itu suara yang aku kenal. Kulihat kau tak jauh dari suara nyanyian yang aku dengar sebelumnya. Kau bahkan terlihat sangat bahagia. Kau? Sebahagia itu dirimu?

Deburan ombak yang tenang sedang kunikmati, meskipun keadaanku kini sangat berantakan. Rambutku terurai lepas tak seperti biasanya,bahkan aku masih memakai pakaian olahraga rutinku. Sepatuku sudah terlepas, telapak kakiku bersentuhan langsung dengan butiran putih yang terhampar luas. Mataku menatap keujung lautan, seperti mencari sesuatu disana. Kutemukan matahari yang belum meninggi, menambah penjelasan mengapa tempat ini masih sepi dan tenang.

“Jadi, kau menikmati kencan ini?” kau berbisik lembut di telingaku, membuatku mengerucutkan bibir. Tidak habis pikir apa yang terjadi dengan otakmu. Atau mungkin, jiwamu yang terganggu.

“Kencan apa? Kau menculikku.” Tandasku kesal, bagaimana bisa ini dibilang kencan? Bahkan aku masih sulit menemukan dimana sisi manis dan romantisnya. Dia siap sekali dengan celana pendek dan kaosnya, sedangkan aku? Jaket sport dipadukan dengan celana jogging berwarna merah. Sungguh tidak cocok dalam suasana seperti ini. Bodohnya aku. Percaya saja dengan rayunya yang mengatakan akan mengantarku pulang. Kakiku pegal, dan dia benar – benar mencuri kesempatan saat itu

“Oh benarkah? Kalau begitu kau korbanku yang sangat menurut.” Ujarmu diakhiri tawa kemenangan. Entah mengapa pipiku memanas, kemudian kepalaku menunduk.

“Kau bodoh!” ujarku tak mau kalah.

“Kalau begitu kau lebih bodoh, menuruti keinginanku.”

“Kau jelek!”

“Coba kau berkaca, sekarang ini siapa yang paling jelek?”

“Aish, kau!” tanganku mengepal, memukuli  bahumu tanpa ampun. Namun kau yang harusnya merasa kesakitan malah tertawa hebat. Menambah kekesalanku saja, kau masih tertawa. Sangat bahagia.

Aku tidak tahan lagi, mataku terasa perih dan panas sekali. Sebelum cairan bening itu keluar dari pelupuk mataku, aku memilih pergi. Pandanganku menyapu sekitar, mencari jalan untuk keluar dari gedung yang penuh riuh ini. Kutemukan sebuah pintu yang terbuka, mengarah ke rerumputan hijau yang terhias bunga berbagai warna. Sungguh menyita perhatianku, yang kembali tertuju padanya. Kugelengkan kepalaku pelan, menghapuskan memori yang seharusnya sudah mati ditelan sang waktu. Aku mendudukan tubuhku diatas lantai yang berdekatan dengan tangga, membuat kakiku menggantung cukup tinggi diatas permukaan tanah. Kuayunkan kedua kakiku perlahan, membuat sepasang stiletto putih yang kukenakan terlepas membentur tanah.

“Hei.” Sial. Kakiku terasa sangat sakit saat aku masih mendengar suaramu meskipun cukup jauh kudengar di belakang. Untuk apa dia mengejarku? Seharusnya ia menikmati kemesraannya dengan gadis dengan dandanan sedikit berlebih itu. Astaga, bahkan gadis itu jauh lebih mirip dengan bibiku yang berselisih 10 tahun dengan umurku.

“Berhenti.” Ujar suaramu yang semakin mendekat, gerak kakiku semakin cepat nyaris berlari. Untuk apa aku bersusah payah memakai dress pastel dan high heels dengan warna senada untuk menontonmu hari ini? Aish, bahkan aku malah jadi sulit berjalan. Semua itu karenamu!

“Aku bilang berhenti.” Kau berkata dengan tenang sambil menangkap pergelangan tanganku. Wajahku kini lurus menghadapmu dengan mataku yang berkilat marah.

