Love
came to me like spring rain
Completely
soaking me wet
Without
a sound,
it melts my frozen heart and awakens me
Lagi. Entah sudah berapa kali gadis itu
menangis dalam rinai hujan yang menyembunyikan air matanya. Menangisi laki –
laki yang sama setiap ia menangis selama 2 tahun ini. Hatinya seperti sudah
tidak berbentuk, entah beku ataupun cair. Hal yang membuat ia menangis berbeda,
namun penyebabnya selalu sama. Berkali – kali ia sudah mencoba menyerah akan
perasaanya yang semakin lama semakin menyakitnya. Namun otaknya sudah seperti
mati, ia bahkan seperti menikmati setiap rasa sakit yang ia derita karena laki
– laki itu.
Ia mengeluarkan suara terisak pelan, sehingga
mampu dikalahkan suara hujan yang jatuh beriringan menuju tubuh mungilnya yang
berbalut kaos abu – abu muda itu. Ia seperti tidak merasa kedinginan ataupun
basah, otaknya terus mengulang kejadian yang terjadi dihadapan matanya sendiri.
Lelaki yang ia cintai, tertawa bersama seorang gadis berambut ikal dengan
manisnya. Laki – laki itu kelihatan sangat bahagia.
Gadis ini tau itu semua akan terjadi cepat
atau lambat, yang ia harap akan terjadi jika perasaannya pada laki – laki itu telah hilang semua. Tapi apa? Semua
berlalu begitu cepat ia rasa, tanpa menghilangkan setitik pun perasaan yang ia
rasakan.
Tes…tes…tes
Air hujan itu perlahan terasa berhenti
membentur kepala dan bahunya, tak ada lagi suara tetesan air yang jatuh diatas
tanah. Kedua bola matanya memandang sekeliling, mengamati keadaan taman itu
seusai hujan yang penuh dengan titik air. Gadis itu mendongakan kepalanya dan
mengamati langit yang mulai berganti cerah dan tak lagi kelabu. Ia menginjakkan
kakinya keatas tanah dan berdiri dengan wajah tegar seadanya. Kembali berubah
menjadi gadis dingin yang terlihat angkuh, kemudian berjalan pulang dengan
ekspresi datar tak peduli.
Aneh?
Tentu saja. Tapi gadis ini bukannya tidak normal. Ia hanya berusaha
untuk menjadi dirinya sendiri saat ini. Menjadi gadis dingin yang tidak peduli
keadaan sekitar, tegar menghadapi apapun, dan tidak akan menangisi hal – hal
bodoh seperti…cinta.
~~~
It’s
sweet
This
vague feeling,
this fluttering heart
I guess
I haven’t known love till now
Suara bersin lagi – lagi terdengar dari sebuah
bangku di sudut kelas, seorang gadis sesekali menggosok hidung dengan jari
tangan mungilnya. Mungkin gadis itu terserang flu akibat berdua dengan hujannya
kemarin. Hidungnya terlihat agak memerah dan matanya sedikit berair, seharusnya
ia istirahat dirumah saja saat ini.
“Kau sakit eoh?” sebuah punggung tangan mendarat
tepat di pipi kanan gadis itu, membuat sang gadis mendongak untuk melihat siapa
yang melakukan itu terhadapnya. Laki – laki itu.
“Kau,
masih peduli padaku?”
“Cuma flu.” Gadis itu menjawab dengan suara
datar, berbanding sangat terbalik dengan detak jantungnya yang semakin cepat.
“Mmm…” Laki - laki itu duduk di bangkunya,
tidak mempermasalahkan respon gadis itu padanya barusan. Sudah biasa untuknya.
Gadis itu memang selalu bersikap tak acuh padanya, tak peduli. Bahkan laki –
laki ini kadang berpikir jika gadis itu membencinya. Sedingin itu gadis itu
bersikap pada semua orang? Atau…hanya padanya?
Gadis disampingnya sedang berusaha focus pada
lembaran – lembaran berisi hal mengenai seni rupa di hadapannya. Otak memang
sering tidak sejalan dengan hati. Hatinya masih menikmati perasaan yang samar –
samar ia rasakan, manis. Namun entah mengapa, sesering apapun rasa manis itu
berubah menjadi pahit, ia tetap menikmatinya. Menikmati debaran jantungnya yang
cepat dan tidak beraturan.
