Senin, 14 Juli 2014

MY OLD STORY

Cast:
You & Yours

Genre:
Sad, Hurt, Comfort

Length:  2508 words (twoshoot)

Author : Miranti Rizkika.

NO COPYPASTE! :D


YOU POV

Kami bertemu lagi. Sungguh tidak diduga, kupikir dia akan selamanya menghilang. Kedua bola mataku menatapnya dari kejauhan, bahkan nyaris tak berkedip. Aku ingin mata kami saling menyapa, walau setengah hatiku berkata tidak mau. Satu persatu orang – orang datang menyapaku, menanyakan kabarku, membuatku mengalihkan pandangan darinya. Apakah akan kau lakukan hal yang sama seperti mereka? Seperti dulu.

“Selamat pagi.”

“Kau lagi.” Kupercepat langkah kakiku guna menghindarimu sambil mengatur nafas, aku memang tidak terlalu berbakat dalam ‘jalan cepat’. Tak kudengar lagi suara langkah kakimu di belakangku. Oh, kutarik kembali semua ucapanku. Mungkin aku memang berbakat.

“Ayolah, kakimu akan sakit jika berjalan terus.” Suara itu terdengar kembali, namun diiringi suara kayuhan sepeda, diakhiri dengan sebuah suara bell.

Kuhentikan langkahku, lantas menoleh dengan lambat, hingga beberapa detik kemudian yang terdengar hanya bunyi ban yang sedikit berdecit. Matamu menatapku lembut, diiringi senyummu yang dibuat semanis kembang gula. Astaga, aku ingin muntah.

Kau mengedikan kepalamu kearah belakang, bermaksud memberitahuku ada tempat kosong pada kumpulan besi dengan roda yang sedang kau duduki. Entah kenapa aku seperti tidak punya pilihan lain. Kakiku menghampirimu, menghampiri sepedamu. Selama melangkah aku terus menunduk menatap ujung sepatuku. Aku terkejut mendapati sneakers putihmu berada di hadapan sepatuku, hingga aku mendongakan kepalaku. Terperangkap dalam lensa hitam milikmu,aku hanya bisa membeku. Hingga suaramu mencairkanku.

“Apa kabarmu? Merindukanku?”

Telingaku kini tengah mencari suara gaduh yang mendominasi, dan mataku mendapati sebuah panggung yang diatasnya terdapat suara nyanyian. Di iringi suara tepuk tangan dan tawa, aku sedikit bingung, kau tidak berada pada tempatmu tadi. Hingga aku mendengar suara gelak tawa, yang kuyakini itu suara yang aku kenal. Kulihat kau tak jauh dari suara nyanyian yang aku dengar sebelumnya. Kau bahkan terlihat sangat bahagia. Kau? Sebahagia itu dirimu?

Deburan ombak yang tenang sedang kunikmati, meskipun keadaanku kini sangat berantakan. Rambutku terurai lepas tak seperti biasanya,bahkan aku masih memakai pakaian olahraga rutinku. Sepatuku sudah terlepas, telapak kakiku bersentuhan langsung dengan butiran putih yang terhampar luas. Mataku menatap keujung lautan, seperti mencari sesuatu disana. Kutemukan matahari yang belum meninggi, menambah penjelasan mengapa tempat ini masih sepi dan tenang.

“Jadi, kau menikmati kencan ini?” kau berbisik lembut di telingaku, membuatku mengerucutkan bibir. Tidak habis pikir apa yang terjadi dengan otakmu. Atau mungkin, jiwamu yang terganggu.

“Kencan apa? Kau menculikku.” Tandasku kesal, bagaimana bisa ini dibilang kencan? Bahkan aku masih sulit menemukan dimana sisi manis dan romantisnya. Dia siap sekali dengan celana pendek dan kaosnya, sedangkan aku? Jaket sport dipadukan dengan celana jogging berwarna merah. Sungguh tidak cocok dalam suasana seperti ini. Bodohnya aku. Percaya saja dengan rayunya yang mengatakan akan mengantarku pulang. Kakiku pegal, dan dia benar – benar mencuri kesempatan saat itu

“Oh benarkah? Kalau begitu kau korbanku yang sangat menurut.” Ujarmu diakhiri tawa kemenangan. Entah mengapa pipiku memanas, kemudian kepalaku menunduk.

“Kau bodoh!” ujarku tak mau kalah.

“Kalau begitu kau lebih bodoh, menuruti keinginanku.”

“Kau jelek!”

“Coba kau berkaca, sekarang ini siapa yang paling jelek?”

“Aish, kau!” tanganku mengepal, memukuli  bahumu tanpa ampun. Namun kau yang harusnya merasa kesakitan malah tertawa hebat. Menambah kekesalanku saja, kau masih tertawa. Sangat bahagia.

Aku tidak tahan lagi, mataku terasa perih dan panas sekali. Sebelum cairan bening itu keluar dari pelupuk mataku, aku memilih pergi. Pandanganku menyapu sekitar, mencari jalan untuk keluar dari gedung yang penuh riuh ini. Kutemukan sebuah pintu yang terbuka, mengarah ke rerumputan hijau yang terhias bunga berbagai warna. Sungguh menyita perhatianku, yang kembali tertuju padanya. Kugelengkan kepalaku pelan, menghapuskan memori yang seharusnya sudah mati ditelan sang waktu. Aku mendudukan tubuhku diatas lantai yang berdekatan dengan tangga, membuat kakiku menggantung cukup tinggi diatas permukaan tanah. Kuayunkan kedua kakiku perlahan, membuat sepasang stiletto putih yang kukenakan terlepas membentur tanah.

“Hei.” Sial. Kakiku terasa sangat sakit saat aku masih mendengar suaramu meskipun cukup jauh kudengar di belakang. Untuk apa dia mengejarku? Seharusnya ia menikmati kemesraannya dengan gadis dengan dandanan sedikit berlebih itu. Astaga, bahkan gadis itu jauh lebih mirip dengan bibiku yang berselisih 10 tahun dengan umurku.

“Berhenti.” Ujar suaramu yang semakin mendekat, gerak kakiku semakin cepat nyaris berlari. Untuk apa aku bersusah payah memakai dress pastel dan high heels dengan warna senada untuk menontonmu hari ini? Aish, bahkan aku malah jadi sulit berjalan. Semua itu karenamu!

“Aku bilang berhenti.” Kau berkata dengan tenang sambil menangkap pergelangan tanganku. Wajahku kini lurus menghadapmu dengan mataku yang berkilat marah.

“Kau kenapa?”
“Cih..” Aku mendesis kesal, dia tidak sadar apa kesalahannya? Laki – laki ini benar – benar idiot. Beberapa detik kemudian kulihat pupil matamu yang membesar, seperti menyadari sesuatu.
“Hahahahahaha…” kau malah tertawa? Astaga, memangnya apa yang lucu pada saat seperti ini? Aku mengerucutkan bibirku kesal, membuat dirimu berhenti tertawa. Matamu lembut menatapku, aku hanya terpaku.
“Kau..cemburu?” Apa? Cemburu? Tentu saja iya! Ah tidak, mungkin hanya kesal. Harusnya dia tidak mesra begitu dengan guru musiknya! Aish, jadi. Aku cemburu? Begitu?