“Kau kenapa?”
“Cih..” Aku mendesis kesal, dia tidak sadar apa kesalahannya? Laki – laki ini benar – benar idiot. Beberapa detik kemudian kulihat pupil matamu yang membesar, seperti menyadari sesuatu.
“Hahahahahaha…” kau malah tertawa? Astaga, memangnya apa yang lucu pada saat seperti ini? Aku mengerucutkan bibirku kesal, membuat dirimu berhenti tertawa. Matamu lembut menatapku, aku hanya terpaku.
“Kau..cemburu?” Apa? Cemburu? Tentu saja iya! Ah tidak, mungkin hanya kesal. Harusnya dia tidak mesra begitu dengan guru musiknya! Aish, jadi. Aku cemburu? Begitu?

 Kau tersenyum senang kemudian berjongkok dihadapanku. Aku menunduk untuk melihat apa yang kau lakukan. Tiba – tiba kakiku merasa lega sekali, kau melepas sepasang benda penyiksa yang aku pakai barusan.Aku tersenyum samar, merasakan lega.Beberapa saat kemudian kau berbalik, dengan posisi masih berjongkok.

“Cepat naik, kakimu pasti sakit sekali. Sampai merah begitu.” Ujarmu sambil memberikan sepasang sepatuku. Entah mengapa kali ini tak ada ragu lagi. Segera aku menaiki punggung kokohmu, mengalungkan kedua tanganku ke lehermu. Seraya kau bangkit berdiri, jantungku kini berdebar kencang. Mungkin pada detik itulah aku merasakannya. Aku mengakuinya. Aku, jatuh cinta padamu.

“Kau tidak masuk?” suara lembut itu membuat aku kembali tersadar, dengan cepat aku turun dan memakai kembali sepatuku.
“Kau harus masuk, ini acara yang ditunggu semua gadis.” Ujar suara itu senang, gadis itu merangkul bahuku dan berjalan memasuki ruangan. Acara yang ditunggu semua gadis. Apa termasuk aku? Apa aku juga menunggu acara itu?

Terlihat kerumunan di depan sebuah panggung yang tidak terlalu tinggi, kami mendekati tempat tersebut. Aku hanya menghela napas melihatmu diatas sana, tersenyum manis. Ah, senyum yang selalu aku rindukan. Kau mungkin tidak menyadari kehadiranku, matamu hanya memandang lekat pada sisi kirimu kemudian berbalik membelakangi kami. Aku, dan kerumunan itu. Kemudian terdengar suara hitungan singkat yang cukup keras dan kompak, tanpa suaraku yang ikut berseru.

“SATU…DUA…TIGA!”

GREEP

Terdengar suara pekikan dari sekitarku, beberapa dari mereka tampak iri melihatku. Tanganku kini menggenggam sebuket bunga tulip berwarna putih. Aku hanya tersenyum tipis, menanggapi beberapa orang yang menepuk bahuku mengucapkan selamat.

“Kau akan menyusul mereka!.” Seru sahabatku –gadis yang merangkulku tadi- sambil berbisik padaku. Aku hanya tersenyum, menunjukan aku cukup bahagia. Rasanya seperti mimpi. Menyusul mereka? Apakah aku bisa?

Setelah acara itu, kini tiba saat yang paling mendebarkan untukku. Kami berbaris untuk mengucapkan beberapa kalimat yang merupakan doa, mungkin juga beberapa menyatakan rindu. Kira – kira dua orang berada di depanku, sebentar lagi waktuku untuk sampai padamu. Detik itu kau menolehkan pandanganmu padaku, aku hanya bisa menghindar. Bukan. Ia pasti memandang orang lain. Bukan aku.

Hingga tiba saatnya kini, aku berada tepat di depan mataku. Aku hanya tersenyum dan bertanya dalam hati, apakah kau masih peduli padaku? Mataku tak berhenti menatapnya, kau membalas tatapanku dengan cara yang sulit diartikan.

