Rabu, 04 Desember 2013

(SONGFIC) SPRING RAIN



Love came to me like spring rain
Completely soaking me wet
Without a sound,
 it melts my frozen heart and awakens me

Lagi. Entah sudah berapa kali gadis itu menangis dalam rinai hujan yang menyembunyikan air matanya. Menangisi laki – laki yang sama setiap ia menangis selama 2 tahun ini. Hatinya seperti sudah tidak berbentuk, entah beku ataupun cair. Hal yang membuat ia menangis berbeda, namun penyebabnya selalu sama. Berkali – kali ia sudah mencoba menyerah akan perasaanya yang semakin lama semakin menyakitnya. Namun otaknya sudah seperti mati, ia bahkan seperti menikmati setiap rasa sakit yang ia derita karena laki – laki itu.
Ia mengeluarkan suara terisak pelan, sehingga mampu dikalahkan suara hujan yang jatuh beriringan menuju tubuh mungilnya yang berbalut kaos abu – abu muda itu. Ia seperti tidak merasa kedinginan ataupun basah, otaknya terus mengulang kejadian yang terjadi dihadapan matanya sendiri. Lelaki yang ia cintai, tertawa bersama seorang gadis berambut ikal dengan manisnya. Laki – laki itu kelihatan sangat bahagia.
Gadis ini tau itu semua akan terjadi cepat atau lambat, yang ia harap akan terjadi jika perasaannya pada laki – laki  itu telah hilang semua. Tapi apa? Semua berlalu begitu cepat ia rasa, tanpa menghilangkan setitik pun perasaan yang ia rasakan.
Tes…tes…tes
Air hujan itu perlahan terasa berhenti membentur kepala dan bahunya, tak ada lagi suara tetesan air yang jatuh diatas tanah. Kedua bola matanya memandang sekeliling, mengamati keadaan taman itu seusai hujan yang penuh dengan titik air. Gadis itu mendongakan kepalanya dan mengamati langit yang mulai berganti cerah dan tak lagi kelabu. Ia menginjakkan kakinya keatas tanah dan berdiri dengan wajah tegar seadanya. Kembali berubah menjadi gadis dingin yang terlihat angkuh, kemudian berjalan pulang dengan ekspresi datar tak peduli.
Aneh?  Tentu saja. Tapi gadis ini bukannya tidak normal. Ia hanya berusaha untuk menjadi dirinya sendiri saat ini. Menjadi gadis dingin yang tidak peduli keadaan sekitar, tegar menghadapi apapun, dan tidak akan menangisi hal – hal bodoh seperti…cinta.


~~~
It’s sweet
This vague feeling,
this  fluttering heart
I guess I haven’t known love till now
Suara bersin lagi – lagi terdengar dari sebuah bangku di sudut kelas, seorang gadis sesekali menggosok hidung dengan jari tangan mungilnya. Mungkin gadis itu terserang flu akibat berdua dengan hujannya kemarin. Hidungnya terlihat agak memerah dan matanya sedikit berair, seharusnya ia istirahat dirumah saja saat ini.
“Kau sakit eoh?” sebuah punggung tangan mendarat tepat di pipi kanan gadis itu, membuat sang gadis mendongak untuk melihat siapa yang melakukan itu terhadapnya. Laki – laki itu.
Kau, masih peduli padaku?”
“Cuma flu.” Gadis itu menjawab dengan suara datar, berbanding sangat terbalik dengan detak jantungnya yang semakin cepat.
“Mmm…” Laki - laki itu duduk di bangkunya, tidak mempermasalahkan respon gadis itu padanya barusan. Sudah biasa untuknya. Gadis itu memang selalu bersikap tak acuh padanya, tak peduli. Bahkan laki – laki ini kadang berpikir jika gadis itu membencinya. Sedingin itu gadis itu bersikap pada semua orang? Atau…hanya padanya?
Gadis disampingnya sedang berusaha focus pada lembaran – lembaran berisi hal mengenai seni rupa di hadapannya. Otak memang sering tidak sejalan dengan hati. Hatinya masih menikmati perasaan yang samar – samar ia rasakan, manis. Namun entah mengapa, sesering apapun rasa manis itu berubah menjadi pahit, ia tetap menikmatinya. Menikmati debaran jantungnya yang cepat dan tidak beraturan.