 Kau tersenyum senang kemudian berjongkok dihadapanku. Aku menunduk untuk melihat apa yang kau lakukan. Tiba – tiba kakiku merasa lega sekali, kau melepas sepasang benda penyiksa yang aku pakai barusan.Aku tersenyum samar, merasakan lega.Beberapa saat kemudian kau berbalik, dengan posisi masih berjongkok.

“Cepat naik, kakimu pasti sakit sekali. Sampai merah begitu.” Ujarmu sambil memberikan sepasang sepatuku. Entah mengapa kali ini tak ada ragu lagi. Segera aku menaiki punggung kokohmu, mengalungkan kedua tanganku ke lehermu. Seraya kau bangkit berdiri, jantungku kini berdebar kencang. Mungkin pada detik itulah aku merasakannya. Aku mengakuinya. Aku, jatuh cinta padamu.

“Kau tidak masuk?” suara lembut itu membuat aku kembali tersadar, dengan cepat aku turun dan memakai kembali sepatuku.
“Kau harus masuk, ini acara yang ditunggu semua gadis.” Ujar suara itu senang, gadis itu merangkul bahuku dan berjalan memasuki ruangan. Acara yang ditunggu semua gadis. Apa termasuk aku? Apa aku juga menunggu acara itu?

Terlihat kerumunan di depan sebuah panggung yang tidak terlalu tinggi, kami mendekati tempat tersebut. Aku hanya menghela napas melihatmu diatas sana, tersenyum manis. Ah, senyum yang selalu aku rindukan. Kau mungkin tidak menyadari kehadiranku, matamu hanya memandang lekat pada sisi kirimu kemudian berbalik membelakangi kami. Aku, dan kerumunan itu. Kemudian terdengar suara hitungan singkat yang cukup keras dan kompak, tanpa suaraku yang ikut berseru.

“SATU…DUA…TIGA!”

GREEP

Terdengar suara pekikan dari sekitarku, beberapa dari mereka tampak iri melihatku. Tanganku kini menggenggam sebuket bunga tulip berwarna putih. Aku hanya tersenyum tipis, menanggapi beberapa orang yang menepuk bahuku mengucapkan selamat.

“Kau akan menyusul mereka!.” Seru sahabatku –gadis yang merangkulku tadi- sambil berbisik padaku. Aku hanya tersenyum, menunjukan aku cukup bahagia. Rasanya seperti mimpi. Menyusul mereka? Apakah aku bisa?

Setelah acara itu, kini tiba saat yang paling mendebarkan untukku. Kami berbaris untuk mengucapkan beberapa kalimat yang merupakan doa, mungkin juga beberapa menyatakan rindu. Kira – kira dua orang berada di depanku, sebentar lagi waktuku untuk sampai padamu. Detik itu kau menolehkan pandanganmu padaku, aku hanya bisa menghindar. Bukan. Ia pasti memandang orang lain. Bukan aku.

Hingga tiba saatnya kini, aku berada tepat di depan mataku. Aku hanya tersenyum dan bertanya dalam hati, apakah kau masih peduli padaku? Mataku tak berhenti menatapnya, kau membalas tatapanku dengan cara yang sulit diartikan.

“Gadis yang cantik.” Ujarku lembut seraya menatap seseorang disampingmu, dibalas dengan helaan nafas dan senyum tipismu. Kau pasti sangat bahagia kan?
“Bagaimana keadaanmu sekarang? Pekerjaanmu bagaimana?” kau berkata sambil memandang ke arah lain. Lihat, bahkan menatapku pun kau tidak bisa.
“Aku baik. Pekerjaanku, kini aku mendapatkan posisi lebih baik di perusahaan.” Aku menjawabnya dengan lancar, bertolak belakang dengan perasaanku yang tertahan.
“Aku merindukanmu.”  Kau berbisik lembut di telingaku, membuat beban di bahuku semakin bertambah. Aku tau kau tidak serius mengatakan itu.
“Aku serius.” Seakan bisa membaca pikiranku kau mengatakan itu, bahkan aku terus diam. Hatiku berkata ingin mendengar lebih dari ini.
“Aku mencintaimu.” Kumohon jangan lakukan ini padaku! Kau bahkan terus menyiksaku dengan kata – katamu yang terlalu manis. Tiba – tiba tubuhku terasa lebih hangat, aku cukup sadar untuk merasakan lenganmu di punggungku. Aku merasakan pelukan hangat itu, aku yakin pelukan itu hanya sebatas pelukan untuk seorang teman. Tak ku pungkiri aku menikmatinya, aku merindukannya. Kudorong tubuhnya pelan agar menjauhiku, kemudian bergeser ke arah wanita cantik disampingmu. Aku menyalaminya dan memberi ucapan selamat. Wanita itu bahkan tersenyum bahagia dan mengangguk. Dia cantik sekali. Pantas untukmu.

Acara itu berlalu cukup cepat kurasa, kini aku sudah sampai di rumahku. Kulepas sepatuku cepat dan menaiki tangga, mengabaikan ajakan ibuku untuk makan malam. Kumasuki kamarku dan lekas menutup pintu lalu menguncinya. Aku menghempaskan tubuhku diatas kasur kemudian memeluk bantal putih kesayanganku, mengeluarkan semua emosiku disana. Terisak sekerasnya, membasahi bantal itu. Aku sadar, aku masih mencintainya.

YOUR’S POV

Tibalah hari ini. Rasanya sangat menyenangkan, sekaligus mendebarkan. Aku berusaha terus merasakan hal menyenangkan ini sampai akhir acara, setidaknya untuk menjaga perasaan wanita disampingku. Gadis pilihan ibuku. Bukan aku tidak menyukainya, aku hanya masih menyimpan sesuatu. Cintaku untuk gadis lain di masa laluku. Aku menghilang tanpa jejak dari sisinya –masa laluku- kemudian berhenti untuk menghubungi dan mencari kabarnya. Aku masih ingat ketika aku dengan kejam memutuskan perpisahan padamu.

“Kau kemana saja? Kau tau aku menunggumu lebih dari setengah jam.” Ujarmu kesal, sambil menghentakkan kakimu ke lantai. Aku hanya diam, kemudian merangkul bahumu memasuki cafe itu. Kau masih saja mengomel karena aku mengabaikan rajukanmu. Lucu sekali.

Kami berjalan menuju sebuah meja kosong di sisi jendela, kacanya tampak dihiasi butiran air. Suasana setelah hujan, membuat temperatur café ini jadi sedikit lebih dingin. Aku tau apa yang akan kau pesan saat seperti ini.