“Gadis yang cantik.” Ujarku lembut seraya menatap seseorang disampingmu, dibalas dengan helaan nafas dan senyum tipismu. Kau pasti sangat bahagia kan?
“Bagaimana keadaanmu sekarang? Pekerjaanmu bagaimana?” kau berkata sambil memandang ke arah lain. Lihat, bahkan menatapku pun kau tidak bisa.
“Aku baik. Pekerjaanku, kini aku mendapatkan posisi lebih baik di perusahaan.” Aku menjawabnya dengan lancar, bertolak belakang dengan perasaanku yang tertahan.
“Aku merindukanmu.”  Kau berbisik lembut di telingaku, membuat beban di bahuku semakin bertambah. Aku tau kau tidak serius mengatakan itu.
“Aku serius.” Seakan bisa membaca pikiranku kau mengatakan itu, bahkan aku terus diam. Hatiku berkata ingin mendengar lebih dari ini.
“Aku mencintaimu.” Kumohon jangan lakukan ini padaku! Kau bahkan terus menyiksaku dengan kata – katamu yang terlalu manis. Tiba – tiba tubuhku terasa lebih hangat, aku cukup sadar untuk merasakan lenganmu di punggungku. Aku merasakan pelukan hangat itu, aku yakin pelukan itu hanya sebatas pelukan untuk seorang teman. Tak ku pungkiri aku menikmatinya, aku merindukannya. Kudorong tubuhnya pelan agar menjauhiku, kemudian bergeser ke arah wanita cantik disampingmu. Aku menyalaminya dan memberi ucapan selamat. Wanita itu bahkan tersenyum bahagia dan mengangguk. Dia cantik sekali. Pantas untukmu.

Acara itu berlalu cukup cepat kurasa, kini aku sudah sampai di rumahku. Kulepas sepatuku cepat dan menaiki tangga, mengabaikan ajakan ibuku untuk makan malam. Kumasuki kamarku dan lekas menutup pintu lalu menguncinya. Aku menghempaskan tubuhku diatas kasur kemudian memeluk bantal putih kesayanganku, mengeluarkan semua emosiku disana. Terisak sekerasnya, membasahi bantal itu. Aku sadar, aku masih mencintainya.

YOUR’S POV

Tibalah hari ini. Rasanya sangat menyenangkan, sekaligus mendebarkan. Aku berusaha terus merasakan hal menyenangkan ini sampai akhir acara, setidaknya untuk menjaga perasaan wanita disampingku. Gadis pilihan ibuku. Bukan aku tidak menyukainya, aku hanya masih menyimpan sesuatu. Cintaku untuk gadis lain di masa laluku. Aku menghilang tanpa jejak dari sisinya –masa laluku- kemudian berhenti untuk menghubungi dan mencari kabarnya. Aku masih ingat ketika aku dengan kejam memutuskan perpisahan padamu.

“Kau kemana saja? Kau tau aku menunggumu lebih dari setengah jam.” Ujarmu kesal, sambil menghentakkan kakimu ke lantai. Aku hanya diam, kemudian merangkul bahumu memasuki cafe itu. Kau masih saja mengomel karena aku mengabaikan rajukanmu. Lucu sekali.

Kami berjalan menuju sebuah meja kosong di sisi jendela, kacanya tampak dihiasi butiran air. Suasana setelah hujan, membuat temperatur café ini jadi sedikit lebih dingin. Aku tau apa yang akan kau pesan saat seperti ini.

“Aku pesan-“
“2 Chicken Cream Sup, dan Teh Hangat.” Ujarku memotong ucapanmu, pelayan selesai mencatat dan pergi meninggalkan kami. Aku menatapmu sekilas, aku tau kau tersenyum barusan. Dan aku tau, aku akan segera kehilangan senyuman itu. Kami diam. Saling menatap dan tersenyum, kemudian kau mulai berceloteh riang tanpa kuminta. Kau bercerita mengenai atasan mu yang selalu meremehkan hasil karyamu, lalu kau mempraktekan gaya atasan mu yang menyebalkan itu, membuatku tersenyum nyaris tertawa. Aku tak mau tertawa. Aku bahkan tak mau kehilangan sedetikpun melihat semua yang kau lakukan. Sesaat kemudian kau tersipu malu menangkap mataku yang menatapmu lekat, aku yakin sekarang saat yang tepat untuk memulai pembicaraan ini.

