Autumn Sleeves
Author : Miranti Rizkika
Kind of Songfiction-Oneshot
Genre : Romance
Length : 2563 words
Published : November, 30th 2016
It’s been a long time! Hope you like it ^-^
Uncertainty tipped me makes the wind feel cool
Rather than open the wardrobe to take the long sleeves
The memories that I forgot came to me
I covered the tears in front of me
Rather than open the wardrobe to take the long sleeves
The memories that I forgot came to me
I covered the tears in front of me
Aku terdiam, diatas kursi dekat meja belajarku. Menatap kosong pada lembaran - lembaran berisi hapalan, yang semalam sudah kukerjakan setengah mengantuk, semacam persiapan ujian yang dipaksakan. Tapi kini aku malah menyia-nyiakannya. Jangankan menghapal satu kalimat, menatap judulnya saja sudah muak. Aku lelah. Bosan.
Diluar rumah pasti jalanan sudah dipenuhi daun - daun yang menguning, berguguran karena memang sudah waktunya. Pantas udara mulai agak dingin, aku bahkan baru tersadar setelah tatapan beralih pada jemariku yang berada dibalik sweater rajutan, yang kau berikan padaku dua tahun lalu.
Ah. Dia lagi.
Aku mengikat rambutku asal, bermaksud kembali mengumpulkan tekad untuk mempelajari bahan ujian. yang sama sekali tak kusentuh sejak tadi pagi. Aku beralih menatap jadwal ujian yang dengan sengaja kutempel di dinding, menghitung waktu. Ujian tinggal menghitung jam, sekitar 17 jam lagi, diantara setiap mata kuliah ada jeda istirahat dua jam jadi-
Dua jam ya? Bukankan perbedaan waktu disini dan disana itu dua jam?
Dia. Lagi. Bodoh.
“Argh.” aku mengerang tanpa sadar. Membenci diriku sendiri yang tidak pernah bisa fokus pada lebih dari satu hal. Satu hal mengganggu, satu lagi urusannya akan terabaikan. Aku sudah seperti ini sejak semalam, padahal setahun terkahir ia sudah tidak pernah begini. Tak ada rasa rindu berlebihan, atau mengingat satu hal kecil yang ada sangkut pautnya dengan pria itu akan mengganggunya. Tentu saja aku memang merindukannya setiap hari, tapi, kali ini berbeda. Kini tubuhku rasanya lemas sekali, seperti kehabisan tenaga. Mungkin tekanan semester ini memang sangat berat, mungkin aku kurang menikmati kuliah saat ini, atau mungkin...aku hanya merindukannya.
Hanya itu.
---
Did i live pretend to not concern, pretend to be okay?
The hurt memories makes my head downs again
It becomes clear again your unheard laugh voice
When you filled my heart fully
The hurt memories makes my head downs again
It becomes clear again your unheard laugh voice
When you filled my heart fully
Kuhirup udara segar di sekitarku, jalan - jalan sebentar keliling sekitar rumah boleh saja kan? Bukan tidak mau belajar, aku hanya mengumpulkan ‘mood’ untuk kesiapanku menyerap hapalan tentang Rencana Anggaran Biaya dan teman - temannya yang harus dihitung dengan cepat, sesuai contoh kasus yang diberikan nantinya.
Membayangkan rumus - rumusnya membuat aku merasa mual. Astaga, kini nominal pemesanan jasa dan pemasangan kusen pintu dan jendela seperti berterbangan didepan mataku.
Ugh.
Sebaiknya aku duduk dan mencoba kembali berpikir jernih. Beberapa langkah dari tempatku sekarang terdapat kursi kosong, dengan beberapa helai daun berjatuhan keatasnya. Cantik sekali. Padahal biasa saja sih. Aku hanya berlebihan, mungkin karena stress. Ya ampun, sekarang aku bahkan berbicara sendiri dalam kepalaku, sepertinya aku hampir gila.
Aku menggelengkan kepalaku perlahan, membuat seorang ibu - ibu menoleh ke arahku dengan wajah bingung. Aku memutuskan untuk tidak menghiraukannya dan mempercepat langkahku untuk duduk di kursi itu. Aku menghela napas pelan, kemudian menyandarkan punggungku yang lelah ke sandaran kursi kayu itu. Manik mataku menangkap pemandangan helaian kekuningan yang berjatuhan dari pohon diatas kepalaku, tanpa sadar bibirku mengulas senyuman.
