Author : Yuanri Kim
*untuk yang tidak dicetak tebal artinya flashback*
Warna - warna mencolok mulai terlihat di bagian langit
manapun, membentuk bunga - bunga api dengan cantiknya. Suara gaduh dimana -
mana, namun tak ada yang tampak terusik. Mungkin, karena sebagian rumah di
sekitar sini ditinggal oleh pemiliknya, pergi merayakan momen ini di tempat
lain.
Sepasang mata dengan lensa hitam pekat memandang
sekelilingnya, tampak banyak orang bersenang - senang. Beberapa diantaranya
rekan kerja bahkan klien, dan tak sedikit yang merupakan teman di bangku
sekolah. Ia hanya membalas senyum yang sesekali muncul dan tertuju padanya.
Diantara mereka malah mengajaknya mengobrol atau sekedar menawarkan kudapan,
namun lagi - lagi ia menolak.
Ia malah kembali menatap langit, diantara warna malam yang gelap,
pikirannya malah entah kemana. Malam ini adalah malam penentu baginya, bagi
hidupnya kedepan. Memikirkan hidupnya setahun kedepan, kini malah memaksanya
mengingat berbagai kejadian yang ia alami setahun ke belakang.
Pertemuan,
perpisahan, diterima, ditolak, diterbangkan, dijatuhkan, ia merasakan semuanya.
Ia nyaris tak bisa menghitung berapa kali ia mengeluh lelah dalam setahun, atau
pun tertawa bahagia. Namun tak bisa ia pungkiri, tahun ini merupakan tahun yang
melelahkan. Ia sempat berpikir untuk lari dari masalah dan jadi pengecut, tapi
keadaan memaksanya menghadapi. Keadaan dan seseorang. Ah iya, orang itu.
Sejenak matanya refleks menoleh kearah jam yang melingkar di
pergelangan kanannya, sudah sekitar satu jam pesta berlangsung, namun tak ada
tanda kehadiran orang itu. Helaan nafas panjang terdengar, toh ia juga tidak
terlalu berharap. Mungkin orang itu terjebak macet, atau mungkin tidak sempat
membaca post yang sengaja ia sebarkan lewat grup kelasnya semasa SMA. Berbagai
pikiran berkecamuk, ia langsung menggeleng pelan, katanya tidak berharap, tapi
ia malah berangan berbagai kemungkinan.
"Kris." suara itu lumayan membuatnya terkejut, ia
menoleh dan mendapati mata teduh Minseok yang menyodorkan segelas sirup (yah
karena kris benci alkohol) sambil menepuk pundaknya. Pria itu hanya membalas
dengan segaris senyuman tipis dan menerima gelasnya, sebelah tangan ia sisipkan
pada saku celana.
"Pestanya tidak menarik?" Minseok bertanya
sementara Kris meneguk minumannya sambil menatap salah satu kembang api yang
berwarna merah menyala. Kris mengedikkan bahu lalu terdiam sejenak sebelum
berujar.
"Lumayan."
"Oh astaga, aku lupa. Maaf, rasanya aku tau kenapa kau
tidak bisa menikmati pestanya."
Kris menoleh cepat pada Minseok dan
menatapnya tajam. Pria yang ditatap hanya memamerkan giginya sambil tertawa.
"Astaga, aku bercanda Kris. Aku tidak tau,
sungguh."
Minseok masih tergelak nyaris tersedak, wajah Kris tadi
menyeramkan namun tampak terkejut bersamaan. Mengingat bahwa pria itu hanya
berekspresi semaunya dan selalu memasang wajah datar, mirip patung es yang
sekarang berada di tengah - tengah meja penyedia minuman.
Kris sendiri kini malah melamun dan menatap ke sembarang
arah, mana pun, asal jangan wajah Minseok yang menangkap basah wajah gugupnya
tadi. Padahal nyawanya seperti hampir lepas, ia pikir pria itu tau. Oh ayolah,
bagaimana jadinya jika seorang Kris ketahuan masih memikirkan masa lalunya yang
menyedihkan? ketahuan memikirkan orang itu? Harga dirinya bisa - bisa tinggal
separuh.