~~~
Love
makes me be born again
Like the
very first time
Rain
falls again today and tomorrow
Rain
that resembles you is falling
“Aissh, sampai kapan aku ada disini!” Gadis
itu menggerutu sendirian di depan gerbang sekolahnya, berteduh didalam sebuah
kotak berdinding kaca yang cukup tinggi untuk menampung tubuhnya bersama
telepon umum yang berdiri gagah disampinya. Saat gadis ini berjalan pulang,
hujan tiba – tiba mengguyur jalanan dengan sangat deras. Satu – satunya tempat
berteduh yang berdekatan dengan gadis itu hanyalah sebuah kotak telepon umum,
yang membuat gadis itu terjebak sampai saat ini karena hujan belum juga
berhenti.
Tiba – tiba jantung gadis itu berdetak tak
normal, seperti akan ada sesuatu yang terjadi pada dirinya. Dan, benar saja.
Langkah kaki yang terdengar cepat datang menghampiri kotak yang memiliki
dinding kaca itu, tak sampai lima detik pintu kotak telepon itu terbuka dan
memunculkan sosok yang basah kuyup dengan sebuah payung tak berwarna di
tangannya.
Gadis itu hanya mematung melihat laki – laki
yang basah kuyup dihadapannya, mencoba bersikap sewajar yang ia bisa. Laki –
laki dihadapannya menutup pintu terburu kemudian duduk dilantai, tidak mencoba
menoleh atau menyapa seseorang yang sudah lebih dahulu ada disana sebelum
dirinya. Sang gadis memperhatikan laki – laki itu dengan teliti, mencari apa
sebab ia ada disini. Bukankah ia membawa payung di tangannya?
“Aissh!” Laki – laki itu mengacak rambut
basahnya frustasi, sesekali mencoba memasang sesuatu yang lepas dari payungnya.
Gadis disampingnya mulai tertarik mengamati lebih dekat, lantas mencoba
menyeimbangkan posisinya dengan laki – laki itu.
“Rusak?” Pertanyaan sang gadis hanya dijawab
anggukan ringan olehnya, tangannya masih mencoba memperbaiki beberapa pengait
dari kain pelindung hujan itu dengan beberapa besi berukuran kecil yang
terhubung dengan tiang besar yang merupakan bagian dari gagangnya.
“Berikan padaku.” Gadis itu mengambil alih
yang dikerjakan laki – laki tersebut, mencoba memperbaiki benda itu dengan
cepat dan teliti. Laki – laki dihadapannya tersenyum samar, mengamati wajah
serius yang begitu menarik perhatian baginya. Mengamati setiap lekuk wajah
dihadapannya yang menurutnya nyaris sempurna, senyumnya masih melengkung sampai
akhirnya sang gadis menyodorkan gagang payung itu ke hadapannya.
“Ah, terimakasih.” Laki – laki itu menerima
benda dihadapannya dengan terburu, seperti baru saja tertangkap mencuri
sesuatu. Gadis dihadapannya hanya menatap aneh, kemudian berdiri kembali sambil
mengamati suasana diluar kotak itu melalu dinding kaca yang nyaris berembun. Ia
menghela nafas, takut bila hujan ini tak kunjung berhenti sampai malam.
Laki – laki itu berdiri dan tersenyum puas
menatap payung dengan kain transparan itu sudah dapat digunakan kembali.
Matanya beralih melihat gadis disampingnya yang menatap hujan resah, sesekali
menggosokan kedua tangannya agar sedikit merasa hangat.
Tiba – tiba kedua tangan gadis itu digenggam
seseorang, sebuah napas mengenai kedua tangan itu kemudian kedua tangan milik
sosok lain menggosokannya lembut, membuat kedua pasang tangan yang merasa
kedinginan itu merasa hangat.
Gadis itu hanya mematung merasakan kehangatan
yang menjalar dari kedua telapak tangannya, menatap sosok dihadapannya terpaku.
Laki – laki itu lantas berdiri dan tersenyum manis, memperlihatkan deretan gigi
putihnya.
“Ayo, kita pulang.”
Laki – laki itu menggandeng tangan sang gadis
lembut, tangannya yang lain mencoba membuka pintu kemudian mengeluarkan
tangannya yang sudah memegang gagang payung dan menekan tombol agar membuat
payung itu terbuka. Laki – laki itu mengeluarkan kepalanya yang sudah
terlindungi oleh payung kemudian melangkahkan kakinya keluar. Gadis itu
mengikuti di belakangnya dalam diam, ia benar – benar bingung harus melakukan
apa saat ini.
