Rabu, 16 Maret 2016

New Normal Year



Author : Yuanri Kim


*untuk yang tidak dicetak tebal artinya flashback*







Warna - warna mencolok mulai terlihat di bagian langit manapun, membentuk bunga - bunga api dengan cantiknya. Suara gaduh dimana - mana, namun tak ada yang tampak terusik. Mungkin, karena sebagian rumah di sekitar sini ditinggal oleh pemiliknya, pergi merayakan momen ini di tempat lain.

Sepasang mata dengan lensa hitam pekat memandang sekelilingnya, tampak banyak orang bersenang - senang. Beberapa diantaranya rekan kerja bahkan klien, dan tak sedikit yang merupakan teman di bangku sekolah. Ia hanya membalas senyum yang sesekali muncul dan tertuju padanya. Diantara mereka malah mengajaknya mengobrol atau sekedar menawarkan kudapan, namun lagi - lagi ia menolak.

Ia malah kembali menatap langit, diantara warna malam yang gelap, pikirannya malah entah kemana. Malam ini adalah malam penentu baginya, bagi hidupnya kedepan. Memikirkan hidupnya setahun kedepan, kini malah memaksanya mengingat berbagai kejadian yang ia alami setahun ke belakang. 

Pertemuan, perpisahan, diterima, ditolak, diterbangkan, dijatuhkan, ia merasakan semuanya. Ia nyaris tak bisa menghitung berapa kali ia mengeluh lelah dalam setahun, atau pun tertawa bahagia. Namun tak bisa ia pungkiri, tahun ini merupakan tahun yang melelahkan. Ia sempat berpikir untuk lari dari masalah dan jadi pengecut, tapi keadaan memaksanya menghadapi. Keadaan dan seseorang. Ah iya, orang itu.

Sejenak matanya refleks menoleh kearah jam yang melingkar di pergelangan kanannya, sudah sekitar satu jam pesta berlangsung, namun tak ada tanda kehadiran orang itu. Helaan nafas panjang terdengar, toh ia juga tidak terlalu berharap. Mungkin orang itu terjebak macet, atau mungkin tidak sempat membaca post yang sengaja ia sebarkan lewat grup kelasnya semasa SMA. Berbagai pikiran berkecamuk, ia langsung menggeleng pelan, katanya tidak berharap, tapi ia malah berangan berbagai kemungkinan.

"Kris." suara itu lumayan membuatnya terkejut, ia menoleh dan mendapati mata teduh Minseok yang menyodorkan segelas sirup (yah karena kris benci alkohol) sambil menepuk pundaknya. Pria itu hanya membalas dengan segaris senyuman tipis dan menerima gelasnya, sebelah tangan ia sisipkan pada saku celana.

"Pestanya tidak menarik?" Minseok bertanya sementara Kris meneguk minumannya sambil menatap salah satu kembang api yang berwarna merah menyala. Kris mengedikkan bahu lalu terdiam sejenak sebelum berujar.

"Lumayan."
"Oh astaga, aku lupa. Maaf, rasanya aku tau kenapa kau tidak bisa menikmati pestanya." 

Kris menoleh cepat pada Minseok dan menatapnya tajam. Pria yang ditatap hanya memamerkan giginya sambil tertawa.

"Astaga, aku bercanda Kris. Aku tidak tau, sungguh." 

Minseok masih tergelak nyaris tersedak, wajah Kris tadi menyeramkan namun tampak terkejut bersamaan. Mengingat bahwa pria itu hanya berekspresi semaunya dan selalu memasang wajah datar, mirip patung es yang sekarang berada di tengah - tengah meja penyedia minuman.

Kris sendiri kini malah melamun dan menatap ke sembarang arah, mana pun, asal jangan wajah Minseok yang menangkap basah wajah gugupnya tadi. Padahal nyawanya seperti hampir lepas, ia pikir pria itu tau. Oh ayolah, bagaimana jadinya jika seorang Kris ketahuan masih memikirkan masa lalunya yang menyedihkan? ketahuan memikirkan orang itu? Harga dirinya bisa - bisa tinggal separuh.