"Ayo Kris maju
saja. Sudah jelas kalah."
"Tinggal kau
pilih, yang sedang duduk disana itu atau yang ada di dalam kelas."
"Sial
kalian."
Kris, untuk pertama
kalinya kalah taruhan dan harus membayarnya dengan dare yang ia dapat dari Junmyoon.
Mengutarakan perasaannya (ya sebenarnya dia tak punya perasaan apa pun) pada
beberapa objek yang ditunjuk teman - temannya. Ini lumayan sulit bagi seorang
Kris. Kris yang selalu sendiri. Kris yang tidak perduli akan sekitar. Kris yang
dingin. Kris, yang tidak pernah jatuh cinta. Uh, jatuh cinta saja sulit apalagi
menyatakan perasaan pada orang yang tidak ia kenal.
Kris mulai mengamati
calon 'korban' nya satu per satu. Yang berada di depan kelas ia sudah hapal
betul wataknya, gadis itu sudah terkenal dengan sikap manjanya pada setiap
namja tampan, agak menggelikan. Tapi dengan senyumnya yang manis membuat ia
kelihatan lumayan. Namum, sepertinya akan berdampak buruk jika ia menyatakan
pada gadis itu.
Matanya beralih pada
gadis berkacamata yang sedang duduk membaca buku tebal, poninya sebatas alis,
mulutnya sibuk berkomat- kamit entah sedang merapal apa. Ck, Kris jadi kasihan
melihatnya, ia juga toh punya hati. Kasihan kalau gadis itu malah terbawa
perasaan dan tersakiti. Ia bisa di cap sebagai laki - laki brengsek dengan
mudah nantinya. Ah, apa yang harus ia lakukan.
“Aku traktir makan di
kantin saja bagaimana?”
“Ei, tidak bisa
begitu. Kau ini apa susahnya sih mencari…..”pertengahan kalimat Junmyoon tidak
menghentikan Kris mengamati sekitar, namun beberapa detik setelahnya..
“Yak! Mau kemana kau
Kris?”Lelaki dengan surai coklat terang itu mengabaikan beberapa seruan dan
tanya dari temannya sambil melangkah lurus. Entah sudah dimana letak
pikirannya, tatapannya masih tajam, namun tidak menusuk. Seorang gadis berambut
panjang yang rapih terikat sedang memainkan ponselnya, dengan sebelah earphone
putih yang tersambung ke telinga kanannya. Sesaat ia merasa seperti ada yang
menghampiri, gadis itu menatap Kris dingin sekaligus bingung.
Kris menatap manik
mata hitam bulat gadis itu, seketika ia gemetar, tiba – tiba gugup setengah
mati.
“Kau, siapa?”
Kris jadi gelagapan,
mendengar suara gadis ini malah makin membuatnya tidak keruan. Perlahan ia
menunduk, membuang tatapannya menuju ke lantai.
“Kau, mau menjadi
kekasihku?”
“Hah?”
‘Ah sial, ia pasti
menganggapku orang aneh’ pikir Kris seraya tetap menunduk, kini ditambah
memejamkan mata. Tuhan, ini momen paling memalukan dalam hidupnya. Ia tak
mengenal siapa sosok di hadapannya, dan sekarang ia malah menyatakan cinta.
Kris pasti sudah gila, bias saja ia terjatuh kedalam perangkap teman –
temannya. Ia sudah membayangkan akan dipermalukan, ditinggalkan, atau mungkin
mendapatkan tamparan di pipi oleh gadis ini. Masa bodoh, toh cuma sekali saja
ia akan melakukan ini. Ia sudah berjanji dalam hati.