~~~
Love makes me be born again
Like the very first time
Rain falls again today and tomorrow
Rain that resembles you is falling

“Aissh, sampai kapan aku ada disini!” Gadis itu menggerutu sendirian di depan gerbang sekolahnya, berteduh didalam sebuah kotak berdinding kaca yang cukup tinggi untuk menampung tubuhnya bersama telepon umum yang berdiri gagah disampinya. Saat gadis ini berjalan pulang, hujan tiba – tiba mengguyur jalanan dengan sangat deras. Satu – satunya tempat berteduh yang berdekatan dengan gadis itu hanyalah sebuah kotak telepon umum, yang membuat gadis itu terjebak sampai saat ini karena hujan belum juga berhenti.
Tiba – tiba jantung gadis itu berdetak tak normal, seperti akan ada sesuatu yang terjadi pada dirinya. Dan, benar saja. Langkah kaki yang terdengar cepat datang menghampiri kotak yang memiliki dinding kaca itu, tak sampai lima detik pintu kotak telepon itu terbuka dan memunculkan sosok yang basah kuyup dengan sebuah payung tak berwarna di tangannya.
Gadis itu hanya mematung melihat laki – laki yang basah kuyup dihadapannya, mencoba bersikap sewajar yang ia bisa. Laki – laki dihadapannya menutup pintu terburu kemudian duduk dilantai, tidak mencoba menoleh atau menyapa seseorang yang sudah lebih dahulu ada disana sebelum dirinya. Sang gadis memperhatikan laki – laki itu dengan teliti, mencari apa sebab ia ada disini. Bukankah ia membawa payung di tangannya?
“Aissh!” Laki – laki itu mengacak rambut basahnya frustasi, sesekali mencoba memasang sesuatu yang lepas dari payungnya. Gadis disampingnya mulai tertarik mengamati lebih dekat, lantas mencoba menyeimbangkan posisinya dengan laki – laki itu.
“Rusak?” Pertanyaan sang gadis hanya dijawab anggukan ringan olehnya, tangannya masih mencoba memperbaiki beberapa pengait dari kain pelindung hujan itu dengan beberapa besi berukuran kecil yang terhubung dengan tiang besar yang merupakan bagian dari gagangnya.
“Berikan padaku.” Gadis itu mengambil alih yang dikerjakan laki – laki tersebut, mencoba memperbaiki benda itu dengan cepat dan teliti. Laki – laki dihadapannya tersenyum samar, mengamati wajah serius yang begitu menarik perhatian baginya. Mengamati setiap lekuk wajah dihadapannya yang menurutnya nyaris sempurna, senyumnya masih melengkung sampai akhirnya sang gadis menyodorkan gagang payung itu ke hadapannya.
“Ah, terimakasih.” Laki – laki itu menerima benda dihadapannya dengan terburu, seperti baru saja tertangkap mencuri sesuatu. Gadis dihadapannya hanya menatap aneh, kemudian berdiri kembali sambil mengamati suasana diluar kotak itu melalu dinding kaca yang nyaris berembun. Ia menghela nafas, takut bila hujan ini tak kunjung berhenti sampai malam.
Laki – laki itu berdiri dan tersenyum puas menatap payung dengan kain transparan itu sudah dapat digunakan kembali. Matanya beralih melihat gadis disampingnya yang menatap hujan resah, sesekali menggosokan kedua tangannya agar sedikit merasa hangat.
Tiba – tiba kedua tangan gadis itu digenggam seseorang, sebuah napas mengenai kedua tangan itu kemudian kedua tangan milik sosok lain menggosokannya lembut, membuat kedua pasang tangan yang merasa kedinginan itu merasa hangat.
Gadis itu hanya mematung merasakan kehangatan yang menjalar dari kedua telapak tangannya, menatap sosok dihadapannya terpaku. Laki – laki itu lantas berdiri dan tersenyum manis, memperlihatkan deretan gigi putihnya.
“Ayo, kita pulang.”
Laki – laki itu menggandeng tangan sang gadis lembut, tangannya yang lain mencoba membuka pintu kemudian mengeluarkan tangannya yang sudah memegang gagang payung dan menekan tombol agar membuat payung itu terbuka. Laki – laki itu mengeluarkan kepalanya yang sudah terlindungi oleh payung kemudian melangkahkan kakinya keluar. Gadis itu mengikuti di belakangnya dalam diam, ia benar – benar bingung harus melakukan apa saat ini.