“Aku pesan-“
“2 Chicken Cream Sup, dan Teh Hangat.” Ujarku memotong ucapanmu, pelayan selesai mencatat dan pergi meninggalkan kami. Aku menatapmu sekilas, aku tau kau tersenyum barusan. Dan aku tau, aku akan segera kehilangan senyuman itu. Kami diam. Saling menatap dan tersenyum, kemudian kau mulai berceloteh riang tanpa kuminta. Kau bercerita mengenai atasan mu yang selalu meremehkan hasil karyamu, lalu kau mempraktekan gaya atasan mu yang menyebalkan itu, membuatku tersenyum nyaris tertawa. Aku tak mau tertawa. Aku bahkan tak mau kehilangan sedetikpun melihat semua yang kau lakukan. Sesaat kemudian kau tersipu malu menangkap mataku yang menatapmu lekat, aku yakin sekarang saat yang tepat untuk memulai pembicaraan ini.

“Ada yang ingin aku katakan padamu.” Ucapku sambil menggenggam tangan kirimu, mengabaikan pelayan yang menaruh pesanan diatas meja kami.
“Tunggu, aku lapar sekali. Biarkan aku menghabiskan ini dulu.” Kau menyendokkan sup mu tidak sabar, menyantap makanan itu dengan lahapnya. Aku mengangguk, membiarkan kau mengisi perutmu. Aku tau kau pasti tadi menungguku sangat lama,tentu  kau akan sangat lapar. Tak berniat menyantap hidanganku, aku lebih memilih memperhatikanmu. Tanganku tak lepas menggenggam tanganmu, aku sangat takut kehilanganmu. Tak terasa waktu begitu cepat berjalan, mangkuk sup mu sudah kosong. Inikah saatnya?

“Kau kelihatan diam hari ini. Bahkan tidak makan sama sekali. Ada apa?” ujarmu sambil mengelap mulut menggunakan kertas tisu.
“Aku ingin kau menjauhiku.” Kau menatapku terkejut, kemudian tertawa hambar.
“Aku serius. Aku ingin kau menjauhiku.” Aku menekankan setiap kata, membuatmu menghentikan tawa. Tanganku beralih dari tanganmu menuju cangkir teh dihadapanku, kutelan tetes demi tetes menyirami tenggorokanku yang sedikit kering.
“Menjauhimu? Apa mak-“
“Aku ingin kita mengakhiri hubungan ini.”
“Tapi kita tidak punya hubungan apapun.”
“Aku tau!” Sial. Emosiku malah tersulut, tanganku tanpa sadar meletakan cangkir itu cukup keras. Membuat suara cukup memilukan di telinga, kau terlonjak kaget. Maafkan aku.
“Aku tidak mempunyai perasaan apapun padamu. Kukira kau hanya gadis yang mudah aku taklukan, ternyata tidak. Mengejarmu cukup menguras energiku. Aku lelah, aku menyerah. Jangan hubungi aku lagi, jangan temui aku lagi. Anggap saja kita tidak pernah mengenal satu sama lain.” Ucapan kejam itu keluar begitu saja dari mulutku. Astaga, aku benar – benar jahat. Kau hanya menatapku dengan tatapan perih, kemudian menundukkan pandanganmu. Kulihat kilatan jejak basah di pipimu, aku tau kau melakukannya. Aku tau kau menangis.
“Aku pikir kau, benar – benar mencintaiku.” Ujarmu dengan suara parau, membuat hatiku semakin sakit saja. Aku hanya diam dan menghela napasku. Maafkan aku.
“Aku pikir kau berbeda dengan pria lain. Namun dugaanku salah.” Jangan katakan itu, aku mohon. Aku berbeda, aku hanya sedang berbohong.
“Aku banyak urusan. Permisi.” Ujarmu sambil berdiri dan meninggalkan bangku yang tadi kau duduki. Hatiku ingin sekali mengejarmu, memelukmu dan tak kulepaskan lagi. Tapi aku tidak bisa. Otakku melarang keras akan hal itu, dan aku kini diam membisu, menatap cangkirmu yang masih terisi penuh. Maafkan aku.

Waktu berlalu setelah beberapa bulan kemudian aku berusaha menghubungimu. Kukira kau akan mengabaikan telepon dariku, aku bahkan tak menyangka kau masih menyimpan nomor ponselku. Dengan dingin aku menanyakan alamatmu, dan kau polosnya menyebutkan apa yang kuminta. Tanpa bertanya apa tujuanku. Kau bahkan hanya menanggapi dengan nada ceria yang dibuat – buat saat aku mengatakan aku akan mengirimkan undangan. Undangan pernikahanku. Aku mengundangmu bukan untuk menyakitimu, aku ingin bertemu denganmu sekali lagi.

Tak dapat kupercaya! Aku melihatmu berjalan memasuki ruangan megah ini, menggunakan gaun dan sepatu hak tinggi. Mataku segera beralih melihat panggung di dekatku, tanganku menggenggam tangan wanita yang kini menjadi istriku. Kurasakan debaran itu berdetak hebat, aku tau kau sedang menatapku jauh disana. Kudengar beberapa temanku yang mengatakan ucapan selamat, aku hanya tertawa pelan menanggapinya.

Sesaat setelah itu aku kembali mencarimu, namun aku tak melihatmu. Kau menghilang, aku khawatir kau pergi. Aku tau aku sudah menyiksamu dengan adanya pernikahan ini. Hingga tiba saatnya pelemparan bunga dari pengantin wanita. Aku menatap istriku yang berada tepat di sebelah kiriku, gadis ini terlihat sangat bahagia.

“SATU…DUA…TIGA!”

GREEP

Terdengar suara pekikan dan seruan dari seisi ruangan. Aku terkejut ketika menadapatimu menangkap tulip putih dari istriku. Beberapa orang mengucapkan selamat padamu, kau terlihat cukup bahagia dengan senyumu.

Kini tiba saat yang aku nantikan.Orang - orang berbaris untuk mengucapkan selamat dan doa untuk aku dan pasanganku. Ketika dua orang berada di barisan terakhir didepanmu, aku melihatmu. Detik itu kau mengalihkan pandangan dariku, aku tau kau menghindar.

Kini kau berada dihadapanku, jantungku berdebar cepat.  Aku memandangmu dari atas ke bawah, kemudian kembali beralih pada matamu.  Kau tersenyum padaku, aku tau kau tidak sekuat itu. Jangan paksakan senyumu, aku mohon.

“Gadis yang cantik.” Ujarmu lembut.  Aku menatap wanita disampingku, kujawab ucapanmu dengan helaan nafas dan senyum tipisku. Kau lebih cantik. Aku hanya bisa bahagia bersamamu. Seandainya kau tau.
“Bagaimana keadaanmu sekarang? Pekerjaanmu bagaimana?” Aku bertanya padamu dengan tidak sabar, kemudian aku mengalihkan pandanganku. Lihat, aku bahkan hampir menangis saat menatapmu.
“Aku baik. Pekerjaanku, kini aku mendapatkan posisi lebih baik di perusahaan.” Kau kelihatan lebih baik sekarang, aku bersyukur kau mendapatkan posisi yang kau inginkan. Aku yakin atasanmu tidak lagi merendahkanmu.
“Aku merindukanmu.”  Aku mendekatkan bibirku pada telingamu dan berbisik.  Aku tau kau merasa kalau ucapan tadi tidak sungguh – sungguh.
“Aku serius.” Kau diam dan terlihat sangat lemah saat aku mengatakan itu.
“Aku mencintaimu.” Aku berkata lirih kemudian memelukmu erat – erat. Bisa kurasakan debaran jantungmu saat itu, aku bahkan seperti tak ingin melepaskanmu. Karena aku tau, ini akan jadi pelukan yang terakhir denganmu.  Tiba – tiba kau dorong tubuhku menjauh, kemudian bergeser kearah wanita disampingku. Kau menyalaminya dan memberi ucapan selamat. Istriku tersenyum bahagia dan mengangguk.