“Ada yang ingin aku katakan padamu.” Ucapku sambil menggenggam tangan kirimu, mengabaikan pelayan yang menaruh pesanan diatas meja kami.
“Tunggu, aku lapar sekali. Biarkan aku menghabiskan ini dulu.” Kau menyendokkan sup mu tidak sabar, menyantap makanan itu dengan lahapnya. Aku mengangguk, membiarkan kau mengisi perutmu. Aku tau kau pasti tadi menungguku sangat lama,tentu  kau akan sangat lapar. Tak berniat menyantap hidanganku, aku lebih memilih memperhatikanmu. Tanganku tak lepas menggenggam tanganmu, aku sangat takut kehilanganmu. Tak terasa waktu begitu cepat berjalan, mangkuk sup mu sudah kosong. Inikah saatnya?

“Kau kelihatan diam hari ini. Bahkan tidak makan sama sekali. Ada apa?” ujarmu sambil mengelap mulut menggunakan kertas tisu.
“Aku ingin kau menjauhiku.” Kau menatapku terkejut, kemudian tertawa hambar.
“Aku serius. Aku ingin kau menjauhiku.” Aku menekankan setiap kata, membuatmu menghentikan tawa. Tanganku beralih dari tanganmu menuju cangkir teh dihadapanku, kutelan tetes demi tetes menyirami tenggorokanku yang sedikit kering.
“Menjauhimu? Apa mak-“
“Aku ingin kita mengakhiri hubungan ini.”
“Tapi kita tidak punya hubungan apapun.”
“Aku tau!” Sial. Emosiku malah tersulut, tanganku tanpa sadar meletakan cangkir itu cukup keras. Membuat suara cukup memilukan di telinga, kau terlonjak kaget. Maafkan aku.
“Aku tidak mempunyai perasaan apapun padamu. Kukira kau hanya gadis yang mudah aku taklukan, ternyata tidak. Mengejarmu cukup menguras energiku. Aku lelah, aku menyerah. Jangan hubungi aku lagi, jangan temui aku lagi. Anggap saja kita tidak pernah mengenal satu sama lain.” Ucapan kejam itu keluar begitu saja dari mulutku. Astaga, aku benar – benar jahat. Kau hanya menatapku dengan tatapan perih, kemudian menundukkan pandanganmu. Kulihat kilatan jejak basah di pipimu, aku tau kau melakukannya. Aku tau kau menangis.
“Aku pikir kau, benar – benar mencintaiku.” Ujarmu dengan suara parau, membuat hatiku semakin sakit saja. Aku hanya diam dan menghela napasku. Maafkan aku.
“Aku pikir kau berbeda dengan pria lain. Namun dugaanku salah.” Jangan katakan itu, aku mohon. Aku berbeda, aku hanya sedang berbohong.
“Aku banyak urusan. Permisi.” Ujarmu sambil berdiri dan meninggalkan bangku yang tadi kau duduki. Hatiku ingin sekali mengejarmu, memelukmu dan tak kulepaskan lagi. Tapi aku tidak bisa. Otakku melarang keras akan hal itu, dan aku kini diam membisu, menatap cangkirmu yang masih terisi penuh. Maafkan aku.

Waktu berlalu setelah beberapa bulan kemudian aku berusaha menghubungimu. Kukira kau akan mengabaikan telepon dariku, aku bahkan tak menyangka kau masih menyimpan nomor ponselku. Dengan dingin aku menanyakan alamatmu, dan kau polosnya menyebutkan apa yang kuminta. Tanpa bertanya apa tujuanku. Kau bahkan hanya menanggapi dengan nada ceria yang dibuat – buat saat aku mengatakan aku akan mengirimkan undangan. Undangan pernikahanku. Aku mengundangmu bukan untuk menyakitimu, aku ingin bertemu denganmu sekali lagi.