Mereka pun berjalan berdampingan dalam diam. Sang gadis merasa risih dengan tangan lain yang tertaut dengan tangannya, kemudian melepaskan genggamannya dan menggosokan kedua telapak tangannya. Menghembuskan nafasnya pada kedua telapak tangan itu.
Laki – laki disampingnya memperhatikan, ia tau betul bahwa gadis itu menghindari sentuhannya.
“Masih dingin ternyata.” Laki – laki itu melingkarkan tangannya ke pundak gadis itu, menarik tubuh mungil itu agar lebih dekat dengan tubuhnya. Gadis itu kembali terkejut, matanya membulat, membuat laki – laki disampingnya tersenyum penuh arti dan merangkulnya lebih erat.
DIam. Semua suasana itu berlanjut kembali dalam diam. Gadis itu masih tetap dalam posisi sebelumnya, dalam dekapan lelaki itu dan tak bergeming. Seakan merasa nyaman dengan posisinya saat ini, merasa ingin menghentikan waktu jika ia bisa. Nyaris sama dengan laki – laki disampingnya yang ingin waktu terus berlanjut, terus berjalan, seandainya gadis itu tetap disampingnya. Perasaan mereka sama, hanya terlalu egois untuk saling mengaku.
Tetesan air yang menampar tanah itu mulai berkurang, rintik hujan semakin sedikit membasahi kain transparan yang melindungi kedua orang itu. Langit yang tadi kelabu kini sedikit mengeluarkan warna jingga yang hangat.
Laki – laki itu berhenti berjalan, kemudian menurunkan payungnya dan menatap langit. Gadis itu hanya menikmati pemandangan indah yang sedang mendongakan kepala disampingnya, sebuah anugrah dari Tuhan yang menemaninya hari ini. Gadis itu berharap jika saja pemandangan disampingnya itu hanya miliknya, selamanya.
Laki – laki itu menadahkan tangannya, merasakan ada atau tidaknya air yang jatuh dari langit. Hujannya sudah berhenti.
“Rumahku tidak jauh dari sini.” Gadis itu memecah keheningan, membuat lelaki disampingnya menoleh.
“Aku duluan saja, terimakasih atas payungnya.” Gadis itu membungkuk sopan, kemudian tersenyum samar. Saat kaki gadis itu hendak melangkah, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Sebuah kecupan mendarat di pipi kanannya, membuat semburat merah muda muncul di kedua pipinya. Gadis itu terkejut sesaat kemudian berbalik dan berjalan cepat – cepat melanjutkan perjalanannya menuju rumah.
Laki – laki itu lantas tersenyum sendirian, mengamati gadis dihadapannya yang melangkah tergesa. Ia menutup payungnya kemudian melanjutkan perjalanannya pulang.
~~~
Love makes me be born again
Like the very first time
I’m smiling again today and tomorrow
I draw you out, I feel you
Gadis itu terus tersenyum mengingat kejadian kemarin sore. Ia seperti sudah gila sekarang. Padahal baru saja hari sebelumnya ia menangis tersedu karena lelaki itu, sekarang ia malah tersenyum sampai pipi dan rahangnya lelah.
Lelaki itu sebenarnya apa? Seenaknya sekali membuat dirinya menjadi seperti ini.
Gadis itu melangkahkan kakinya menuju ruang kelas, seakan siap menerima materi apapun dari dosennya karena emosinya yang sedang baik hari ini.
Namun tidak, tidak sampai laki – laki itu menghampiri gadis berambut ikal yang sedang membaca buku di tengah ruangan. Mereka tampak tertawa bersama, melontarkan candaan satu sama lain.
Senyum gadis itu memudar, merasa kalau peristiwa kemarin sama sekali tidak ada artinya. Bodoh. Lagi lagi ia mengutuk dirinya sendiri yang sudah merasa senang tanpa mengingat sakit hatinya dulu. Apakah lelaki ini hanya mempermainkan perasaannya? Tapi…bukankah gadis ini tidak memilikki hak apapun untuk marah?