"Ayo Kris maju saja. Sudah jelas kalah."
"Tinggal kau pilih, yang sedang duduk disana itu atau yang ada di dalam kelas."
"Sial kalian."

Kris, untuk pertama kalinya kalah taruhan dan harus membayarnya dengan dare yang ia dapat dari Junmyoon. Mengutarakan perasaannya (ya sebenarnya dia tak punya perasaan apa pun) pada beberapa objek yang ditunjuk teman - temannya. Ini lumayan sulit bagi seorang Kris. Kris yang selalu sendiri. Kris yang tidak perduli akan sekitar. Kris yang dingin. Kris, yang tidak pernah jatuh cinta. Uh, jatuh cinta saja sulit apalagi menyatakan perasaan pada orang yang tidak ia kenal.

Kris mulai mengamati calon 'korban' nya satu per satu. Yang berada di depan kelas ia sudah hapal betul wataknya, gadis itu sudah terkenal dengan sikap manjanya pada setiap namja tampan, agak menggelikan. Tapi dengan senyumnya yang manis membuat ia kelihatan lumayan. Namum, sepertinya akan berdampak buruk jika ia menyatakan pada gadis itu.

Matanya beralih pada gadis berkacamata yang sedang duduk membaca buku tebal, poninya sebatas alis, mulutnya sibuk berkomat- kamit entah sedang merapal apa. Ck, Kris jadi kasihan melihatnya, ia juga toh punya hati. Kasihan kalau gadis itu malah terbawa perasaan dan tersakiti. Ia bisa di cap sebagai laki - laki brengsek dengan mudah nantinya. Ah, apa yang harus ia lakukan.

“Aku traktir makan di kantin saja bagaimana?”

“Ei, tidak bisa begitu. Kau ini apa susahnya sih mencari…..”pertengahan kalimat Junmyoon tidak menghentikan Kris mengamati sekitar, namun beberapa detik setelahnya..

“Yak! Mau kemana kau Kris?”Lelaki dengan surai coklat terang itu mengabaikan beberapa seruan dan tanya dari temannya sambil melangkah lurus. Entah sudah dimana letak pikirannya, tatapannya masih tajam, namun tidak menusuk. Seorang gadis berambut panjang yang rapih terikat sedang memainkan ponselnya, dengan sebelah earphone putih yang tersambung ke telinga kanannya. Sesaat ia merasa seperti ada yang menghampiri, gadis itu menatap Kris dingin sekaligus bingung.

Kris menatap manik mata hitam bulat gadis itu, seketika ia gemetar, tiba – tiba gugup setengah mati.
“Kau, siapa?”

Kris jadi gelagapan, mendengar suara gadis ini malah makin membuatnya tidak keruan. Perlahan ia menunduk, membuang tatapannya menuju ke lantai.

“Kau, mau menjadi kekasihku?”
“Hah?”

‘Ah sial, ia pasti menganggapku orang aneh’ pikir Kris seraya tetap menunduk, kini ditambah memejamkan mata. Tuhan, ini momen paling memalukan dalam hidupnya. Ia tak mengenal siapa sosok di hadapannya, dan sekarang ia malah menyatakan cinta. Kris pasti sudah gila, bias saja ia terjatuh kedalam perangkap teman – temannya. Ia sudah membayangkan akan dipermalukan, ditinggalkan, atau mungkin mendapatkan tamparan di pipi oleh gadis ini. Masa bodoh, toh cuma sekali saja ia akan melakukan ini. Ia sudah berjanji dalam hati.


Namun alih – alih mendapatkan tamparan, sebuah layar ponsel disodorkan ke hadapan wajahnya

‘Aku harus jawab apa? Kau temannya Junmyoon ya?’

Seketika tulisan yang tertera di depannya memberi pencerahan, Kris hanya menyuruhnya mengangguk menggunakan bahasa isyarat. Gadis di hadapannya melirik kearah seberang lapangan dimana teman – teman Kris berada sekilas, kemudian tersenyum dan mengangguk pada Kris. Kris tersenyum kemudian menggaruk tengkuknya kikuk. Setelah terdengar tawa khas Lay di belakangnya, gadis itu tertawa kecil kemudian berbalik dan masuk kedalam kelasnya. Kris menghela napas lega, kemudian memutuskan untuk kembali ke tempat teman – teman usilnya duduk. ‘Ah Kris, kau sangat bodoh. Bahkan kau lupa mengucapkan terimakasih.’