Tubuhku terasa sangat pegal setelah acara tersebut, kini aku sudah sampai di rumah. Kutinggalkan istriku yang sedang beristirahat di ruang tengah, aku mengatakan ingin membersihkan tubuhku segera. Kumasuki kamarku dan lekas menutup pintu lalu menguncinya, kemudian memasuki kamar mandi. Aku menghempaskan tubuhku dibawah shower . Tanpa melepaskan pakaian yang kukenakan, aku membasahi kepala dan tubuhku dengan air yang jatuh dari atas kepalaku. Membasahi seluruh tubuh dan wajahku, menyamarkan air mata yang mulai mengalir di pipiku. Aku sadar, aku kehilanganmu.




~~~~~~~~~~~~~~THE END~~~~~~~~~~~~~~~~

FRIEND (?)



Cast
-Lee Naomi
-Lee Jonghyun
Other’s

Genre
Sad, Comfort, Friendship

Length
3.338 words/ Oneshoot

Author
Miranti Rizkika a.k.a Kim Ri Yuan. Kim Ri Yuan is back ;)

Sebelumnya maaaaaaaafff bangeeeet Lidiaaaa, ngaretnya parah banget hehe. Maap yaaak, tadinya mau buat ulang taun kamu cuma baru beres. Maaf ya kalo jeleek ^^v Selamat Baca! :)

From the beautiful fairy tales from my childhood
The love that I learned for the first time was all about the fluttering feelings
I thought that kind of love would come to me too

 “Naomi-ya, aku pinjam tugasmu.”
Tangan itu mengambil beberapa lembar kertas diatas meja seorang gadis, tanpa meminta persetujuan pemiliknya, laki - laki itu langsung saja menyalin jawaban yang tertera disana. Gadis itu hanya menghela napas pelan, kemudian tersenyum pahit. Ia malah menatap laki - laki kurang ajar tadi penuh kelembutan. Huh, untung tugasnya sudah selesai.
Beberapa menit kemudian Han seongsanim datang, bersiap untuk memeriksa yang telah ia tugaskan kepada murid – muridnya minggu lalu. Setelah mengabsen, ia pun mulai memanggil beberapa murid untuk maju ke depan menjawab soal, tentu saja soal berasal dari tugas yang diberikan.
“Berikutnya, Lee Jonghyun.”
Laki - laki tampan itu lantas maju ke depan penuh percaya diri, dengan menenteng sebuah buku dengan sampul merah tua di tangan kirinya. Tangan kanannya menyalin cepat jawaban dari bukunya pada whiteboard. Setelah selesai, ia lantas tersenyum dan menaruh spidol ke tempatnya, kemudian kembali duduk. Ia lolos lagi. Padahal, mungkin selama ia bersekolah di tingkat menengah atas, mungkin hanya beberapa kali ia mengerjakan pekerjaan rumah dengan otak dan tangannya sendiri.

~~~

Honestly, I was afraid, I wasn’t used to my trembling heart when I saw you
Actually, I resented you for acting like everything was normal
Why didn’t you know my heart?

13 Februari 2014

“Omo! Besok valentine kan?”
“Ne! Aish aku harus cepat memberikan coklat ini pada Jonghyun oppa.”

Suara berisik itu sudah entah berapa kali didengar gadis itu. Dan apa? Jonghyun ‘oppa’ ? Berani sekali mereka memanggilnya begitu, memangnya mereka sedekat apa dengan Jonghyun? Gadis gila. Setidaknya begitu pikir Naomi. Ia berjalan lurus keluar gedung sekolah, mencoba tidak mendengar apapun tentang hari esok.
“Naomi-ya.” Suara berat itu menghentikan langkahnya, membuat gadis itu berbalik dan mencari asal suara yang memanggil namanya. Lantas ia menemukan laki - laki yang memakai sweater hitam dengan penutup kepala yang hampir membuat orang lain tidak mengenalinya. Gadis itu lantas tersenyum dan menghampiri.
“Ada apa?”
“Bisa temani aku sebentar?” Naomi mengangguk mengiyakan, kemudian mengikuti laki - laki itu keluar gerbang sekolah, menyusuri trotoar diMyeongdong. Meskipun sepanjang jalan mereka hanya diam, Naomi merasa kalau jantungnya hampir lepas, berdebar kencang sekali, membuat bibirnya tak bisa menahan senyum.
‘Toko Cokelat?’
Ia semakin berdebar kencang saat ia dan Jonghyun masuk bersamanya kedalam bangunan penuh berbagai penganan manis di dalamnya. Gadis itu mengikuti Jonghyun tanpa bertanya. Ia sudah hapal betul watak laki - laki ini, ia harus diam.
“Ja, sekarang pilih yang kau suka.” Ujar laki - laki itu dingin tanpa ekspresi.
“Hmm? Arra.” Tanpa bertanya, Naomi langsung mengiyakan dan memilih satu diantara ratusan cokelat yang tersedia dihadapannya. Ia merasa geli, seakan ribuan kupu – kupu terus beterbangan di perutnya. Ia sampai bingung bagaimana cara mengendalikan kinerja jantungnya yang berlebihan saat ini.
“Kalau ini?”
“Ck, murahan. Pilihlah yang lebih berkelas.” Ujar Jonghyun kejam. Naomi hanya tersenyum kemudian melanjutkan pencariannya pada rak cokelat sebelah kanan. Padahal cokelat berbentuk hati dengan caramel diatasnya itu sungguh menarik menurutnya.
“Yang ini?” Cokelat berbentuk beruang putih itu menarik perhatian Jonghyun, membuat mata laki - laki itu menatap si beruang penuh selidik.
“Kau menyukainya?” ujar Jonghyun melembutkan suaranya. Naomi spontan mengangguk kemudian tersenyum.  Laki - laki itu membawa cokelatnya ke kasir, meminta pada petugas disana untuk membungkus si beruang layaknya sebuah kado. Dalam otaknya Naomi tidak berani menerka untuk apa Jonghyun membeli benda semacam itu.
Setelah membayar, Jonghyun menarik tangan gadis itu keluar toko dan berjalan menuju halte. Naomi merasakan rasa hangat yang menjalar melalui telapak tangannya, jantungnya berdebar, namun entah mengapa rasanya sangat nyaman.

“Akan kuantar kau sampai depan rumahmu.”
“W..wae?”
“Aku hanya merasa harus membalas kebaikanmu.”