~~~
It can't be
To live a day without you
Without you
Feels like dying
It can't be, i can't be,
Without you, seems like i can't live
How can i live
“Aissh kenapa aku bodoh sekali!” lelaki itu kembali melempar panah dart dengan kasar kearah dartboardnya, namun tidak mengenai sasaran. Ia masih merutuki kelakuan bodohnya pagi tadi, berusaha untuk melupakan gadis yang ia cintai dulu dengan mendekati gadis lain.
Lelaki ini masih mencintai gadis berambut panjang sebahu itu, yang ia temui saat hujan di musim semi tiga tahun silam. Gadis yang ia cintai begitu saja ketika mereka sama – sama terjebak dalam hujan, terjebak dalam sebuah perasaan yang mereka tidak tau apa, kenapa, dan bagaimana bisa ini terjadi. Mereka sama – sama diam dalam perasaan yang sama. Tidak ada yang memulai semua, mereka hanya berkomunikasi melalui kontak mata dan hati masing – masing. Dan sebenarnya mereka memiliki perasaan itu, perasaan yang sama.
 Namun lelaki ini terlalu pengecut untuk memulai kembali kisah cinta mereka berdua yang sempat terpisah tiga tahun lamanya. Memang, mereka tidak memiliki hubungan apapun sebelumnya, dan niat lelaki ini untuk menyatakan perasaannya dulu tidak sesuai rencana.
Pada saat hujan di awal musim semi tahun berikutnya, ia baru saja ia akan menyatakan yang sebenarnya namun gadis ini pergi begitu saja, jauh meninggalkan dirinya sendirian, melanjutkan studinya ke Negara matahari terbit yang terkenal dengan bunga sakuranya itu. Lelaki ini terlalu marah untuk menyatakan perasaannya melalui telepon atau apapun. Ia hanya kesal mengapa tidak ada kabar darinya, ia hanya pergi begitu saja. Hingga akhirnya lelaki ini memutuskan untuk melupakannya, mengubur semua kenangan yang menurutnya indah bersama gadis itu. Sampai akhirnya ia bertemu kembali dengan gadis ini disini, sebuah universitas di Genewa.
Semua kenangan yang telah sengaja ia berusaha lupakan akhirnya teringat kembali. Bukan tidak ingin memulai kembali, namun ia masih ragu untuk melakukannya. Apakah gadis ini masih sama seperti dulu? Apakah gadis ini memilikki perasaan yang sama dengannya. Ia tidak tau. Satu hal lagi yang menambah keraguannya. Gadis ini bahkan tidak menghubunginya sama sekali selama ia pergi.
Suara rintikan air terdengar cukup deras membentur bumi, membuat lelaki itu bangkit dari kasurnya lantas melihat keluar jendela. Hatinya berdebar kencang namun samar samar, ia seperti merindukan sesuatu setelah mendengar suara hujan itu. Tangannya meraih mantel berwarna biru tua, kakinya melangkah keluar dari rumah. Mengikuti suara hujan itu kemana akan membawanya.
~~~
The day when the spring rain fell
The day that was filled with your scent
My love goes back in time
And falls down as spring rain
Like destiny

Gadis itu kembali menangis ditemani rinai hujan, namun kali ini dalam keadaan diam dan menunduk. Ia berjanji ini akan jadi tangisannya yang terakhir untuk laki – laki itu. Ia mulai mengorek kembali lukanya yang sudah hampir tertutup itu sebelum bertemu kembali dengan penyebabnya. Mulai mengingat kembali tiga tahun yang ia lalui seperti seorang gadis bodoh yang menunggu sesuatu yang tidak pasti.
Ia masih mencintai lelaki yang ia temui saat rintikan air membasahinya, sama basahnya dengan laki – laki disampingnya. Mereka sama – sama berteduh dibawah pohon besar di sebuah taman kota. Lelaki yang telah mencairkan hatinya yang beku untuk siapapun, yang telah membuatnya serapuh ini, membuatnya menutup hati untuk lelaki manapun. Mereka hanya bertemu beberapa kali, dapat dihitung menggunakan jari. Rumah mereka yang cukup dekat adalah satu – satunya alasan mengapa mereka bisa bertemu di taman itu. Namun seperti ada benang merah yang mengikat mereka berdua lebih erat dari sebuah istilah teman satu perumahan atau tetangga. Hanya beberapa kali saling memandang namun sudah cukup menguatkan dan meyakinkan perasaan mereka jika mereka memilikki sesuatu.