Mata elang Kris menerawang kedalam isi gelasnya, kemudian tersenyum pedih. Momen yang barusan lewat di otaknya biasanya membuatnya tertawa, tapi kali ini ia bahkan sampai lupa bagaimana rasanya menertawakan sesuatu. Ia sudah bekerja keras menahan sesak di dadanya dan melupakan semua, dan ia nyaris berhasil dalam waktu dua tahun penuh. Meskipun kadang rasanya ia seperti ingin mati saja, tapi ternyata ia lebih kuat dari itu. Kuat untuk menahan sesaknya, tapi tak cukup kuat untuk melupakannya.



Dua tahun ia sudah berjuang hidup dengan separuh nafasnya, dengan hati yang mungkin sudah mati rasa. Ia tampak dingin seperti biasa, mungkin hanya beberapa orang yang tau apa yang hilang darinya. Ponselnya bergetar pelan dalam saku mantel yang ia kenakan. Jemarinya merogoh kedalam saku kemudian meraih benda persegi berlayar sentuh itu, satu buah notifikasi sedikit membuatnya terkejut. Tapi nyatanya tidak sedikit, kini ia benar – benar terkejut.


‘Kau bisa memberiku alamat jelasnya?’


“Kau punya nomornya kan, Kris?”

“Huh? Kenapa aku?”

Ran memasang wajah gemas sekaligus kesal, temannya ini seperti pura – pura bodoh. Mereka resmi menjadi teman setelah mengenal lebih jauh dan kelas mereka diacak, sehingga kini mereka merupakan teman sekelas. Kris masih fokus memainkan game di ponselnya, tinggal mengalahkan bos monster dan ia akan melangkah menuju level yang lebih tinggi, dengan senjata baru dan-


“Yak!”


Ran merengut sambil memegang ponsel Kris erat – erat, sekaligus berusaha menjauhkannya dari tangan panjang Kris. Lelaki dihadapannya hanya menghela napas, kemudian memandang Ran dengan tenang. Sedangkan gadis itu masih tidak bergerak sesenti pun dari posisinya, masih menatap Kris seperti memohon.


“Cari saja kalau ada.”


 Kris menyerah, toh tidak ada gunanya melarang. Ia akan tetap memintanya sampai ia dapat, Ran memang seperti itu. Ran yang terkadang manja, namun dapat berubah mandiri, Ran yang cuek namun dapat berubah pada saat – saat tertentu dan Ran yang kadang terlihat dewasa namun tetap menggemaskan di mata Kris. Ran yang seperti itu. Ran yang Kris sukai.

Ran kini sudah tersenyum lebar dan mengotak – atik ponsel Kris, mencari nomor yang ia butuhkan. Setelah mengetik huruf ‘A’ gadis itu mulai menelitinya satu persatu dan setelah ia menemukannya, ia segera memilih opsi ‘Send this contact’ untuk dikirim ke nomor ponselnya sendiri. Kris hanya menatap Ran lekat – lekat, gadis itu terlihat senang sekali seperti anak perempuan yang baru saja diberi boneka.


“Cuma untuk wawancara saja kan?”

“Ish, kau cerewet sekali. Iya cuma untuk wawancara.”


Ran tersenyum kemudian memeluknya sekilas sebagai ucapan terimakasih, Kris tersenyum tipis seperginya Ran dari hadapannya. Ia memiliki perasaan yang amat membuatnya tak nyaman, seperti ia akan menyesali keputusannya seumur hidup. Ia akan benar – benar menyesalinya.


Tiga menit. Lima menit. Tidak juga ada balasan atau pun jawaban dari chat yang baru saja masuk ke grup kelasnya itu. Apa baru ia saja yang membaca? Atau yang lain juga tidak tau alamat jelasnya? Ah, kenapa ia cepat sekali merespon. Rasanya lelaki itu ingin membuang ponselnya sekarang juga, atau bahkan keluar dari grup itu melalui akun pribadinya. Ia mengunci ponselnya kemudian kembali menyimpannya ke saku dalam – dalam. Kris memandang sekitarnya asal, menutupi rasa gugup. Ia akan masuk semester 5 di perkuliahan sekitar dua minggu lagi, tapi hatinya masih bergetar saat membuka media sosial. Kekanak – kanakan, ada yang salah dengan dirinya.