Mereka pun berjalan berdampingan dalam diam.
Sang gadis merasa risih dengan tangan lain yang tertaut dengan tangannya,
kemudian melepaskan genggamannya dan menggosokan kedua telapak tangannya.
Menghembuskan nafasnya pada kedua telapak tangan itu.
Laki – laki disampingnya memperhatikan, ia tau
betul bahwa gadis itu menghindari sentuhannya.
“Masih dingin ternyata.” Laki – laki itu
melingkarkan tangannya ke pundak gadis itu, menarik tubuh mungil itu agar lebih
dekat dengan tubuhnya. Gadis itu kembali terkejut, matanya membulat, membuat
laki – laki disampingnya tersenyum penuh arti dan merangkulnya lebih erat.
DIam. Semua suasana itu berlanjut kembali
dalam diam. Gadis itu masih tetap dalam posisi sebelumnya, dalam dekapan lelaki
itu dan tak bergeming. Seakan merasa nyaman dengan posisinya saat ini, merasa
ingin menghentikan waktu jika ia bisa. Nyaris sama dengan laki – laki
disampingnya yang ingin waktu terus berlanjut, terus berjalan, seandainya gadis
itu tetap disampingnya. Perasaan mereka sama, hanya terlalu egois untuk saling
mengaku.
Tetesan air yang menampar tanah itu mulai
berkurang, rintik hujan semakin sedikit membasahi kain transparan yang
melindungi kedua orang itu. Langit yang tadi kelabu kini sedikit mengeluarkan
warna jingga yang hangat.
Laki – laki itu berhenti berjalan, kemudian
menurunkan payungnya dan menatap langit. Gadis itu hanya menikmati pemandangan
indah yang sedang mendongakan kepala disampingnya, sebuah anugrah dari Tuhan
yang menemaninya hari ini. Gadis itu berharap jika saja pemandangan
disampingnya itu hanya miliknya, selamanya.
Laki – laki itu menadahkan tangannya,
merasakan ada atau tidaknya air yang jatuh dari langit. Hujannya sudah
berhenti.
“Rumahku tidak jauh dari sini.” Gadis itu
memecah keheningan, membuat lelaki disampingnya menoleh.
“Aku duluan saja, terimakasih atas payungnya.”
Gadis itu membungkuk sopan, kemudian tersenyum samar. Saat kaki gadis itu
hendak melangkah, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Sebuah kecupan
mendarat di pipi kanannya, membuat semburat merah muda muncul di kedua pipinya.
Gadis itu terkejut sesaat kemudian berbalik dan berjalan cepat – cepat
melanjutkan perjalanannya menuju rumah.
Laki – laki itu lantas tersenyum sendirian,
mengamati gadis dihadapannya yang melangkah tergesa. Ia menutup payungnya
kemudian melanjutkan perjalanannya pulang.
~~~
Love
makes me be born again
Like the
very first time
I’m
smiling again today and tomorrow
I draw
you out, I feel you
Gadis itu terus tersenyum mengingat kejadian
kemarin sore. Ia seperti sudah gila sekarang. Padahal baru saja hari sebelumnya
ia menangis tersedu karena lelaki itu, sekarang ia malah tersenyum sampai pipi
dan rahangnya lelah.
Lelaki itu sebenarnya apa? Seenaknya sekali
membuat dirinya menjadi seperti ini.
Gadis itu melangkahkan kakinya menuju ruang
kelas, seakan siap menerima materi apapun dari dosennya karena emosinya yang
sedang baik hari ini.
Namun tidak, tidak sampai laki – laki itu
menghampiri gadis berambut ikal yang sedang membaca buku di tengah ruangan.
Mereka tampak tertawa bersama, melontarkan candaan satu sama lain.
Senyum gadis itu memudar, merasa kalau
peristiwa kemarin sama sekali tidak ada artinya. Bodoh. Lagi lagi ia mengutuk
dirinya sendiri yang sudah merasa senang tanpa mengingat sakit hatinya dulu.
Apakah lelaki ini hanya mempermainkan perasaannya? Tapi…bukankah gadis ini
tidak memilikki hak apapun untuk marah?