Indah.
Tanganku merogoh saku mantel, mencari ponsel berwarna putih yang mungkin sekarang sudah ketinggalan jaman, ya mau bagaimana lagi, belum rusak dan belum harus diganti.
Hingga beberapa detik kemudian layarnya berkedip empat kali saat aku menekan tombol buka kunci, oh...mungkin memang harus di perbaiki sedikit, awal bulan nanti aku akan pergi ke tempat temanku dan minta untuk dibetulkan. Lumayan kan, gratis.
Tepat saat layar ponselku kembali normal, aku baru menyadari foto yang kupilih sebagai latar belakang layar kunci. Seorang pria berambut hitam yang menatap tepat ke arah kamera, namun posenya sedikit tidak siap, dengan krim kopi yang mengiasi bibir atasnya. Dia agak kesal ketika aku memotretnya tanpa membiarkan dirinya menggunakan gaya sok keren andalannya, atau gaya imut yang cocok untuk digunakan oleh anak umur lima tahun yang selalu digunakannya untuk menghibur aku yang sedang sedih. Namun bagiku foto ini adalah yang paling kusukai diantara fotonya yang lain. Ia terilhat sedikit menggemaskan, namun tidak melunturkan satu persen pun ketampanannya.
Aku baru tersadar dari lamunan setelah layar ponselku kembali mati, karena aku terlalu lama menatap fotonya. Ck, berarti aku harus menggeser tombol kunci dan menunggunya untuk berkedip empat kali lagi. Aku membuka ponselku (setelah layarnya berkedip empat kali tentu saja, rrrr) dan terdapat satu pesan masuk, dari teman kelasku yang meminta materi ujian. Kukirimi ia beberapa foto catatan yang kupotret sebelumnya (siapa tau aku akan belajar sebelum tidur jadi kupotret saja), lalu menggeser kursor ke menu kontak. Jariku refleks menggulir kursor kebawah, mengamati satu persatu orang yang berada pada daftar kontakku. Perlahan menurun menuju abjad nama penggunya yang digunakan olehnya, mataku langsung menatap layar status terakhir yang ia tulis.
‘Sibuk’
Aku, benci kata itu. Kata itu membuat aku jauh darinya selama ini, setahun pertama ia masih bisa menghubungiku setiap hari meskipun tak sesering dulu saat aku masih tahun pertama kuliah dan ia masih melakukan persiapan untuk pelatihan. Namun beberapa bulan berikutnya ia mulai jarang menghubungiku, setiap pesan yang aku kirimkan paling cepat akan ia balas setelah seharian. Pesan yang aku kirimkan pagi hari akan ia balas ketika malam hari saat aku sudah tertidur. Begitu setiap harinya sampai akhirnya aku lelah dan mulai larut dalam kesibukanku sendiri, begitu pun dia. Kami hanya sesekali saling menghubungi ketika larut malam, atau bahkan ketika ada momen penting untuk diceritakan.
Aku membuka percakapan terakhir yang kulakukan dengannya, sekitar delapan bulan yang lalu. Ketika ia berada di sela - sela waktu latihan dan diperbolehkan menggunakan ponsel.
Kau sedang apa?
Istirahat, akhirnyaa.
Sesibuk itu -_- sekarang kau boleh menggunakan ponsel?
Boleh, pelatihku sedang baik. Kami semua sekarang sedang bermain ponsel, rasanya seperti orang primitif saja kkk~
Apa kau sehat - sehat saja disana? Makan dengan baik?
Tentu saja. Makanan disini enak, kau harus mencobanya, aku yakin kau akan menyukainya ^-^
Bagaimana caranya? Jarak antara kita 3280 mil T-T
Ah, kau membuat aku sedih T-T. Tunggu saja, akan ada saatnya aku kembali :)
Cepatlah kembali
Aku harus kembali berlatih, pria itu mulai marah - marah tidak jelas lagi -_-. Aku pergi yaa, jaga kesehatanmu.
Cepat sekali :’(
Kkkk~ maaf.
Oh iya, berjanjilah padaku, jangan menangis :)
Jangan menangis katanya? Dasar bodoh. Aku mengingat seberapa marahnya aku saat itu dan memutuskan untuk tidak membalas kembali pesannya. Sedikit berharap ia akan kembali menghubungiku setelah itu.
Tapi tidak.
Hal itu tidak pernah terjadi,
sampai saat ini.