Kris mulai memandang satu – persatu lampu gedung lain disekitarnya, terlihat beberapa sudah ada yang padam, hanya sekian lampu yang menyala. Malam sudah mulai larut, mungkin orang – orang sudah mulai puas meledakkan kembang api dan memutuskan untuk merayakannya di dalam kamar yang hangat, dengan secangkir kopi susu panas dan menonton film, atau bermain game bola dengan teman sampai pagi. Namun entah kenapa, ia setuju – setuju saja saat Minseok memberitahukan rencana diadakannya pesta tahun baru sekaligus reuni angkatan mereka, ia bahkan dengan sukarela membuat poster bahkan menyebarkannya. Kyungsoo sempat bertanya berkali – kali pada Kris karena menganggapnya lelucon, bukan tidak mungkin Kris hanya bercanda dan membuat Kyungsoo malam – malam pergi ke gedung kosong saat tahun baru.

Ia merasakan getaran didalam sakunya, sempat berdiam sejenak, meyakinkan jika itu hanya notifikasi dari goup chat nya yang tidak penting. Yaa..tidak ada salahnya kan mengintip, tak ada hukuman penjara bagi seorang silent reader kan?



‘Kris?’



Lelaki itu terperanjat ketika meraih ponsel dan memandang layarnya, ia hamper saja menjatuhkan ponselnya saat melihat barisan huruf yang baru saja ia baca. Sial, itu bukan group chat. Itu private message. Tak perlu melihat nama pengirimnya ia pun sudah tau, dan ia menyesal sudah membuka isi pesan itu tanpa ragu. Sekarang, apa yang harus ia lakukan?


“Apa yang harus aku lakukan, Kris?”


“…”


Kris hanya bisa menatap Ran dengan bingung, ia sendiri tak tau harus bagaimana lagi. Ini memang sudah menjadi resiko yang Kris pikirkan sejak awal. Jadi ini salahnya juga, meskipun Ran yang meminta.


Ran masih menatap hamparan lampu – lampu kota yang kerlap-kerlip, sangat memanjakan mata karena kini mereka sedang berada diatas bukit. Tepatnya diatas atap mobil jeep hitam milik Kris. Sudah sekitar beberapa jam mereka berada diatas sana, hanya Ran yang berbicara sementara Kris hanya menatapnya dari samping. Kaki Ran menggantung dan berayun, berbanding terbalik dengan kaki panjang Kris yang membeku disampingnya.


“Kau kenapa diam saja sih? Kris!”



“Hmmm…terserah kau saja.”


Kris sempat terpejam saat Ran berteriak tadi, cukup terkejut dengan teriakan gadis itu yang membawanya kembali ke realita. Sedetik kemudian terdengan pekikan senang dari gadis itu sambil membalas pesan singkat yang sejak tadi belum ia balas. Ran mengetik balasannya, balasan pernyataan cinta seorang Andrew Choi.


“Terimakasih.”