Namun alih – alih mendapatkan
tamparan, sebuah layar ponsel disodorkan ke hadapan wajahnya
‘Aku harus jawab apa?
Kau temannya Junmyoon ya?’
Seketika tulisan yang
tertera di depannya memberi pencerahan, Kris hanya menyuruhnya mengangguk
menggunakan bahasa isyarat. Gadis di hadapannya melirik kearah seberang
lapangan dimana teman – teman Kris berada sekilas, kemudian tersenyum dan
mengangguk pada Kris. Kris tersenyum kemudian menggaruk tengkuknya kikuk.
Setelah terdengar tawa khas Lay di belakangnya, gadis itu tertawa kecil kemudian
berbalik dan masuk kedalam kelasnya. Kris menghela napas lega, kemudian
memutuskan untuk kembali ke tempat teman – teman usilnya duduk. ‘Ah Kris, kau
sangat bodoh. Bahkan kau lupa mengucapkan terimakasih.’
Mata elang Kris menerawang kedalam isi gelasnya, kemudian
tersenyum pedih. Momen yang barusan lewat di otaknya biasanya membuatnya
tertawa, tapi kali ini ia bahkan sampai lupa bagaimana rasanya menertawakan
sesuatu. Ia sudah bekerja keras menahan sesak di dadanya dan melupakan semua,
dan ia nyaris berhasil dalam waktu dua tahun penuh. Meskipun kadang rasanya ia
seperti ingin mati saja, tapi ternyata ia lebih kuat dari itu. Kuat untuk
menahan sesaknya, tapi tak cukup kuat untuk melupakannya.
Dua tahun ia sudah berjuang hidup dengan separuh nafasnya,
dengan hati yang mungkin sudah mati rasa. Ia tampak dingin seperti biasa,
mungkin hanya beberapa orang yang tau apa yang hilang darinya. Ponselnya
bergetar pelan dalam saku mantel yang ia kenakan. Jemarinya merogoh kedalam
saku kemudian meraih benda persegi berlayar sentuh itu, satu buah notifikasi
sedikit membuatnya terkejut. Tapi nyatanya tidak sedikit, kini ia benar – benar
terkejut.
‘Kau bisa memberiku alamat jelasnya?’
“Kau punya nomornya
kan, Kris?”
“Huh? Kenapa aku?”
Ran memasang wajah
gemas sekaligus kesal, temannya ini seperti pura – pura bodoh. Mereka resmi
menjadi teman setelah mengenal lebih jauh dan kelas mereka diacak, sehingga
kini mereka merupakan teman sekelas. Kris masih fokus memainkan game di
ponselnya, tinggal mengalahkan bos monster dan ia akan melangkah menuju level
yang lebih tinggi, dengan senjata baru dan-
“Yak!”
Ran merengut sambil
memegang ponsel Kris erat – erat, sekaligus berusaha menjauhkannya dari tangan
panjang Kris. Lelaki dihadapannya hanya menghela napas, kemudian memandang Ran
dengan tenang. Sedangkan gadis itu masih tidak bergerak sesenti pun dari
posisinya, masih menatap Kris seperti memohon.
“Cari saja kalau ada.”
Kris menyerah, toh tidak ada gunanya melarang.
Ia akan tetap memintanya sampai ia dapat, Ran memang seperti itu. Ran yang
terkadang manja, namun dapat berubah mandiri, Ran yang cuek namun dapat berubah
pada saat – saat tertentu dan Ran yang kadang terlihat dewasa namun tetap
menggemaskan di mata Kris. Ran yang seperti itu. Ran yang Kris sukai.
Ran kini sudah
tersenyum lebar dan mengotak – atik ponsel Kris, mencari nomor yang ia
butuhkan. Setelah mengetik huruf ‘A’ gadis itu mulai menelitinya satu persatu
dan setelah ia menemukannya, ia segera memilih opsi ‘Send this contact’ untuk
dikirim ke nomor ponselnya sendiri. Kris hanya menatap Ran lekat – lekat, gadis
itu terlihat senang sekali seperti anak perempuan yang baru saja diberi boneka.