Gadis itu hanya diam. Jujur, kata – kata itu sungguh menusuknya. Namun ia merubah kembali pola pikirnya, tentu saja Jonghyun hanya membalas kebaikannya, tak mungkin ada maksud lain. Mereka lantas memasuki bis yang baru saja datang, kemudian duduk bersebelahan. Laki - laki itu memasang earphone di telinganya, kemudian memejamkan matanya seraya bersandar pada kepala kursi. Naomi kemudian menengok perlahan, mencoba melirik ke arah pangeran tampannya itu. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa ia jatuh cinta pada laki - laki berdarah dingin seperti Jonghyun. Kutukan macam apa yang mengharuskan Naomi tetap menuruti perintahnya? Namun setidaknya, ini lebih baik dibanding laki - laki ini tau perasaannya.

~~~
14 Februari 2014

BRUUUUK
Laki - laki itu hanya menghela napas ketika beberapa macam cokelat yang dibungkus berwarna warni itu berjatuhan dari dalam lokernya. Seharusnya setiap bulan Februari ia mempunya satu loker kosong untuk menyimpan barang pribadinya, agar tidak berdesakan dengan bungkusan warna – warni itu.
Naomi yang sedang merapikan lokernya tidak heran melihat peristiwa yang terjadi tepat disampingnya barusan.
“Ini ambil.” Ujar Jongyun menyodorkan sebuah tas plastik berisi penuh cokelat yang ia bereskan dari lokernya.
“M..mwo?” Jonghyun hanya memaksa Naomi untuk tetap menerima tas plastik itu tanpa berniat menjawab.
“Tapi kenap…”
“Aku tidak butuh, memenuhi lokerku saja.” Jawab Jonghyun langsung berlaru menuju kelas meninggalkan gadis yang tak sempat mengucapkan terimakasihnya itu.  Naomi tersenyum tipis, kemudian memasukkan tas itu kedalam lokernya, mengikuti Jonghyun masuk kedalam kelas. Saat akan duduk, Naomi melihat buku fisika nya tergeletak diatas meja laki - laki itu, dengan si pemilik meja sedang menyalin dua paragraf terakhir. Naomi tersenyum manis dan duduk di bangkunya, menunggu bukunya kembali diatas mejanya. Seperti biasa. Seperti hari – hari yang sudah ia lalui selama hampir tiga tahun lamanya.

~~~
This isn’t the love I used to know
I thought it was like what I dreamed of, in the fairytale

Langkah kaki gadis ini terasa berat, matanya sembab, bahkan tubuhnya serasa sedang memanggul sesuatu yang sangat berat. Jantungnya terasa tertusuk menyakitkan. Bahkan otaknya terus mengulang kejadian kemarin. Kejadian sepulang sekolah yang harusnya tidak ingin ia lihat.

“Lee Hayoung-ssi?”
“Ne? Jonghyun-ssi?”
“Aku…”
tangan laki - laki itu langsung memberikan box berwarna hitam dihiasi pita berwarna merah hati pada seorang gadis di hadapannya. Sang gadis yang menerima itu hanya memasang wajah terkejut, sedangkan laki - laki yang baru saja memberinya hanya tersenyum tipis dan beranjak pergi. Naomi yang melihat dari celah – celah pintu lokernya yang terbuka itu berusaha memalingkan wajah. Ia tak ingin melihat kelanjutan drama romantis singkat yang baru saja ia saksikan.Ia segera mengunci lokernya cepat, kemudian melangkah pergi. Dengan pandangan matanya yang mulai buram, dengan beberapa tetes air yang membasahi pipinya.

Lee Hayoung. Ia adalah seorang gadis manis yang berada di kelas tingkat satu, berbeda dua tingkat dengan Jonghyun dan Naomi. Tak banyak orang membicarakannya, ia hanya gadis biasa. Namun gadis biasa itu yang telah merebut perhatian seorang Lee Jonghyun. Merebut mata, otak, bahkan hatinya.

“Naomi-ya.” Suara berat itu kembali terdengar di telinga seorang Naomi, memaksanya untuk menoleh meskipun tak ingin. Ia hanya mendongakan kepalanya karena posisi Naomi yang sedang duduk di bangkunya sedangkan Jonghyun berdiri di hadapannya.
“Kimia sudah selesai kan?” ujar laki - laki itu dingin sambil menadahkan tangannya. Gadis itu menghela napas kemudian mengeluarkan buku tulisnya dari dalam tas dan menaruh bukunya tepat diatas telapak tangan Jonghyun. Laki - laki itu langsung saja berbalik kemudian duduk di bangkunya, mengerjakan tugas ‘menyalin’ rutinnya.
Naomi hanya diam sambil menundukan kepalanya, kalau bisa ia ingin menghilang dari tempat ia berada sekarang. Tak ingin melihat laki - laki itu, meskipun kini yang ia lihat hanya punggungnya saja. Menggelikan. Ini seperti bukan Naomi yang sejak dulu penyabar dan tidak memikirkan sesuatu berlarut – larut. Kini ia terus memutar kejadian itu dalam pikirannya. Gadis itu mengalihkan pandangannya pada jam dinding, menunjukkan sudah lima belas menit guru terlambat masuk kelas. Tentu saja artinya tidak ada guru pada jam ini, terbukti dengan keadaan kelas yang mulai gaduh.
“Naomi-ya.” Jiyo menepuk bahunya pelan, membuat gadis itu menoleh lemah kemudian memasang ekspresi bertanya.
“Aku lapar, kau mau ikut?”
“Terimakasih.” Naomi menggeleng sebagai jawaban, Jiyo hanya menghela napas dan tersenyum, kemudian berlalu meninggalkannya. Beberapa saat kemudian keadaan kelas mulai agak sepi, murid – murid yang bosan mulai keluar kelas, ke perpustakaan, kantin, bahkan lapangan olahraga.
Tinggalah Naomi sendiri dalam ruangan. Oh, mungkin tidak. Naomi masih melihat sesosok laki - laki yang melipat tangan diatas meja, dengan kepala yang bersandar pada tangannya tersebut. Naomi menatap sosok itu lembut, kemudian membuang napas lelahnya.
“Jonghyun.”
“…”
“Jonghyun-a.”
“…”

‘Oh, dia tertidur’ pikir gadis itu sambil menopang dagunya. Ia berusaha tersenyum semanis mungkin. Mencoba melepaskan semua beban yang seperti tak bosan menetap di pundaknya. Gadis itu lelah. Sangat.

“Lee Jonghyun.” Naomi berkata lirih, hampir tak terdengar.
“Aku ingin bertanya sesuatu padamu.”
“…”
“Apakah, kau menganggap aku ini temanmu, eoh?” Naomi berkata lemah, sambil tersenyum sendirian. Menanti jawaban dari orang di hadapannya.



“Mungkin saja” Suara berat terdengar, membuat gadis itu terhenyak. Ia mulai berpikir kalau telinganya mulai agak terganggu, atau ia mendengar itu karena terlalu menggilai sosok itu.