Gadis berambut sebatas dagu itu merapatkan duduknya pada Kris, kemudian dengan gerakan lambat ia memeluk lengan pria itu hangat, seraya menyandarkan kepalanya pada pundak Kris. Yang disandarkan hanya menghela napas dan menatap kosong ke arah depan, sambil menikmati desiran menyakitkan di dadanya.

~~~~




BUGH!



“Kau! Keparat!”


Tangan kurus itu menghajar habis – habisan sosok yang sudah terhuyung – huyung di hadapannya. Sosok itu berusaha menahan pukulan Kris sekuat yang ia bisa, sambil berusaha membalas perkataan Kris yang sudah berapi – api.

“Tunggu! Kumohon, jangan beritahukan ini pada Ran.”


“Kau sudah berkali – kali janji padaku tak akan menyakiti Ran!” Kris sudah kembali bersiap untuk melayangkan kembali pukulannya pada pria itu sebelum akhirnya Andrew menangkap kepalan tangannya.


“Aku, benar – benar mencintainya Kris. Aku berjanji, ini akan jadi yang terakhir.”




Mendengar perkataan Andrew, Kris malah semakin kesal dan ingin kembali menghajarnya. Bukan karena jani – janji kosong seorang Andrew Choi, tapi karena terlihat kesungguhan dimatanya. Tak mungkin, tidak mungkin pria dihadapannya kini benar – benar mencintai Ran. Dan jika ia benar mencintai gadis itu, apakah Kris akan benar – benar kehilangan perannya sebagai pelindung Ran? Ia tak perlu lagi menghibur tangis Ran karena pria brengsek itu? Ia tak perlu lagi menjadi pendengar setia Ran dalam setiap ceritanya? Ia tak perlu lagi menemani Ran ke dokter gigi saat ia sedang sakit? Tidak perlu lagi membelikan cemilan saat Ran kelaparan di malam hari?




Dan yang terpenting apakah ia…




..sudah kehilangan kesempatan untuk menjadi teman hidup Ran? Selamanya?



‘Ya?’

‘Balasan macam apa itu dasar pria dingin yang bodoh’ ujar Kris dalam hati setelah berhasil memakan waktu nyaris lima menit untuk membalas pesan dari Ran yang isinya hanya memanggil nama. 


Sekarang hampir setiap sepersekian detik ia kembali membuka chat room yang (tepatnya) baru saja ditutupnya sekitar lima detik yang lalu. Si penerima belum membaca apalagi membalas pesannya, Kris jadi semakin banyak menduga – duga.



‘Kau tidak merindukan aku?’




‘Kau tidak merindukan aku?’




Ran sudah mengeuarkan cengirannya tepat saat Kris membuka pintu depan rumahnya, gadis itu terlihat membawa sebuah paperbag beraroma mentega dan satu buah kantung plastic besar. Kris hanya memberikan senyum yang dipaksakan. Tanpa dipersilahkan gadis yang saat ini dikuncir kuda itu memasukki rumah dan langsung menuju lantai atas tanpa sepatah kata pun. Merindu? Tentu saja, sudah hamper tiga bulan Kris menghindari gadis itu dengan berbagai alasan sibuk yang dibuat – dibuat. Ia bahkan terpaksa harus pindah game station langganannya agar Ran tidak menemukannya. 


Tapi ya…kini ia lelah dan beristirahat di dalam kamarnya, dan kebetulan saja Ran langsung menemukannya di waktu yang tepat. Kris langsung mengikuti langkah Ran yang sudah mencapai anak tangga paling atas dan melesat menuju ruang tengah yang diisi televisi, sebuah meja kecil dan beberapa sofa yang malah mirip dengan bantal besar.



Dengan ceria, ia langsung membuka plastik berwarna merah terang itu dan mengeluarkan satu persatu isinya. Keripik kentang, honey butter crisps, cola, dan dua buah corn dog besar. Oke, mungkin Kris akan makan besar mala mini ditemani cemilan – cemilan kesukaan Ran. Kris menghampiri gadis itu dan duduk disofa dan mengambil remote tv lalu memindah – mindahkan channel asal. Pria itu berusaha menatap televise selekat mungkin hingga ia mendengar suara gesekan korek api yang menyala dan mengalihkan pandangannya pada Ran.



