Cast:
You & Yours
Genre:
Sad, Hurt, Comfort
Length: 2508 words (twoshoot)
Author : Miranti Rizkika.
NO COPYPASTE! :D
Author : Miranti Rizkika.
NO COPYPASTE! :D
YOU POV
Kami
bertemu lagi. Sungguh tidak diduga, kupikir dia akan selamanya menghilang.
Kedua bola mataku menatapnya dari kejauhan, bahkan nyaris tak berkedip. Aku
ingin mata kami saling menyapa, walau setengah hatiku berkata tidak mau. Satu
persatu orang – orang datang menyapaku, menanyakan kabarku, membuatku
mengalihkan pandangan darinya. Apakah akan kau lakukan hal yang sama seperti
mereka? Seperti dulu.
“Selamat pagi.”
“Kau lagi.” Kupercepat langkah kakiku guna menghindarimu
sambil mengatur nafas, aku memang tidak terlalu berbakat dalam ‘jalan cepat’.
Tak kudengar lagi suara langkah kakimu di belakangku. Oh, kutarik kembali semua
ucapanku. Mungkin aku memang berbakat.
“Ayolah, kakimu akan sakit jika berjalan terus.” Suara
itu terdengar kembali, namun diiringi suara kayuhan sepeda, diakhiri dengan
sebuah suara bell.
Kuhentikan langkahku, lantas menoleh dengan lambat,
hingga beberapa detik kemudian yang terdengar hanya bunyi ban yang sedikit
berdecit. Matamu menatapku lembut, diiringi senyummu yang dibuat semanis
kembang gula. Astaga, aku ingin muntah.
Kau mengedikan kepalamu kearah belakang, bermaksud
memberitahuku ada tempat kosong pada kumpulan besi dengan roda yang sedang kau
duduki. Entah kenapa aku seperti tidak punya pilihan lain. Kakiku
menghampirimu, menghampiri sepedamu. Selama melangkah aku terus menunduk
menatap ujung sepatuku. Aku terkejut mendapati sneakers putihmu berada di
hadapan sepatuku, hingga aku mendongakan kepalaku. Terperangkap dalam lensa
hitam milikmu,aku hanya bisa membeku. Hingga suaramu mencairkanku.
“Apa kabarmu? Merindukanku?”
Telingaku
kini tengah mencari suara gaduh yang mendominasi, dan mataku mendapati sebuah
panggung yang diatasnya terdapat suara nyanyian. Di iringi suara tepuk tangan
dan tawa, aku sedikit bingung, kau tidak berada pada tempatmu tadi. Hingga aku
mendengar suara gelak tawa, yang kuyakini itu suara yang aku kenal. Kulihat kau
tak jauh dari suara nyanyian yang aku dengar sebelumnya. Kau bahkan terlihat
sangat bahagia. Kau? Sebahagia itu dirimu?
Deburan ombak yang tenang sedang kunikmati, meskipun
keadaanku kini sangat berantakan. Rambutku terurai lepas tak seperti
biasanya,bahkan aku masih memakai pakaian olahraga rutinku. Sepatuku sudah
terlepas, telapak kakiku bersentuhan langsung dengan butiran putih yang
terhampar luas. Mataku menatap keujung lautan, seperti mencari sesuatu disana.
Kutemukan matahari yang belum meninggi, menambah penjelasan mengapa tempat ini
masih sepi dan tenang.
“Jadi, kau menikmati kencan ini?” kau berbisik lembut di
telingaku, membuatku mengerucutkan bibir. Tidak habis pikir apa yang terjadi
dengan otakmu. Atau mungkin, jiwamu yang terganggu.