---
After struggling like that, I try to look for you again
I took you out the day when I miss you a lot
I struggling hold it, I closed my heart
Only the good memories left
Forget everything
I took you out the day when I miss you a lot
I struggling hold it, I closed my heart
Only the good memories left
Forget everything
Setelah lelah berjalan selama beberapa jam, aku memutuskan untuk kembali ke kamarku yang hangat. Musim gugur memang terasa lebih dingin dari biasanya, membuat diriku jadi merasa lebih betah berada di rumah.
Aku perlahan berjalan menuju kamarku sambil menjinjing sepatu boot warna oranye kecoklatan yang tadi kupakai, menaruhnya sembarangan didalam rak sepatu. Dingin sekali, aku harus menghangatkan diriku.
Aku melepaskan mantel hitamku dan menggantungnya dekat pintu masuk, kemudian berjalan perlahan menuju dapur dengan kaki sdikit berjingkat. Bagaimana bisa lantainya juga terasa dingin astaga -_-.
Tanganku meraih gagang pintu lemari makanan dan menggesernya, mencari bungkusan berwarna perak berisi bubuk coklat. Segelas coklat hangat sudah terbayang di otakku, kini aku membuka pembungkus itu tergesa, kemudian tiba - tiba bungkusan itu terjatuh. Bubuk coklatnya mengotori lantai, isi didalam bungkusnya mungkin tinggal seperempat. Aku-
Jangan ceroboh, kau ini sudah kepala dua.
Kalimat itu tiba - tiba memasukki pendengaranku, aku sedikit terkejut dengan ingatan itu yang tiba - tiba berputar layaknya roll film. Aku menatap kosong kearah lantai yang kotor. Pikiranku melayang entah kemana. Kini aku dapat mendengar sekilas suara tawa kecilnya melewati gendang telingaku.
Setetes air mata mengalir dari mata kananku, aku terkejut dan mengerjapkan kelopak mataku. Aku mengelap jejak buliran di pipiku dengan ujung lengan sweaterku, berusaha menahan sesak itu sekuat tenaga.
Aku berjongkok dan mengambil bungkusan coklat itu dan menuangkan sisanya kedalam gelas, ternyata masih tersisa banyak, hanya sedikit yang terbuang. Kemudian mengisinya dengan air panas dan mengaduknya tidak sabar, aku mengerucutkan bibirku kesal.
Karena coklat hangatnya tidak utuh, ah bukan-
Aku merindukannya.
Sungguh.
Rasanya seperti mau mati saja.
---
The familiar your warm fragrant
It still lingers at the end of my nose
My wishes slowly go far away
Flowing following you go
It still lingers at the end of my nose
My wishes slowly go far away
Flowing following you go
Selesai!
Setelah menghabiskan segelas coklat hangat tadi aku mulai merasa dipenuhi energi, dan memutuskan kembali ke kamarku untuk melanjutkan hapalan yang tadi tertunda. Aku menulis kembali rangkuman dari beberapa catatanku, berharap terdapat beberapa bahasan yang menempel di kepala.
Jam sudah menunjukan pukul delapan malam. Aku merentangkan tubuhku, beberapa tulangku berbunyi, setelah berjalan kemudian duduk seharian yang membuatku begitu merasa pegal. Sedikit rasa lega memasuki ruang dadaku, setidaknya satu targetku hari ini terselesaikan, tinggal menunggu takdir yang aku harap membantuku menyelesaikan ujian dengan hasil yang baik.
Aku tersenyum tipis, sedikit teringat akan kecerobohanku tadi, dan tangis yang tadi begitu kuat aku tahan. Memang begitu seharusnya, begitulah biasanya. Aku kuat, aku tidak akan menangis hanya gara - gara merindukannya di pertengahan musim gugur. Aku tidak akan mengingatnya dalam keadaan sedih, aku hanya akan mengingatnya sebagai penyemangatku.
Bukankah kami sedang sama - sama berjuang? Aku sangat percaya padanya disana, dan aku tidak akan menyia-nyiakan kepercayaannya yang ia titipkan padaku.
Tanganku meraih pinggiran tempat tidur dengan lemah, menggerakan badanku kearah kasur dan merebahkan tubuhku diatasnya. Mendesah lega, akhirnya kini tubuhku terasa nyaman, tulang punggungku terasa amat lurus sekarang. Aku meraih selimut berwarna biru tua dengan motif bintik putih itu dengan lemah, menutupi dari ujung kaki sampai leherku.