“Selamat ulang tahun Ice Man!” 




Ran tersenyum lebar sambil menyodorkan cupcake berukuran sedang pada Kris, hanya terdapat dua buah ceri kecil diatas kuenya. Bukan karena Kris suka cery, Ran yang menyukainya. Setelah menatap kuenya beberapa detik, Kris meniupnya pelan kemudian memandang kearah Ran yang langsung menyambar dua buah ceri itu dan memakannya. Kris nyaris tersenyum jika saja ia tak mengingatkan dirinya akan keadaan saat ini. Ia harus berhenti memikirkan Ran, ia harus berhenti memikirkan Ran, ia harus berhenti bergantung pada Ran, ia harus berhenti..menyakiti dirinya sendiri.



“Kau melupakan ulangtahunmu lagi.”


“Aku tidak lupa, ulang tahun ku kemarin.”


“Kemarin tanggal 5 Kris. Hari ini tanggal 6.”


“Hmm, ya.”


Ran mendesah kesal, ia kini malah mengharapkan Kris akan terus mendebatnya dan tak mau kalah, atau bahkan menjahilinya tanpa ampun seperti dulu. Ia kecewa. Setelah tiga bulan tidak melihat sosoknya, harusnya Kris sudah memeluknya dan memakan cemilan – cemilan yang ia bawa dengan semangat. Tapi apa? Kini Kris berubah menjadi Ice man. Ice Man sungguhan, dan Ran tidak suka itu.



“Bersikaplah seperti biasa Kris, kau membuatku tidak nyaman.”

Perkataan itu seperti menohok Kris dengan keras, ia baru sadar selain menyakiti dirinya sendiri ia juga menyakiti perasaan gadis itu. Tapi ia pikir, Ran sudah punya penawar atas semua pekerjaan yang ia lakukan untuk Ran yang sudah ia tinggalkan. Jadi Kris berusaha berhenti menyesal.


“Kau jahat, Kris.”


Oh astaga, Kris tidak tahan lagi. Gadis itu malah tersenyum pilu lalu menunduk, menyerah untuk menatap Kris yang tak juga menatapnya balik. Kris menegakkan dagu Ran dengan jemarinya lalu melihat buliran bening meluncur bebas dari mata berkilau milik Ran. Ia kini menatap manik mata hitam itu lekat – lekat, kemudian mulai terasa nyeri tepat di dadanya.


“Maaf.”



Setelah mengatakan perkataan yang selama ini ia tahan mati – matian, Kris berusaha untuk tersenyum pada gadis itu dan memegang kedua belah pipinya. Ran malah mengeluarkan isakannya kemudian memeluk pundak Kris erat sambil mengeluarkan sesak didadanya. Kris hanya mematung, matanya memanas, rasanya ia seperti akan menangis juga. Kris sangat merindukan perasaan hangat ini, saat Ran memeluknya dan membuatnya nyaman. Ia kini mengusap pelan puncak kepala Ran kemudian membawa gadis itu kedalam pelukannya. Rasanya berbeda dengan dulu saat mereka berbagi pelukan dengan sukarela, atau perasaan hangat yang murni Kris rasakan dulu. Kini perasaan hangat itu bersatu dengan beberapa hujaman yang seperti membunuhnya perlahan. Kris tak perduli lagi.



“Jangan lakukan itu lagi. Kau membuatku kesal, Kris.” Ran melepaskan pelukan dan menatap Kris sambil merajuk. Kris tertawa pelan dan mengangguk mengiyakan permintaan Ran. Rasanya seperti ia kembali bisa tertawa saat melihat rajukan Ran, seperti warna yang kini muncul setelah hidup dalam abu – abu selama nyaris tiga bulan lamanya. Hanya untuk mala mini, ia akan melupakan semua perjanjiannya dengan dirinya sendiri. Janjinya untuk melepaskan Ran.