“Kencan apa? Kau menculikku.” Tandasku kesal, bagaimana
bisa ini dibilang kencan? Bahkan aku masih sulit menemukan dimana sisi manis
dan romantisnya. Dia siap sekali dengan celana pendek dan kaosnya, sedangkan
aku? Jaket sport dipadukan dengan celana jogging berwarna merah. Sungguh tidak
cocok dalam suasana seperti ini. Bodohnya aku. Percaya saja dengan rayunya yang
mengatakan akan mengantarku pulang. Kakiku pegal, dan dia benar – benar mencuri
kesempatan saat itu
“Oh benarkah? Kalau begitu kau korbanku yang sangat
menurut.” Ujarmu diakhiri tawa kemenangan. Entah mengapa pipiku memanas,
kemudian kepalaku menunduk.
“Kau bodoh!” ujarku tak mau kalah.
“Kalau begitu kau lebih bodoh, menuruti keinginanku.”
“Kau jelek!”
“Coba kau berkaca, sekarang ini siapa yang paling jelek?”
“Aish, kau!” tanganku mengepal, memukuli bahumu tanpa ampun. Namun kau yang harusnya
merasa kesakitan malah tertawa hebat. Menambah kekesalanku saja, kau masih
tertawa. Sangat bahagia.
Aku
tidak tahan lagi, mataku terasa perih dan panas sekali. Sebelum cairan bening
itu keluar dari pelupuk mataku, aku memilih pergi. Pandanganku menyapu sekitar,
mencari jalan untuk keluar dari gedung yang penuh riuh ini. Kutemukan sebuah
pintu yang terbuka, mengarah ke rerumputan hijau yang terhias bunga berbagai
warna. Sungguh menyita perhatianku, yang kembali tertuju padanya. Kugelengkan
kepalaku pelan, menghapuskan memori yang seharusnya sudah mati ditelan sang
waktu. Aku mendudukan tubuhku diatas lantai yang berdekatan dengan tangga,
membuat kakiku menggantung cukup tinggi diatas permukaan tanah. Kuayunkan kedua
kakiku perlahan, membuat sepasang stiletto
putih yang kukenakan terlepas membentur tanah.
“Hei.” Sial. Kakiku terasa sangat sakit saat aku masih
mendengar suaramu meskipun cukup jauh kudengar di belakang. Untuk apa dia
mengejarku? Seharusnya ia menikmati kemesraannya dengan gadis dengan dandanan
sedikit berlebih itu. Astaga, bahkan gadis itu jauh lebih mirip dengan bibiku
yang berselisih 10 tahun dengan umurku.
“Berhenti.” Ujar suaramu yang semakin mendekat, gerak
kakiku semakin cepat nyaris berlari. Untuk apa aku bersusah payah memakai dress
pastel dan high heels dengan warna senada untuk menontonmu hari ini? Aish,
bahkan aku malah jadi sulit berjalan. Semua itu karenamu!
“Aku bilang berhenti.” Kau berkata dengan tenang sambil
menangkap pergelangan tanganku. Wajahku kini lurus menghadapmu dengan mataku
yang berkilat marah.
“Kau kenapa?”
“Cih..” Aku mendesis kesal, dia tidak sadar apa
kesalahannya? Laki – laki ini benar – benar idiot. Beberapa detik kemudian
kulihat pupil matamu yang membesar, seperti menyadari sesuatu.
“Hahahahahaha…” kau malah tertawa? Astaga, memangnya apa
yang lucu pada saat seperti ini? Aku mengerucutkan bibirku kesal, membuat
dirimu berhenti tertawa. Matamu lembut menatapku, aku hanya terpaku.
“Kau..cemburu?” Apa? Cemburu? Tentu saja iya! Ah tidak,
mungkin hanya kesal. Harusnya dia tidak mesra begitu dengan guru musiknya!
Aish, jadi. Aku cemburu? Begitu?
Kau tersenyum
senang kemudian berjongkok dihadapanku. Aku menunduk untuk melihat apa yang kau
lakukan. Tiba – tiba kakiku merasa lega sekali, kau melepas sepasang benda
penyiksa yang aku pakai barusan.Aku tersenyum samar, merasakan lega.Beberapa
saat kemudian kau berbalik, dengan posisi masih berjongkok.