Aku menatap kearah jam dinding, berusaha untuk mengantuk karena sebenarnya aku merasa sangat lelah, tapi mataku tidak juga mau terpejam.
Aku mengamati pergerakan jarum berwarna merah itu, dan sedikit demi sedikit mulai merasa mengantuk. Aku mulai menguap dan air mata mulai terasa di pelupuk mataku. Ini saatnya aku memasuki alam mimpi, aku harus ti-
♫ We share our hobbies like forcing together a puzzle
I used to call you “hey” but now you’re “baby”
It’s such a familiar scene, like dejavu ♬
I used to call you “hey” but now you’re “baby”
It’s such a familiar scene, like dejavu ♬
Ya ampun, sebegitu merindunya ya? Aku sampai mendengar ringtone yang aku pilihkan khusus untuk panggilan darinya, rasanya aku sampai lupa kalau aku yang memilihkan lagu itu untuknya, eh tapi sebentar-
Drrrt...Drrrt...
♫ You feel it too, this is a bit funny
Like the development, crisis, peak and ending of a book
It’s always the same process, it’s just that
The temperature of dating gets hot then cools down
It’s always been like that so I can’t even get butterflies anymore ♫
Like the development, crisis, peak and ending of a book
It’s always the same process, it’s just that
The temperature of dating gets hot then cools down
It’s always been like that so I can’t even get butterflies anymore ♫
Itu bukan khayalan??
Aku terbangun dengan cepat sampai merasakan sakit di pinggangku. Setelah sedikit mengumpat sambil mengelus pinggang yang sakit, aku meraih ponselku terburu, dan menatap fotonya yang muncul di layar dengan simbol telepon berwarna hijau dibawahnya. Aku masih memasang wajah datar saking terkejutnya, kemudian menggeser kursor untuk menjawab panggilan.
“H-Halo?”
“Hello baby how are you”
Ujarnya dengan suara agak serak, aku merasa sangat senang mendengar suaranya kembali, namun daru suaranya aku memperkirakan kalau ia sedang tidak sehat. Tunggu, dia tadi menyapaku ala drama amerika? Eww...
“Cih.” Decakku dengan nada agak geli dengan ucapannya barusan. Kemudian aku mendengar suara tawanya yang teramat aku rindukan, bahkan aku bisa melihat bagaimana ia tertawa saat ini hanya melalui suaranya.
“Bagaimana kabarmu?”
“Aku, baik. Hanya sedikit lelah karena harus belajar untuk ujian.”
“Uh, besok sudah mulai ujian ya.”
“Iya.”
Aku mendengar suaranya menghela napas, ia seperti amat kelelahan namun tetap berusaha menghubungiku. Kemudian tiba - tiba sambungan terputus.
Aku sedikit terkejut karena tiba - tiba teleponnya ditutup. Mataku menatap layar ponsel yang sudah kembali ke layar wallpaper biasa. Mungkin, aku tadi benar bermimpi.
Ah sudahlah.
♫ We share our hobbies like forcing together a puzzle
I used to call you “hey” but now you’re “baby”
It’s such a familiar scene, like dejavu ♬
I used to call you “hey” but now you’re “baby”
It’s such a familiar scene, like dejavu ♬
Dengan gerakan secepat kilat aku mengangkat panggilannya, dan kali ini panggilan video. Aku langsung mengangkatnya begitu saja tanpa persiapan, tak menyadari kalau rambutku kini sudah setengah berantakan.
Perlahan gambaran kotak-kotak itu mulai membentuk sesosok wajah yang aku rindukan, ia tersenyum dan melambaikan tangannya pelan. Aku tersenyum dan ikut melambai dengan kaku.
“Maaf, aku ingin melihat wajahmu jadi langsung kututup telponnya.”
“Ah iya, tidak apa-apa. Jadi bagaimana hari-harimu?”
“Melelahkan, tapi menyenangkan juga. Keahlianku bertambah dan aku punya banyak teman baru. Beberapa diantara mereka menanyakan tentang dirimu.”
“Kemudian kau bilang apa?” ujarku sambil setengah tertawa melihat wajahnya yang agak kecut setelah mengatakan itu.
“Aku tidak bilang apa - apa, tidak ada satupun dari mereka yang boleh mengetahui tentangmu. Aku tidak mau membagi informasi tentang pacarku.” ucapnya sambil sedikit memanyunkan bibir, aku tertawa dan ia juga membalas tawaku. Kutatap matanya yang kini terdapat garis hitam dibawahnya, ia pasti lelah sekali.