~~~



“Kris, kado apa yang kau inginkan?”


“Mmmm..”



Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, dan ini sudah film ketiga yang mereka tonton sejak sore tadi. Cemilan yang tersisa tinggal beberapa serpihan keripik kentang dan setengah botol cola yang kedua. Ran mengalihkan pandangannya dari film Chasing Liberty yang berada di layar dan menatap Kris yang sedang merangkulnya erat.



“Aku belum memikirkannya.”


“Hmm yaa ya.”



Ran menyerah setelah bertanya pada Kris lebih dari tujuh kali dan hanya mendapat jawaban yang sama. Gadis itu agak tersentak saat terdengar lagu Cherry Blossom milik Busker – busker terdengar dari ponselnya. Ran lantas bergegas dan mengangkat panggilan itu sambil keluar dari jangkauan Kris kemudian berdiri tepat dihadapan jendela.


“Ya? Ada apa?”

“….”


Kris memandang kea rah jendela dengan penasaran, berusaha curi dengar apa saja yang dikatakan Ran dari tempatnya duduk.


“Huh? Liu..siapa?”

“….”


Kris sekarang mengecilkang volume suara di televisi dan memandang Ran lebih lekat.


“Tidak, aku sudah bertanya padanya. Ia bilang itu bukan siapa – siapa. Hanya mantan kekasihnya.”


“…”


“Nara, aku sudah bilang padamu untuk berhenti bergosip soal pacarku. Kau punya bukti?”


“…”


“Hapus saja foto-foto itu dan jangan hubungi aku lagi soal ini. Aku sibuk.”



Ran memutus sambungan ponselnya kemudian menonaktifkannya cepat. Ia berbalik tepat saat Kris mengalihkan kembali pandangannya pada layar televisi. Rahang Kris terlihat seperti mengeras menahan sesuatu, namun ia tak mengatakan apa pun.



“Kris, bisa antarkan aku pulang?
---


“Terimakasih untuk hari ini.”



Ran tersenyum sambil merapatkan mantelnya dan bersiap turun dari mobil jeep milik Kris. Pria itu kemudian keluar dari mobilnya dan membukakan pintu disisi Ran kemudian membantunya turun. Gadis itu tersenyum manis sambil menepuk pundak Kris pelan.


“Katakan padaku jika kau sudah menemukan kado apa yang kau inginkan.”


Kris melengkungkan senyumnya sambil menatap manik mata Ran dengan teduh, namun entah kenapa terlihat sedikit tajam dimata Ran. Ia sudah mengambil lima langkah dari Kris saat pria itu kembali memanggilnya. Ran kemudian berbalik dan kembali berjalan menghampiri Kris yang hanya diam.


“Aku sudah menemukan apa yang aku inginkan.”


“Apa itu?”


“Tinggalkan Andrew Choi.”


“Apa?”


“Putuskan dia. Hiduplah bahagia denganku, Ran.”



Dan sejak itu ia tak pernah kembali mendengar suara dari seorang Eunran Lee. Ia tak pernah lagi mendengar kembali kabar dari gadisnya itu, kecuali dari guyonan jahil sahabat – sahabatnya yang tahu betul saat itu Kris sedang patah hati. Ran bekerja disebuah perusahaan internasional, yang mungkin membuat ia sangat sibuk sampai tidak bisa mengabari Kris atau pun berbasa – basi. Kris sempat merasa terpuruk namun ia mencoba bangkit kembali setelah game buatannya dibeli oleh perusahaan milik Junmyoon dan kini ia bekerja disana. Dengan gaji yang lumayan dan prestasi – prestasi yang ia hasilkan dapat membuatnya sedikit lupa pada Ran. Hingga hari ini terjadi. Ia seperti tersiram air yang sudah lama ia simpan dalam sebuah wadah, dan kini terlanjur basah dan menikmati semua kenangannya yang sudah susah payah ia lupakan.


‘Ada apa?’


‘Benar benar tidak berubah, dasar Ice Man. Beritahu aku alamat jelasnya.’


Kris mengetik alamat yang diminta Ran dengan kecepatan cahaya, persetan dengan gengsi atau pun menjaga image yang ia bangun bertahun – tahun. Mungkin harusnya ia menunggu beberapa menit sebelum membalas pesan itu, yah sekarang Kris kembali menyesal. Ia berpikir pasti Ran akan mengira ia terlalu senang sampai – sampai membalas pesannya secepat itu.


“Ah…aku kira aku salah gedung.”


Kris terperanjat mendengar suara yang menembus gendang telinganya barusan, ia kini berusaha berbalik dengan gerakan lambat. Kemudian terpaku dengan apa yang kini berdiri beberapa meter dihadapannya. Gadis berambut lurus panjang terurai dengan gaun hitam panjang membalut lekukan tubuhnya. Gadis itu menguraikan rambutnya ke salah satu sisi pundaknya, tanpa hiasan. Tangannya terlipat didepan dada sambil menatap Kris dengan senang dari kejauhan. Ia menghampiri Kris dengan melangkahkan stiletto hitam miliknya perlahan menuju pria yang terpaku.


Kris masih menatap Ran tanpa ekspresi seraya memasukkan ponselnya kedalam saku jas hitam miliknya. Kini gadis itu sudah berdiri tepat disampingnya dan tersenyum bangga, seakan sengaja membuat Kris salah tingkah.