Hingga akhirnya gadis ini harus melanjutkan cita – cita dan tujuannya sejak dulu untuk pergi. Membuat ia harus merelakan pemandangan yang ia kagumi saat hujan waktu itu, atau saat ia melewati sebuah rumah jika pulang atau pun berangkat ke sekolah.
Gadis ini pun terus menanti lelaki itu bertanya soal kabarnya selama di Genewa. Bodoh. Tidak mungkin lelaki ini menghubunginya jika tidak mempunyai sesuatu yang dapat dipakai untuk berhubungan dengannya. Lagi pula, memangnya lelaki ini mempunyai perasaan yang sama dengannya? Ia tidak tau.
Tiba – tiba sebuah mantel hinggap menutupi punggung gadis itu dengan lembut. Gadis itu mendongak dan mendapati lelaki yang sedari tadi berputar di pikirannya itu menatap lembut padanya. Gadis itu berdiri dengan pelan, lantas mendaratkan tamparan keras di pipi lelaki itu.
Laki – laki itu mematung sejenak, cukup terkejut dengan perlakuan gadis itu padanya barusan. Ketika gadis itu hendak melakukan tamparan keduanya, laki – laki itu dengan cepat memeluknya.
“Lepaskan aku!”
“Aku tidak mau.”
Gadis itu memukul lemah dada yang menjadi tempatnya bersandar sekarang, menyalurkan perasaan kesalnya selama ini dengan lemah. Lelah, sedih, bingung menjadi satu. Lelaki itu tetap mendekapnya erat, tidak memperdulikan rasa panas di pipinya atau rasa sakit di dadanya.
“Katakan kau mencintaiku.” Laki – laki itu berbisik lirih.
“Aku tidak mau.”
“Aku bilang katakan kau mencintaiku!” Kali ini lelaki itu bersuara lebih keras dengan suara paraunya.
“Aku tidak mau!!” Laki – laki itu melepaskan pelukannya kemudian meraih kedua belah pipi gadis dihadapannya, menatapnya penuh amarah. Gadis dihadapannya hanya menatap lemah, tenaganya sudah habis untuk menangis.
“Jangan berbohong, katakan padaku. Aku mohon.” Lelaki itu sudah merendah, merelakan apa saja untuk ia lakukan asal ia dapat mendengar kejujuran dari gadis dihadapannya. Batinnya sudah cukup terpukul dengan melihat gadis ini begitu lemah dan tersiksa dihadapannya, tersiksa karena dirinya.
“Aku bahkan seperti orang sekarat tiga tahun ini, kau pikir aku baik – baik saja? Kau pikir aku bersenang – senang tanpamu? Apa pikiranmu sesempit itu hah?!” Lelaki itu mengguncangkan bahu gadis dihadapannya cukup keras, sehingga gadis itu kembali terisak lemah.
“Aku mencintaimu. Walau sudah kucoba untuk lupa berulang kali tapi aku tak bisa. Apa yang kau lakukan padaku sehingga aku seperti ini?? Jawab aku!” Lelaki itu berteriak lelah, mencoba mengatakan perasaan yang ia simpan dan tidak dapat ia ceritakan kepada siapapun.
Gadis dihadapannya memandang lelaki dihadapannya tak percaya, ia seperti bermimpi, Atau mungkin air hujan sudah membuatnya berhalusinasi. Lagi – lagi hujan yang mempertemukan mereka. Hujan yang membawa perasaan mereka masing – masing kembali.
Gadis itu memeluk lelaki dihadapannya erat – erat, menyalurkan semua rasa yang seperti ia tak bisa katakan lagi. Kembali menangis, namun kali ini tangis bahagia. Ia tak menyangka jika kisahnya akan berjalan seperti hujan. Jatuh dan mengalir begitu saja tanpa kenal orang, tempat atau pun waktu. Kisah yang mengalir begitu saja layaknya air, tanpa mereka berusaha untuk saling menemukan. Takdir yang mempertemukan mereka kembali, indah dan terjadi begitu saja, seperti hujan di musim semi.
“Aku juga mencintaimu.”



~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~THE END~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

0 komentar:

Posting Komentar