“Cepat naik, kakimu pasti sakit sekali. Sampai merah
begitu.” Ujarmu sambil memberikan sepasang sepatuku. Entah mengapa kali ini tak
ada ragu lagi. Segera aku menaiki punggung kokohmu, mengalungkan kedua tanganku
ke lehermu. Seraya kau bangkit berdiri, jantungku kini berdebar kencang.
Mungkin pada detik itulah aku merasakannya. Aku mengakuinya. Aku, jatuh cinta
padamu.
“Kau
tidak masuk?” suara lembut itu membuat aku kembali tersadar, dengan cepat aku
turun dan memakai kembali sepatuku.
“Kau
harus masuk, ini acara yang ditunggu semua gadis.” Ujar suara itu senang, gadis
itu merangkul bahuku dan berjalan memasuki ruangan. Acara yang ditunggu semua
gadis. Apa termasuk aku? Apa aku juga menunggu acara itu?
Terlihat
kerumunan di depan sebuah panggung yang tidak terlalu tinggi, kami mendekati
tempat tersebut. Aku hanya menghela napas melihatmu diatas sana, tersenyum
manis. Ah, senyum yang selalu aku rindukan. Kau mungkin tidak menyadari kehadiranku,
matamu hanya memandang lekat pada sisi kirimu kemudian berbalik membelakangi
kami. Aku, dan kerumunan itu. Kemudian terdengar suara hitungan singkat yang
cukup keras dan kompak, tanpa suaraku yang ikut berseru.
“SATU…DUA…TIGA!”
GREEP
Terdengar
suara pekikan dari sekitarku, beberapa dari mereka tampak iri melihatku.
Tanganku kini menggenggam sebuket bunga tulip berwarna putih. Aku hanya
tersenyum tipis, menanggapi beberapa orang yang menepuk bahuku mengucapkan
selamat.
“Kau
akan menyusul mereka!.” Seru sahabatku –gadis yang merangkulku tadi- sambil
berbisik padaku. Aku hanya tersenyum, menunjukan aku cukup bahagia. Rasanya
seperti mimpi. Menyusul mereka? Apakah aku bisa?
Setelah
acara itu, kini tiba saat yang paling mendebarkan untukku. Kami berbaris untuk
mengucapkan beberapa kalimat yang merupakan doa, mungkin juga beberapa
menyatakan rindu. Kira – kira dua orang berada di depanku, sebentar lagi
waktuku untuk sampai padamu. Detik itu kau menolehkan pandanganmu padaku, aku
hanya bisa menghindar. Bukan. Ia pasti memandang orang lain. Bukan aku.
Hingga
tiba saatnya kini, aku berada tepat di depan mataku. Aku hanya tersenyum dan
bertanya dalam hati, apakah kau masih peduli padaku? Mataku tak berhenti
menatapnya, kau membalas tatapanku dengan cara yang sulit diartikan.
“Gadis
yang cantik.” Ujarku lembut seraya menatap seseorang disampingmu, dibalas
dengan helaan nafas dan senyum tipismu. Kau pasti sangat bahagia kan?
“Bagaimana
keadaanmu sekarang? Pekerjaanmu bagaimana?” kau berkata sambil memandang ke
arah lain. Lihat, bahkan menatapku pun kau tidak bisa.
“Aku
baik. Pekerjaanku, kini aku mendapatkan posisi lebih baik di perusahaan.” Aku
menjawabnya dengan lancar, bertolak belakang dengan perasaanku yang tertahan.
“Aku
merindukanmu.” Kau berbisik lembut di
telingaku, membuat beban di bahuku semakin bertambah. Aku tau kau tidak serius
mengatakan itu.
“Aku
serius.” Seakan bisa membaca pikiranku kau mengatakan itu, bahkan aku terus
diam. Hatiku berkata ingin mendengar lebih dari ini.