“Kau tidak tidur?” Naomi bertanya sekali lagi mencoba meyakinkan dirinya.
“…”

Tidak. Tidak ada jawaban. Oh, bagus sekali. Setidaknya jika jawaban Jonghyun barusan hanyalah racauan dari mulut laki - laki itu saat tertidur, itu cukup melegakan. Akhirnya gadis itu mengetahui status hubungannya dengan Jonghyun. Teman.

~~~
Next to you, I hide my heart
Hiding behind the friend label

Sudah hampir satu jam Naomi duduk di depan ruang ganti di sebuah toko baju. Menanti seorang laki - laki yang sudah berkali – kali keluar dan masuk ruang ganti dengan pakaian berbeda. Kini tirai ruang ganti itu mulai bergerak, menandakan Jonghyun sudah siap untuk menunjukkan pakaiannya lagi.

“Kurang bagus.” Ujar Naomi mengamati laki - laki itu dari atas kebawah, laki - laki itu mengenakan kemeja hitam dengan rompi putih, disertai dasi resmi menggantung di lehernya. Astaga. Selera laki - laki ini sungguh buruk, ia bilang ingin makan malam tapi penampilannya seperti hendak presentasi kerja.
“Ck, kau ini. Apa tidak ada kata lain selain ‘kurang bagus’ –mu itu hah?” Tanya Jonghyun kehabisan rasa sabar.
“Buruk.” Naomi ikut berujar dengan emosi, namun sedetik kemudian ia menutup mulut dengan tangannya. Gadis itu akhirnya tersenyum menunjukkan gigi putihnya sambil bergumam ‘Mian’. Yang dijawab Jonghyun dengan erangan frustasi seraya mengacak rambut dan kembali kedalam ruang ganti. Naomi menghela napas lega, untung saja Jonghyun tidak murka saat ia mengatakan itu tanpa sengaja. Ia kini menatap ke arah sepatunya bosan. Sampai terdengar suara tirai kembali terbuka, gadis itu kembali mendongakkan kepalanya. Menatap pahatan indah Tuhan di hadapannya. Kemeja biru tua itu digulung lengannya sampai siku, dengan jeans abu – abu melekat pada kakinya yang kokoh.

“Eotte?”
“Bagus.” Naomi bergumam tak jelas.
“Aish katakan yang jelas.”
“Bagus kau mirip…”
“Mirip siapa?”
“Mirip…dirimu.” Ujar Naomi lembut, masih terperangkap pesona laki - laki itu di hadapannya. Laki - laki itu hanya menghela napas lega, kemudian menutup tirainya kembali untuk berganti pakaian menjadi pakaian yang tadi dipakainya masuk ke toko ini. Gadis itu masih tersenyum – senyum membayangkan pangeran dibalik tirai tadi. Tampan, seperti yang biasa ia lihat. Namun senyumnya kembali memudar saat ia mengingat kalau ia tau betul dengan siapa Jonghyun akan pergi esok hari. ‘Teman’ nya itu, bisa disebut akan pergi berkencan. Tepat di hari ulang tahun Naomi. Yang mungkin tak akan pernah disadari oleh laki - laki itu.

~~~
Terdengar suara gaduh dari arah dapur sebuah rumah sederhana. Hari ini tempat ber-atap itu hanya diisi oleh satu orang Gadis dan laki - laki. Sedangkan yang sedang di dapur itu adalah seorang laki - laki yang sedang sibuk membaca buku resep masakan, wajahnya sendiri sudah terkena tepung disana sini, tetapi sejak tadi ia hanya mencoba adonan kue. Ia sungguh heran mengapa rasanya belum juga sedap, padahal bahan yang ia masukkan sudah lengkap.

“Donghae oppa?”
“Ne?” ujar laki - laki berambut coklat itu sedikit terkejut, kemudian menggelap tangannya pada apron yang memang sudah mulai kotor.
“Aku pergi dulu ne?” ujar Naomi sambil memakai sepatu kulitnya yang berwarna hitam di ruang tengah, membuat ia harus sedikit mengeraskan suaranya untuk berkomunikasi dengan Donghae di dapur.
“Mwo? Eodiya?”
“Aku ingin sedikit jalan – jalan saja.” Ujar Naomi bohong, ia sedang ingin menenangkan hatinya yang merasa perih.
“Oh arra. Pulanglah sebelum makan malam.”
“Ne, aku pergi.” Ujar gadis itu sambil melangkah keluar rumah, mengatur nafasnya yang terkadang sesak dan berat. Ia berpikir untuk berkeliling taman sore ini, mungkin bisa menghilangkan penatnya yang sedari tengah malam tak bisa tidur. Menanti ucapan selamat dari orang itu. Orang itu. Lee Jonghyun.

Tak terasa kakinya telah membawa ia sampai taman yang dihampari rerumputan luas, langit mulai berwarna jingga menandakan waktu mulai sore hari. Udara terasa hangat disekitarnya, sedikit mendamaikan hatinya. Ia kembali mengingat kemarin saat ia diantar Jonghyun menggunakan sepeda motornya, sebelum Naomi masuk ke halaman rumahnya, mereka sempat melakukan percakapan kecil dan sederhana.

“Gomawo, sudah mengantarku sampai rumah.”

Ujar gadis itu lembut, yang hanya berbalas senyum tipis oleh Jonghyun. Saat laki - laki itu hendak beranjak pergi, Naomi menahan tangannya lembut. Gadis itu menatap iris Jonghyun yang kecoklatan, sempat terpaku sejenak dengan keindahan mata yang ditatapnya.

“Aku ingin bertanya sesuatu padamu.”
“Hm?”
“Jonghyun-a. Apa kau…benar – benar…menyukai gadis itu?”

Jonghyun sempat terkejut dengan pertanyaan yang ia dapat hampir sedetik yang lalu. Tak pernah ada seorang pun yang bertanya selancang itu padanya. Laki - laki itu mengerjapkan kelopak matanya, kemudian membuang pandangan sembarang arah. Pipinya mulai bersemu merah, meskipun waktu sudah mulai larut, Naomi masih dapat melihat rona merah itu cukup jelas.

“Ah, geurae. Aku seharusnya tidak bertanya. Selamat malam.” Gadis itu berbalik jalan kembali masuk ke rumahnya, sampai ia mendengar suara kendaraan berlalu dari halaman. Tetes demi tetes buliran bening itu mulai jatuh, diiringi senyum pedih yang sudah lama menjadi kebiasaan baginya.