Tak dapat kupercaya! Aku melihatmu berjalan memasuki ruangan megah ini, menggunakan gaun dan sepatu hak tinggi. Mataku segera beralih melihat panggung di dekatku, tanganku menggenggam tangan wanita yang kini menjadi istriku. Kurasakan debaran itu berdetak hebat, aku tau kau sedang menatapku jauh disana. Kudengar beberapa temanku yang mengatakan ucapan selamat, aku hanya tertawa pelan menanggapinya.

Sesaat setelah itu aku kembali mencarimu, namun aku tak melihatmu. Kau menghilang, aku khawatir kau pergi. Aku tau aku sudah menyiksamu dengan adanya pernikahan ini. Hingga tiba saatnya pelemparan bunga dari pengantin wanita. Aku menatap istriku yang berada tepat di sebelah kiriku, gadis ini terlihat sangat bahagia.

“SATU…DUA…TIGA!”

GREEP

Terdengar suara pekikan dan seruan dari seisi ruangan. Aku terkejut ketika menadapatimu menangkap tulip putih dari istriku. Beberapa orang mengucapkan selamat padamu, kau terlihat cukup bahagia dengan senyumu.

Kini tiba saat yang aku nantikan.Orang - orang berbaris untuk mengucapkan selamat dan doa untuk aku dan pasanganku. Ketika dua orang berada di barisan terakhir didepanmu, aku melihatmu. Detik itu kau mengalihkan pandangan dariku, aku tau kau menghindar.

Kini kau berada dihadapanku, jantungku berdebar cepat.  Aku memandangmu dari atas ke bawah, kemudian kembali beralih pada matamu.  Kau tersenyum padaku, aku tau kau tidak sekuat itu. Jangan paksakan senyumu, aku mohon.

“Gadis yang cantik.” Ujarmu lembut.  Aku menatap wanita disampingku, kujawab ucapanmu dengan helaan nafas dan senyum tipisku. Kau lebih cantik. Aku hanya bisa bahagia bersamamu. Seandainya kau tau.
“Bagaimana keadaanmu sekarang? Pekerjaanmu bagaimana?” Aku bertanya padamu dengan tidak sabar, kemudian aku mengalihkan pandanganku. Lihat, aku bahkan hampir menangis saat menatapmu.
“Aku baik. Pekerjaanku, kini aku mendapatkan posisi lebih baik di perusahaan.” Kau kelihatan lebih baik sekarang, aku bersyukur kau mendapatkan posisi yang kau inginkan. Aku yakin atasanmu tidak lagi merendahkanmu.
“Aku merindukanmu.”  Aku mendekatkan bibirku pada telingamu dan berbisik.  Aku tau kau merasa kalau ucapan tadi tidak sungguh – sungguh.
“Aku serius.” Kau diam dan terlihat sangat lemah saat aku mengatakan itu.
“Aku mencintaimu.” Aku berkata lirih kemudian memelukmu erat – erat. Bisa kurasakan debaran jantungmu saat itu, aku bahkan seperti tak ingin melepaskanmu. Karena aku tau, ini akan jadi pelukan yang terakhir denganmu.  Tiba – tiba kau dorong tubuhku menjauh, kemudian bergeser kearah wanita disampingku. Kau menyalaminya dan memberi ucapan selamat. Istriku tersenyum bahagia dan mengangguk.

Tubuhku terasa sangat pegal setelah acara tersebut, kini aku sudah sampai di rumah. Kutinggalkan istriku yang sedang beristirahat di ruang tengah, aku mengatakan ingin membersihkan tubuhku segera. Kumasuki kamarku dan lekas menutup pintu lalu menguncinya, kemudian memasuki kamar mandi. Aku menghempaskan tubuhku dibawah shower . Tanpa melepaskan pakaian yang kukenakan, aku membasahi kepala dan tubuhku dengan air yang jatuh dari atas kepalaku. Membasahi seluruh tubuh dan wajahku, menyamarkan air mata yang mulai mengalir di pipiku. Aku sadar, aku kehilanganmu.




~~~~~~~~~~~~~~THE END~~~~~~~~~~~~~~~~

0 komentar:

Posting Komentar