“Aku
mencintaimu.” Kumohon jangan lakukan ini padaku! Kau bahkan terus menyiksaku
dengan kata – katamu yang terlalu manis. Tiba – tiba tubuhku terasa lebih
hangat, aku cukup sadar untuk merasakan lenganmu di punggungku. Aku merasakan
pelukan hangat itu, aku yakin pelukan itu hanya sebatas pelukan untuk seorang
teman. Tak ku pungkiri aku menikmatinya, aku merindukannya. Kudorong tubuhnya
pelan agar menjauhiku, kemudian bergeser ke arah wanita cantik disampingmu. Aku
menyalaminya dan memberi ucapan selamat. Wanita itu bahkan tersenyum bahagia
dan mengangguk. Dia cantik sekali. Pantas untukmu.
Acara
itu berlalu cukup cepat kurasa, kini aku sudah sampai di rumahku. Kulepas
sepatuku cepat dan menaiki tangga, mengabaikan ajakan ibuku untuk makan malam.
Kumasuki kamarku dan lekas menutup pintu lalu menguncinya. Aku menghempaskan
tubuhku diatas kasur kemudian memeluk bantal putih kesayanganku, mengeluarkan
semua emosiku disana. Terisak sekerasnya, membasahi bantal itu. Aku sadar, aku
masih mencintainya.
YOUR’S
POV
Tibalah
hari ini. Rasanya sangat menyenangkan, sekaligus mendebarkan. Aku berusaha
terus merasakan hal menyenangkan ini sampai akhir acara, setidaknya untuk
menjaga perasaan wanita disampingku. Gadis pilihan ibuku. Bukan aku tidak
menyukainya, aku hanya masih menyimpan sesuatu. Cintaku untuk gadis lain di
masa laluku. Aku menghilang tanpa jejak dari sisinya –masa laluku- kemudian
berhenti untuk menghubungi dan mencari kabarnya. Aku masih ingat ketika aku
dengan kejam memutuskan perpisahan padamu.
“Kau kemana saja? Kau tau aku menunggumu lebih dari
setengah jam.” Ujarmu kesal, sambil menghentakkan kakimu ke lantai. Aku hanya
diam, kemudian merangkul bahumu memasuki cafe itu. Kau masih saja mengomel
karena aku mengabaikan rajukanmu. Lucu sekali.
Kami berjalan menuju sebuah meja kosong di sisi jendela,
kacanya tampak dihiasi butiran air. Suasana setelah hujan, membuat temperatur
café ini jadi sedikit lebih dingin. Aku tau apa yang akan kau pesan saat
seperti ini.
“Aku pesan-“
“2 Chicken Cream Sup, dan Teh Hangat.” Ujarku memotong
ucapanmu, pelayan selesai mencatat dan pergi meninggalkan kami. Aku menatapmu
sekilas, aku tau kau tersenyum barusan. Dan aku tau, aku akan segera kehilangan
senyuman itu. Kami diam. Saling menatap dan tersenyum, kemudian kau mulai
berceloteh riang tanpa kuminta. Kau bercerita mengenai atasan mu yang selalu
meremehkan hasil karyamu, lalu kau mempraktekan gaya atasan mu yang menyebalkan
itu, membuatku tersenyum nyaris tertawa. Aku tak mau tertawa. Aku bahkan tak
mau kehilangan sedetikpun melihat semua yang kau lakukan. Sesaat kemudian kau
tersipu malu menangkap mataku yang menatapmu lekat, aku yakin sekarang saat
yang tepat untuk memulai pembicaraan ini.
“Ada yang ingin aku katakan padamu.” Ucapku sambil
menggenggam tangan kirimu, mengabaikan pelayan yang menaruh pesanan diatas meja
kami.