Naomi kembali menatap ponselnya lelah. Tak ada satupun ucapan dari laki - laki itu untuknya, bahkan laki - laki itu tidak bertanya mengenai pendapat Naomi mengenai kencannya malam ini. Gadis itu kembali menyimpan ponsel itu di saku rok nya, berharap ada getaran dari benda persegi itu, namun…tak ada.

~~~
Need you, I really didn’t know back then
Need you, I thought we’d last forever
“Ah, Jonghyun sunbae. Mian aku terlambat.” Ujar Lee Hayoung, dengan gaun kuning cerah dan pita hitam menghiasi rambutnya. Gadis itu duduk di hadapan Jonghyun yang gugup, dahinya bahkan sudah mulai berkeringat dingin. Gadis itu cantik, sungguh. Namun warna terang yang dipakai gadis itu membuat Jonghyun teringat seseorang.

“Aku tidak suka warna kuning. Ambil saja.”
“Ayolah, aku kan tidak sengaja menghilangkan pena mu Naomi-ya.”
“Tak usah, ambil saja.”
“Yasudah.”

“Jonghyun sunbae?” suara lembut itu membuat Jonghyun kembali ke dunia nyata, otaknya sempat kembali sebentar ke masa lalu. Yang benar saja, sejak kapan Jonghyun mengingat seorang Lee Naomi?
“Ah, ye?”
“Sudah pesan?” Hayoung berkata dengan tenang, takut membuat Jonghyun marah karena membuyarkan lamunannya barusan.
“Belum. Aku tidak tau harus memesan apa.” Ujar Jonghyun tiba – tiba malas, aneh sekali. Bukannya ia harusnya senang karena ini kencan pertamanya dengan gadis yang ia sukai.
“Baik, aku pesan untukmu.” Ujar gadis itu tersenyum senang.
“Kalau gitu aku pesan dua porsi chesse-“
“Mwo? Bukannya kau tau aku benci keju?” potong Jonghyun dengan nada tidak senang.
“Hmm? Mian sunbae, aku tidak tau.” Hayoung tertunduk lemas, takut dengan wajah Jonghyun yang sekilas terlihat menyeramkan. Gadis itu mengganti pesanannya dengan suara pelan. Laki - laki itu menepuk dahinya, merasa bodoh membuat gadis dihadapannya takut setengah mati. Mungkin ia merasa sangat gugup makanya bersikap seperti ini. Lalu apa maksud ucapannya barusan? Yang tau jika ia tidak menyukai keju hanyalah Naomi. Merasa gugup membuat ia mengambil sesuatu di sakunya, sapu tangan pemberian ‘teman’nya. Naomi menyuruhnya menggunakan sapu tangan itu untuk mengelap keringatnya, namun ia terhenti saat menatap sapu tangan itu.

‘Dia pasti menyukaimu! Lee Jonghyun fighting!’ begitu yang tertulis disana, membuat Jonghyun merasa kepalanya pusing sekarang.

~~~
Tubuh Jonghyun sudah dipenuhi peluh sekarang, rambutnya sudah basah tak beraturan. Laki - laki itu menekan bell rumah ber-cat oranye di hadapannya dengan lemas, tak lama pintu pun terbuka. Seorang laki - laki berambut coklat tua menyambutnya dengan ramah.

“Nuguseyo?”
“Lee Jonghyun imnida.” Ujar laki - laki itu dengan nafas tersengal. Tiba – tiba mata sosok di hadapannya berkilat marah, tangannya mengacungkan pisau plastik pemotong kue di hadapannya.

“Ya! Apa maumu eoh! Kau sudah membuat dongsaengku menangis di hari ulang tahunnya!” Donghae berkata keras seraya menatap Jonghyun murka.
“M-mw-mwo?” Laki - laki itu terkejut sambil memundurkan  kepalanya menghindari tangan Donghae yang mengacungkan benda tajam itu. Dua orang gadis yang mendengar keributan diluar rumah langsung bergegas menuju ke halaman. Jiyo yang mendapati laki - laki chingunya sedang menakut – nakuti Jonghyun langsung memegang tangan Donghae kemudian menurunkannya lembut.

“Oppa, wae geurae?”
“Dia Lee Jonghyun! Laki - laki kurang ajar itu! Berani – beraninya dia da-“
“Jonghyun-a?” Seorang gadis berambut sebatas bahu menghampiri laki - laki itu, memotong ucapan oppanya yang hampir mengumpat habis – habisan. Gadis itu memakai gaun oranye lembut sebatas lututnya, keadaannya hampir sempurna jika saja matanya tidak sembab saat ini. Jonghyun tersenyum lirih, ia ingin mengatakan banyak hal pada gadis itu sekarang.
“Oppa, tinggalkan mereka berdua.” Ujar Jiyo berbisik, tangannya menarik lengan Donghae masuk
kedalam rumah dengan pelan. Donghae menjawab dengan bisikan protes yang lambat laun tidak terdengar.
Kedua insan itu kini hanya saling mengadu tatapan tanpa kata, membiarkan mereka larut dalam benak masing – masing. Naomi mengalihkan pandangan ke arah lain, membuat mereka terjebak dalam situasi diam yang canggung. Jadi, dimana kata – kata yang banyak dan ingin ia katakan itu?

“Bagaimana kencanmu?” Gadis itu duduk di teras dengan santai, berusaha bersikap senormal mungkin. Jonghyun yang merasa diamnya terusik menggaruk tengkuknya kikuk, tenggorokannya seperti tercekat. Ia tidak bisa mengatakan apapun. Laki - laki itu, tidak pernah dalam keadaan seperti ini dengan Naomi.
“M-mwo? Oh..ken..kencan? Ah..aku tidak tau.” Jonghyun yang menjawab langsung menunduk, merutuki kebodohannya. Mengapa otak dan hatinya tidak sejalan? Naomi diam sejenak, menerka – nerka apa yang terjadi pada kencan laki - laki itu hari ini. Hayoung menerimanya? Oh tentu saja, siapa yang tidak mau menerima laki - laki sepertinya.
Naomi tersenyum lemas, tangannya terulur ke hadapan laki - laki itu walaupun  sedikit bergetar.
“Chukkae-..”
“Ah ne! Saengil chukkae hamnida!” Jonghyun berseru keras seperti orang frustasi dengan wajah yang dibuat - buat bahagia, tangannya yang dingin menyambut uluran tangan Naomi, menjabat tangannya. Naomi yang terkejut hanya bisa membelalakan matanya. Apa ia salah bicara? Pasti laki - laki ini terlalu senang karena kencan pertamanya sukses sekali. Tunggu, bukankah tadi ia mengucapkan selamat pada Naomi?
“Hmm? Ah..gomawo Jonghyun-a.” Naomi berkata sambil menatap Jonghyun dalam – dalam, laki - laki itu malah menunduk. Jonghyun berusaha menyembunyikan raut wajahnya dari Naomi.  Gadis itu semakin bingung, malah ikut menunduk sambil memainkan jemarinya seperti anak kecil.
“Naomi-ya.”
“Hmm?”
“Mianhaeyo.”
“Ah, gwenchana. Aku mengerti karena kau selalu lupa ulang tahun-“
“Aniii, maksudku aku benar – benar minta maaf.” Laki - laki itu berucap dengan serius, membuat Naomi disampingnya menoleh cepat.
“Aku benar – benar membutuhkanmu.” Tangan dingin itu menggenggam tangan seorang gadis disampingnya, lantas ikut duduk tepat bersebelahan dengan gadis itu. Naomi menatap laki - laki itu dalam diam, jantungnya benar – benar merasa lelah karena terlalu cepat berdetak sekarang.
“Aku benar – benar tidak bisa melakukan apapun tanpamu Naomi-ya. Aku baru menyadari kau sangat berharga untukku bahkan tidak ternilai dengan apapun. Kau adalah teman terbaik yang aku milikki, keadaan selalu lebih baik jika aku bersamamu. Hanya kau yang mengerti keadaanku. Mianhae, izinkan aku mengulang dari awal lagi.” Gadis itu seperti bermimpi, khayalan yang dulu sudah berusaha ia hilangkan kini bangkit semuanya. Naomi berusaha kembali menepis semua khayalan itu, ia menatap temannya itu dengan lembut, ia tak mau kembali jatuh hanya karena menganggap kata – kata Jonghyun yang barusan dengan berlebihan. Gadis itu tersenyum, membuat Jonghyun ikut tersenyum di hadapannya. Laki - laki itu sedikit lega melihat wajah Naomi yang tidak lagi muram seperti saat ia menatapnya dari depan pintu rumah tadi.
“Kalau begitu, kita mulai dari awal.” Naomi kembali menjabat tangan laki – laki itu yang sempat terlepas.
“Annyeong, Lee Naomi imnida. Aku ingin menjadi teman terbaik yang dimilikki Lee Jonghyun.”
“Annyeong, Lee Jonghyun imnida.” Laki - laki itu tersenyum manis dan menatap Naomi dalam – dalam seakan tak mau gadis itu mengalihkan pandangan darinya. Jonghyun menggenggam tangan gadis itu yang barusan menjabatnya, kemudian ia turun dari posisinya tadi menjadi berlutut.
“Dan aku…ingin menjadi lebih dari sahabatmu, Naomi-ya. Aku membutuhkanmu, saranghae.”