~~~
It can't
be
To live
a day without you
Without
you
Feels
like dying
It can't
be, i can't be,
Without
you, seems like i can't live
How can
i live
“Aissh kenapa aku bodoh sekali!” lelaki itu
kembali melempar panah dart dengan kasar kearah dartboardnya, namun tidak
mengenai sasaran. Ia masih merutuki kelakuan bodohnya pagi tadi, berusaha untuk
melupakan gadis yang ia cintai dulu dengan mendekati gadis lain.
Lelaki ini masih mencintai gadis berambut
panjang sebahu itu, yang ia temui saat hujan di musim semi tiga tahun silam.
Gadis yang ia cintai begitu saja ketika mereka sama – sama terjebak dalam
hujan, terjebak dalam sebuah perasaan yang mereka tidak tau apa, kenapa, dan
bagaimana bisa ini terjadi. Mereka sama – sama diam dalam perasaan yang sama.
Tidak ada yang memulai semua, mereka hanya berkomunikasi melalui kontak mata
dan hati masing – masing. Dan sebenarnya mereka memiliki perasaan itu, perasaan
yang sama.
Namun
lelaki ini terlalu pengecut untuk memulai kembali kisah cinta mereka berdua
yang sempat terpisah tiga tahun lamanya. Memang, mereka tidak memiliki hubungan
apapun sebelumnya, dan niat lelaki ini untuk menyatakan perasaannya dulu tidak
sesuai rencana.
Pada saat hujan di awal musim semi tahun
berikutnya, ia baru saja ia akan menyatakan yang sebenarnya namun gadis ini
pergi begitu saja, jauh meninggalkan dirinya sendirian, melanjutkan studinya ke
Negara matahari terbit yang terkenal dengan bunga sakuranya itu. Lelaki ini
terlalu marah untuk menyatakan perasaannya melalui telepon atau apapun. Ia
hanya kesal mengapa tidak ada kabar darinya, ia hanya pergi begitu saja. Hingga
akhirnya lelaki ini memutuskan untuk melupakannya, mengubur semua kenangan yang
menurutnya indah bersama gadis itu. Sampai akhirnya ia bertemu kembali dengan
gadis ini disini, sebuah universitas di Genewa.
Semua kenangan yang telah sengaja ia berusaha
lupakan akhirnya teringat kembali. Bukan tidak ingin memulai kembali, namun ia
masih ragu untuk melakukannya. Apakah gadis ini masih sama seperti dulu? Apakah
gadis ini memilikki perasaan yang sama dengannya. Ia tidak tau. Satu hal lagi
yang menambah keraguannya. Gadis ini bahkan tidak menghubunginya sama sekali
selama ia pergi.
Suara rintikan air terdengar cukup deras
membentur bumi, membuat lelaki itu bangkit dari kasurnya lantas melihat keluar
jendela. Hatinya berdebar kencang namun samar samar, ia seperti merindukan
sesuatu setelah mendengar suara hujan itu. Tangannya meraih mantel berwarna
biru tua, kakinya melangkah keluar dari rumah. Mengikuti suara hujan itu kemana
akan membawanya.
~~~
The day
when the spring rain fell
The day
that was filled with your scent
My love
goes back in time
And
falls down as spring rain
Like
destiny
Gadis itu kembali menangis ditemani rinai
hujan, namun kali ini dalam keadaan diam dan menunduk. Ia berjanji ini akan
jadi tangisannya yang terakhir untuk laki – laki itu. Ia mulai mengorek kembali
lukanya yang sudah hampir tertutup itu sebelum bertemu kembali dengan
penyebabnya. Mulai mengingat kembali tiga tahun yang ia lalui seperti seorang
gadis bodoh yang menunggu sesuatu yang tidak pasti.
Ia masih mencintai lelaki yang ia temui saat
rintikan air membasahinya, sama basahnya dengan laki – laki disampingnya.
Mereka sama – sama berteduh dibawah pohon besar di sebuah taman kota. Lelaki
yang telah mencairkan hatinya yang beku untuk siapapun, yang telah membuatnya
serapuh ini, membuatnya menutup hati untuk lelaki manapun. Mereka hanya bertemu
beberapa kali, dapat dihitung menggunakan jari. Rumah mereka yang cukup dekat
adalah satu – satunya alasan mengapa mereka bisa bertemu di taman itu. Namun
seperti ada benang merah yang mengikat mereka berdua lebih erat dari sebuah
istilah teman satu perumahan atau tetangga. Hanya beberapa kali saling
memandang namun sudah cukup menguatkan dan meyakinkan perasaan mereka jika
mereka memilikki sesuatu.