“Tunggu, aku lapar sekali. Biarkan aku menghabiskan ini
dulu.” Kau menyendokkan sup mu tidak sabar, menyantap makanan itu dengan
lahapnya. Aku mengangguk, membiarkan kau mengisi perutmu. Aku tau kau pasti
tadi menungguku sangat lama,tentu kau
akan sangat lapar. Tak berniat menyantap hidanganku, aku lebih memilih
memperhatikanmu. Tanganku tak lepas menggenggam tanganmu, aku sangat takut
kehilanganmu. Tak terasa waktu begitu cepat berjalan, mangkuk sup mu sudah
kosong. Inikah saatnya?
“Kau kelihatan diam hari ini. Bahkan tidak makan sama
sekali. Ada apa?” ujarmu sambil mengelap mulut menggunakan kertas tisu.
“Aku ingin kau menjauhiku.” Kau menatapku terkejut,
kemudian tertawa hambar.
“Aku serius. Aku ingin kau menjauhiku.” Aku menekankan
setiap kata, membuatmu menghentikan tawa. Tanganku beralih dari tanganmu menuju
cangkir teh dihadapanku, kutelan tetes demi tetes menyirami tenggorokanku yang
sedikit kering.
“Menjauhimu? Apa mak-“
“Aku ingin kita mengakhiri hubungan ini.”
“Tapi kita tidak punya hubungan apapun.”
“Aku tau!” Sial. Emosiku malah tersulut, tanganku tanpa
sadar meletakan cangkir itu cukup keras. Membuat suara cukup memilukan di
telinga, kau terlonjak kaget. Maafkan aku.
“Aku tidak mempunyai perasaan apapun padamu. Kukira kau
hanya gadis yang mudah aku taklukan, ternyata tidak. Mengejarmu cukup menguras
energiku. Aku lelah, aku menyerah. Jangan hubungi aku lagi, jangan temui aku
lagi. Anggap saja kita tidak pernah mengenal satu sama lain.” Ucapan kejam itu
keluar begitu saja dari mulutku. Astaga, aku benar – benar jahat. Kau hanya
menatapku dengan tatapan perih, kemudian menundukkan pandanganmu. Kulihat
kilatan jejak basah di pipimu, aku tau kau melakukannya. Aku tau kau menangis.
“Aku pikir kau, benar – benar mencintaiku.” Ujarmu dengan
suara parau, membuat hatiku semakin sakit saja. Aku hanya diam dan menghela
napasku. Maafkan aku.
“Aku pikir kau berbeda dengan pria lain. Namun dugaanku
salah.” Jangan katakan itu, aku mohon. Aku berbeda, aku hanya sedang berbohong.
“Aku banyak urusan. Permisi.” Ujarmu sambil berdiri dan
meninggalkan bangku yang tadi kau duduki. Hatiku ingin sekali mengejarmu,
memelukmu dan tak kulepaskan lagi. Tapi aku tidak bisa. Otakku melarang keras
akan hal itu, dan aku kini diam membisu, menatap cangkirmu yang masih terisi
penuh. Maafkan aku.
Waktu
berlalu setelah beberapa bulan kemudian aku berusaha menghubungimu. Kukira kau
akan mengabaikan telepon dariku, aku bahkan tak menyangka kau masih menyimpan
nomor ponselku. Dengan dingin aku menanyakan alamatmu, dan kau polosnya
menyebutkan apa yang kuminta. Tanpa bertanya apa tujuanku. Kau bahkan hanya
menanggapi dengan nada ceria yang dibuat – buat saat aku mengatakan aku akan
mengirimkan undangan. Undangan pernikahanku. Aku mengundangmu bukan untuk
menyakitimu, aku ingin bertemu denganmu sekali lagi.
Tak
dapat kupercaya! Aku melihatmu berjalan memasuki ruangan megah ini, menggunakan
gaun dan sepatu hak tinggi. Mataku segera beralih melihat panggung di dekatku,
tanganku menggenggam tangan wanita yang kini menjadi istriku. Kurasakan debaran
itu berdetak hebat, aku tau kau sedang menatapku jauh disana. Kudengar beberapa
temanku yang mengatakan ucapan selamat, aku hanya tertawa pelan menanggapinya.