“Kau pasti sangat merindukanku kan? Sudah lama aku tidak menghubungimu. Tenang saja aku merindukanmu juga~”
“Huh aku...tidak.”
“Aaah ayolah, aku tau kau sangat sangat sangattt merindukanku. Kau pasti mengingatku apa pun yang kau lakukan, mendengar suaraku bahakn ketika aku tidak ada disana dan bahkan memandangi fotoku seharian sambil menangis. Iya kan? Mengaku sajaa~” ujarnya dengan nada percaya diri, bermaksud menggodaku.
“A-aku...hiks.”
Tawanya berhenti setelah mendengar suaraku. Ia terdiam dan menatapku dalam - dalam disana. Aku sendiri sudah tidak bisa mengontrol keadaanku, mulai terisak pelan.
“Maafkan aku.”
Mendengar suaranya kembali membuat tangisku semakin pecah. Pandangan mataku mulai tidak jelas karena air mata mendesak keluar, wajahnya mulai samar - samar. Ia tetap terdiam disana, menatapku tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
“Aku merindukanmu.”
Sambil terisak aku mengatakan itu agak keras, terdapat emosi yang meluap disana.
“Aku merindukanmu!”
Aku menekuk lututku dan membenamkan wajahku disana, dengan tetap memegang lurus ponselku. Terlihat samar - samar ia bergerak mendekati layar, berusaha melihat lebih dekat keadaanku saat ini. Setelah tangisanku reda, ia tersenyum menatapku.
“Sudah?”
Aku mengangguk mengiyakan, menatap matanya yang kini terlihat terluka. Sesaat kemudian ia mengerang frustasi, kemudian memandang ke arah belakang ponselnya.
“Sekarang tanggal berapa?”
“Mmm...30 Agustus.”
Ia menggumamkan tanggal sambil tetap memandang ke arah belakang ponselnya, bibirnya seperti sedang menghitung sesuatu. Aku mengira jika ia sedang memandang kalender yang tergantung disana.
“Ah! Bulan depan aku ada libur, aku akan berusaha agar bisa pulang menemuimu.”
Ia tersenyum lemah, kemudian ibu jarinya mengusap layar, terasa seperti ia berusaha menghapus jejak airmataku dengan jemarinya. Aku memandangnya dalam. Begitu aku sangat merindukannya, hingga sedalam ini.
“Ah atau aku kabur saja besok ya? Mungkin aku bisa bolos sekitar dua hari dan mengatakan ada urusan darurat disana lalu-”
“Kau tidak perlu melakukannya.”
“Aku bisa! Tidak apa - apa kan hanya dua ha-”
“Aku bilang tidak usah, aku baik - baik saja.” ia berhenti kemudian menatapku cemas, kemudian kembali mengusap layar, berusaha mengusap pipiku dari sana. Aku tersenyum senang, setidaknya aku juga tau kalau ternyata ia juga merindukanku, ia berusaha menemuiku.
“Oh iya, bulan Januari nanti aku boleh kembali menggunakan ponsel! Aku akan langsung menghubungimu ketika itu terjadi.”
“Woah.Benarkah?”
Ia mengangguk antusias, kemudian tersenyum manis. Aku membalas senyumannya, kemudian mengelap sisa air mata di ujung mataku.
“Aku juga merindukanmu. Kau tau itu kan? Aku, tidak akan pernah berhenti memikirkanmu. Bahkan aku merindukanmu lebih dari kau merindukanku. Jadi, kuatlah, ya?”
Ia berkata dengan suara beratnya, membuat aku amat tenang dan merasa sangat kuat saat itu juga. Bahkan mendengar suaranya saja begitu membuatku dipenuhi energi.
“Aku mencintaimu.” ujarnya setengah berbisik
“Aku juga.” ujarku ikut berbisik sepertinya. Ia tersenyum dan melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan. Aku ikut melambai padanya, dan ia tertawa kecil kemudian mengakhiri panggilannya. Setelah aku merebahkan kembali tubuhku keatas kasur, aku mendapat sebuah pesan suara darinya. Kubuka pesan itu dan mendekatkan ponselku ke telinga untuk mendengar pesan darinya.
“Jangan menangis, aku merindukanmu. Selamat ujian!”
---THE END---
0 komentar:
Posting Komentar