“Aku pikir aku salah gedung, tapi ternyata pestanya di rooftop. Pantas saja sepi sekali dibawah.”



Kris merindukan suara ini, suara ringan milik Ran yang sudah lama tidak ia dengar. Ia bahkan tak bisa lagi menahan senyum bahagianya saat melihat Ran juga melengkungkan sabit di bibirnya kemudian mendekatkan posisinya tepat disamping Kris.


“Don’t you missed me?”
Ran masih kesal karena sejak tadi hanya ia yang berbicara, namun bukan Kris namanya kalau ia langsung menjawab. Kris memang pria dingin yang tidak terlalu banyak bicara, tentu saja kini ia hanya bisa di-


“I do.” Ran menengadahkan kepalanya dan menatap wajah Kris yang saat ini cukup dekat dengan wajahnya. Gadis itu bahkan dapat mencium aroma parfum Kris yang cukup memabukkan, aroma yang selama ini juga Ran rindukan.


“ I do. I miss you, a lot.”

Kris tersenyum sambil memegang pipi Ran yang mulai bersemu, ia tersenyum saat ekspresi Ran nampak terkejut. Ia berhasil mengalahkan Ran, ia menang.


“Ah dingin sekali.” Ran mengalihkan pandangannya dan memeluk bahunya sendiri sambil menggosoknya pelan dengan telapak tangan.


“Kenapa kau pakai baju seperti itu? Bodoh.” Pundak Ran seketika mulai terasa hangat saat ia merasa ada yang membebani bahunya. Tidak terlalu hangat, namun ia merasa lebih baik. Ran melirik Kris yang kini hanya mengenakan kemeja hitam panjang dengan dua kancing terbuka, kemudian mengeratkan jas Kris yang kini sudah menghangatkannya.


“Hanya itu?”



“Apa?”



“Hanya itu yang kau lakukan saat bertemu denganku? Katanya kau ingin aku hidup bahagia denganmu.” Ran berkata sambil tertawa kecil dan menyindir sosok disampingnya. Berharap Kris kehabisan kata – kata dan bersemu merah lebih daripada pipinya.



“Kau ingin aku melakukan apa, Eunran Lee?”


Kris membisikkan kalimat itu di telinganya dengan lembut, entah kapan ia berpindah posisi namun ia dapat merasakan ada seseorang di belakangnya. Ran cukup terkejut setelah mendapati lengan Kris melingkar di bahunya dengan lembut. Pria itu kini tengah menghirup aroma rambut Ran yang berwangi cokelat, sambil tersenyum menatap langit yang mulai sepi kembang api.



“Lima, empat, tiga, dua..SATU!”


Terdengar suara terompet dimana – mana, bersamaan dengan puluhan atau mungkin ratusan kembang api yang menembakki langit malam. Pemandangan itu dinikmati oleh Kris dan Ran dengan penuh sesak bahagia yang memenuhi rongga dada keduanya.


“Happy New Year, Kris.”


Suara ringan Ran nyaris tertutupi suara terompet dan kembang api yang bertabrakan dengan langit. Namun Kris dapat mendengarnya dengan amat jelas ditelinganya.



“Happy New Normal Year.”


“Normal?”



Kris hanya diam dan tak menjawab pertanyaan Ran sambil menatap kembali kembang api – yang berlomba – lomba memecah gelap langit. Ya, ini tahun baru yang normal bagi Kris. Tahun ini ia akan bisa bernapas dengan normal karena sudah kembali menemukan oksigennya, dapat tertawa dengan normal karena sudah menemukan sumber cerianya, dan telah menemukan obat dari segala rasa sakit yang kini sudah terbayar dan nyaris sembuh dengan adanya gadis ini disisinya. Di pelukannya.



“Ah! Aku mau cerinya!”





Ran melepas pelukan Kris dan melesat menuju pai ceri yang baru saja dihidangkan di meja. Kris kecewa. Pelukannya dilepas tiba – tiba secara sepihak dan tanpa aba – aba. Tapi toh tidak apa – apa. Kris sangat yakin kalau ia dapat memeluk gadis itu lagi lain kali.