Sesaat
setelah itu aku kembali mencarimu, namun aku tak melihatmu. Kau menghilang, aku
khawatir kau pergi. Aku tau aku sudah menyiksamu dengan adanya pernikahan ini.
Hingga tiba saatnya pelemparan bunga dari pengantin wanita. Aku menatap istriku
yang berada tepat di sebelah kiriku, gadis ini terlihat sangat bahagia.
“SATU…DUA…TIGA!”
GREEP
Terdengar
suara pekikan dan seruan dari seisi ruangan. Aku terkejut ketika menadapatimu
menangkap tulip putih dari istriku. Beberapa orang mengucapkan selamat padamu,
kau terlihat cukup bahagia dengan senyumu.
Kini
tiba saat yang aku nantikan.Orang - orang berbaris untuk mengucapkan selamat
dan doa untuk aku dan pasanganku. Ketika dua orang berada di barisan terakhir
didepanmu, aku melihatmu. Detik itu kau mengalihkan pandangan dariku, aku tau
kau menghindar.
Kini
kau berada dihadapanku, jantungku berdebar cepat. Aku memandangmu dari atas ke bawah, kemudian
kembali beralih pada matamu. Kau
tersenyum padaku, aku tau kau tidak sekuat itu. Jangan paksakan senyumu, aku
mohon.
“Gadis
yang cantik.” Ujarmu lembut. Aku menatap
wanita disampingku, kujawab ucapanmu dengan helaan nafas dan senyum tipisku. Kau lebih cantik. Aku
hanya bisa bahagia bersamamu. Seandainya kau tau.
“Bagaimana
keadaanmu sekarang? Pekerjaanmu bagaimana?” Aku bertanya padamu dengan tidak
sabar, kemudian aku mengalihkan pandanganku. Lihat, aku bahkan hampir menangis
saat menatapmu.
“Aku
baik. Pekerjaanku, kini aku mendapatkan posisi lebih baik di perusahaan.” Kau kelihatan
lebih baik sekarang, aku bersyukur kau mendapatkan posisi yang kau inginkan.
Aku yakin atasanmu tidak lagi merendahkanmu.
“Aku
merindukanmu.” Aku mendekatkan bibirku
pada telingamu dan berbisik. Aku tau kau
merasa kalau ucapan tadi tidak sungguh – sungguh.
“Aku
serius.” Kau diam dan terlihat sangat lemah saat aku mengatakan itu.
“Aku
mencintaimu.” Aku berkata lirih kemudian memelukmu erat – erat. Bisa kurasakan
debaran jantungmu saat itu, aku bahkan seperti tak ingin melepaskanmu. Karena
aku tau, ini akan jadi pelukan yang terakhir denganmu. Tiba – tiba kau dorong tubuhku menjauh,
kemudian bergeser kearah wanita disampingku. Kau menyalaminya dan memberi
ucapan selamat. Istriku tersenyum bahagia dan mengangguk.
Tubuhku
terasa sangat pegal setelah acara tersebut, kini aku sudah sampai di rumah.
Kutinggalkan istriku yang sedang beristirahat di ruang tengah, aku mengatakan
ingin membersihkan tubuhku segera. Kumasuki kamarku dan lekas menutup pintu
lalu menguncinya, kemudian memasuki kamar mandi. Aku menghempaskan tubuhku
dibawah shower . Tanpa melepaskan
pakaian yang kukenakan, aku membasahi kepala dan tubuhku dengan air yang jatuh
dari atas kepalaku. Membasahi seluruh tubuh dan wajahku, menyamarkan air mata
yang mulai mengalir di pipiku. Aku sadar, aku kehilanganmu.
~~~~~~~~~~~~~~THE END~~~~~~~~~~~~~~~~