We resembled each other so much and you were my precious friend
Baby, that’s what I believed but you came to me and it was so strange
Now I finally know that you’re so precious
I finally realized that you’re the love that I learned with my heart
You came to me, into my heart, as something more than a friend

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~THE END~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Annyeong, Na-ya

Oke. Baru nyadar kalo tag line (?) tumblr saya “My Another Diary” itu ga sesuai sama yg selama ini saya posting. Parah banget mi, udah berapa taun lu punya tumblr ini -____-

Jadi sekarang mau nyobain ah nulis diary lagi setelah sekian lama, terakhir waktu SD soalnya haha. Gini, biasanya saya bikin ff itu ngehayal, pengalaman orang lain, adaptasi lagu dan mv, jarang loh yg pengalaman pribadi. Kalo kamu yang baca ini reader setia ff saya (emang ada?-_-) pasti tau kan genre nya apa? Romance, sweet, comfort, fluff. Cih, kamu pikir saya banyak pengalaman soal cinta? Sayangnya ngga :)

Mungkin karena saya kebanyakan ngehayal jadi kurang ngurusin soal kehidupan real saya sendiri. Ngga gitu juga sih. Ya pokoknya saya selama ini kayanya kebanyakan ngayal aja, untung jadi penulis ff, kalo ngga? mungkin saya udah jadi orang gila sekarang.

Saya benci menulis, dulu. Sekarang ngga tau seberapa cintanya saya sama dunia sastra. Awalnya saya pikir sastra itu berat. Kenapa? Terlalu banyak perumpamaan, majas, kata - kata yang terlalu panjang, sulit dipahami malah bisa sampe membosankan.

Waktu pertama kali nulis ff rasanya aneh banget, saya kaya orang gila yang sedang curhatin mimpi saya, khayalan saya, dan saya seakan - akan maksa orang buat baca curhatan saya itu hahahaha.

Tapi ngga nyangka deh, ternyata mereka beneran mau baca. Mereka seneng bacanya, dan saya seneng kalo liat orang lain seneng karena karya yang saya buat. Bukan sombong, serius deh saya seneng kalo liat mereka seneng juga. Malah ada yang sampe minta dibikinin ff dengan cast mereka sendiri. Saya malah jadi gugup, takut ngga bagus, takut ngga sesuai dengan apa yang mereka mau.

Sampe suatu saat rasa gugup itu berubah jadi rasa berani untuk membuat ff dengan cast saya sendiri. Iseng sih, malah gatau kenapa malu banget selama ngetik. Akhirnya sih, jadi biasa aja, malah biar ngga malu saya ngga pernah koreksi sebelum share ke readers hahahaha.

Saya akhirnya jadi seneng banget bikin ff dengan cast saya sendiri, soalnya ngga canggung. Dan seiring berjalannya waktu gatau udah berapa karya yang saya tulis. Gatau kenapa, kisah real life saya kerasa kaya ff banget, kaya drama korea, kaya buku cerita, kaya novel. Lebay sih emang, tapi bener loh. Kadang saya jadi ngerasa nyesel sendiri kenapa dulu kepikiran buat bikin ff kalo akhirnya hidup saya jadi ikut - ikutan kaya begitu.

Awalnya sih biasa aja, cuma kebetulan. Tapi lama - lama kok hidup gue drama banget yak. Sebelnya lagi, kalo misalkan kisah hidup saya beneran kaya ff serem kali. Nunggu bertahun - tahun, bertemu dengan takdir yang beneran misterius, atau malah diakhiri dengan menyedihkan (naudzubillahimindzalik).

Tapi saya sadar. Saya ngga pernah layak untuk tau lebih jauh tentang masa depan saya sebelum waktunya. Toh, Allah pasti udah menyediakan kisah yang terbaik dan terindah untuk saya. Harusnya saya tidak menerka - nerka, merangkai momen - momen yang mungkin sebenernya emang cuma kebetulan, dan menebak sesuatu yg harusnya memang misteri. Namun saya cuma manusia biasa, punya kekurangan. Mungkin itu salah satu kelemahan saya, selalu menebak yang belum terjadi dan akhirnya galau sendiri.

Nah, sekarang saya sedang mencoba meminimalisir kebiasaan jelek itu. Membiarkan kisah ini mengalir tanpa tau kemana akan bermuara. Mencoba pasrah dan tidak banyak berharap. Setidaknya akan meminimalisir rasa sakit saya, ngga ngerugiin orang lain juga kok.

Mimi fighting!!! ^-^9

Senin, 17 Februari 2014

Hello/Goodbye

You came to me by coincidence and embraced me
And as we blankly stared at each other, you said goodbye

You only passed through in my dreams
But now you’re in front of me

Love has come
But you say you’re leaving
I waited for you
But you say I can’t see you anymore
Always like a fool
The flowing tears tell me
Goodbye now, goodbye

Hello Hello Hello
Hello Hello

When we meet again, I’ll be the first to say
I’m alright, hello

Will I see you at least in my dreams?
I close my eyes

Love has come
But you say you’re leaving
I waited for you
But you say I can’t see you anymore
Always like a fool
The flowing tears tell me
Goodbye now, goodbye

I hope time hurries up
And brings you to me
I hope you will tell me just once
Things that are unbelievable

Where are you?
Do you know my heart?
I miss you
(In a place I can’t ever see you again)
I shout to the night sky, hello

Love has come
But you say you’re leaving
I waited for you
But you say I can’t see you anymore
Always like a fool
The flowing tears tell me
Goodbye now, goodbye

Hello Hello Hello
Hello Hello

Minggu, 05 Januari 2014

:)

"I wish to leave you with only good memories. Goodbye and take care, my love"