Hingga akhirnya gadis ini harus melanjutkan
cita – cita dan tujuannya sejak dulu untuk pergi. Membuat ia harus merelakan
pemandangan yang ia kagumi saat hujan waktu itu, atau saat ia melewati sebuah
rumah jika pulang atau pun berangkat ke sekolah.
Gadis ini pun terus menanti lelaki itu
bertanya soal kabarnya selama di Genewa. Bodoh. Tidak mungkin lelaki ini
menghubunginya jika tidak mempunyai sesuatu yang dapat dipakai untuk
berhubungan dengannya. Lagi pula, memangnya lelaki ini mempunyai perasaan yang
sama dengannya? Ia tidak tau.
Tiba – tiba sebuah mantel hinggap menutupi
punggung gadis itu dengan lembut. Gadis itu mendongak dan mendapati lelaki yang
sedari tadi berputar di pikirannya itu menatap lembut padanya. Gadis itu
berdiri dengan pelan, lantas mendaratkan tamparan keras di pipi lelaki itu.
Laki – laki itu mematung sejenak, cukup
terkejut dengan perlakuan gadis itu padanya barusan. Ketika gadis itu hendak
melakukan tamparan keduanya, laki – laki itu dengan cepat memeluknya.
“Lepaskan aku!”
“Aku tidak mau.”
Gadis itu memukul lemah dada yang menjadi
tempatnya bersandar sekarang, menyalurkan perasaan kesalnya selama ini dengan
lemah. Lelah, sedih, bingung menjadi satu. Lelaki itu tetap mendekapnya erat,
tidak memperdulikan rasa panas di pipinya atau rasa sakit di dadanya.
“Katakan kau mencintaiku.” Laki – laki itu
berbisik lirih.
“Aku tidak mau.”
“Aku bilang katakan kau mencintaiku!” Kali ini
lelaki itu bersuara lebih keras dengan suara paraunya.
“Aku tidak mau!!” Laki – laki itu melepaskan
pelukannya kemudian meraih kedua belah pipi gadis dihadapannya, menatapnya
penuh amarah. Gadis dihadapannya hanya menatap lemah, tenaganya sudah habis
untuk menangis.
“Jangan berbohong, katakan padaku. Aku mohon.”
Lelaki itu sudah merendah, merelakan apa saja untuk ia lakukan asal ia dapat
mendengar kejujuran dari gadis dihadapannya. Batinnya sudah cukup terpukul
dengan melihat gadis ini begitu lemah dan tersiksa dihadapannya, tersiksa
karena dirinya.
“Aku bahkan seperti orang sekarat tiga tahun
ini, kau pikir aku baik – baik saja? Kau pikir aku bersenang – senang tanpamu?
Apa pikiranmu sesempit itu hah?!” Lelaki itu mengguncangkan bahu gadis
dihadapannya cukup keras, sehingga gadis itu kembali terisak lemah.
“Aku mencintaimu. Walau sudah kucoba untuk
lupa berulang kali tapi aku tak bisa. Apa yang kau lakukan padaku sehingga aku
seperti ini?? Jawab aku!” Lelaki itu berteriak lelah, mencoba mengatakan
perasaan yang ia simpan dan tidak dapat ia ceritakan kepada siapapun.
Gadis dihadapannya memandang lelaki
dihadapannya tak percaya, ia seperti bermimpi, Atau mungkin air hujan sudah
membuatnya berhalusinasi. Lagi – lagi hujan yang mempertemukan mereka. Hujan
yang membawa perasaan mereka masing – masing kembali.
Gadis itu memeluk lelaki dihadapannya erat –
erat, menyalurkan semua rasa yang seperti ia tak bisa katakan lagi. Kembali
menangis, namun kali ini tangis bahagia. Ia tak menyangka jika kisahnya akan
berjalan seperti hujan. Jatuh dan mengalir begitu saja tanpa kenal orang,
tempat atau pun waktu. Kisah yang mengalir begitu saja layaknya air, tanpa
mereka berusaha untuk saling menemukan. Takdir yang mempertemukan mereka
kembali, indah dan terjadi begitu saja, seperti hujan di musim semi.
“Aku juga mencintaimu.”
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~THE
END~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
0 komentar:
Posting Komentar