“Cuma untuk wawancara
saja kan?”
“Ish, kau cerewet
sekali. Iya cuma untuk wawancara.”
Ran tersenyum kemudian
memeluknya sekilas sebagai ucapan terimakasih, Kris tersenyum tipis seperginya
Ran dari hadapannya. Ia memiliki perasaan yang amat membuatnya tak nyaman,
seperti ia akan menyesali keputusannya seumur hidup. Ia akan benar – benar menyesalinya.
Tiga menit. Lima menit. Tidak juga ada balasan atau pun
jawaban dari chat yang baru saja masuk ke grup kelasnya itu. Apa baru ia saja
yang membaca? Atau yang lain juga tidak tau alamat jelasnya? Ah, kenapa ia
cepat sekali merespon. Rasanya lelaki itu ingin membuang ponselnya sekarang
juga, atau bahkan keluar dari grup itu melalui akun pribadinya. Ia mengunci
ponselnya kemudian kembali menyimpannya ke saku dalam – dalam. Kris memandang
sekitarnya asal, menutupi rasa gugup. Ia akan masuk semester 5 di perkuliahan
sekitar dua minggu lagi, tapi hatinya masih bergetar saat membuka media sosial.
Kekanak – kanakan, ada yang salah dengan dirinya.
Kris mulai memandang satu – persatu lampu gedung lain
disekitarnya, terlihat beberapa sudah ada yang padam, hanya sekian lampu yang
menyala. Malam sudah mulai larut, mungkin orang – orang sudah mulai puas
meledakkan kembang api dan memutuskan untuk merayakannya di dalam kamar yang
hangat, dengan secangkir kopi susu panas dan menonton film, atau bermain game
bola dengan teman sampai pagi. Namun entah kenapa, ia setuju – setuju saja saat
Minseok memberitahukan rencana diadakannya pesta tahun baru sekaligus reuni
angkatan mereka, ia bahkan dengan sukarela membuat poster bahkan
menyebarkannya. Kyungsoo sempat bertanya berkali – kali pada Kris karena
menganggapnya lelucon, bukan tidak mungkin Kris hanya bercanda dan membuat
Kyungsoo malam – malam pergi ke gedung kosong saat tahun baru.
Ia merasakan getaran didalam sakunya, sempat berdiam
sejenak, meyakinkan jika itu hanya notifikasi dari goup chat nya yang tidak
penting. Yaa..tidak ada salahnya kan mengintip, tak ada hukuman penjara bagi
seorang silent reader kan?
‘Kris?’
Lelaki itu terperanjat ketika meraih ponsel dan memandang
layarnya, ia hamper saja menjatuhkan ponselnya saat melihat barisan huruf yang
baru saja ia baca. Sial, itu bukan group chat. Itu private message. Tak perlu
melihat nama pengirimnya ia pun sudah tau, dan ia menyesal sudah membuka isi
pesan itu tanpa ragu. Sekarang, apa yang harus ia lakukan?
“Apa yang harus aku
lakukan, Kris?”
“…”
Kris hanya bisa
menatap Ran dengan bingung, ia sendiri tak tau harus bagaimana lagi. Ini memang
sudah menjadi resiko yang Kris pikirkan sejak awal. Jadi ini salahnya juga,
meskipun Ran yang meminta.
Ran masih menatap
hamparan lampu – lampu kota yang kerlap-kerlip, sangat memanjakan mata karena
kini mereka sedang berada diatas bukit. Tepatnya diatas atap mobil jeep hitam
milik Kris. Sudah sekitar beberapa jam mereka berada diatas sana, hanya Ran
yang berbicara sementara Kris hanya menatapnya dari samping. Kaki Ran
menggantung dan berayun, berbanding terbalik dengan kaki panjang Kris yang
membeku disampingnya.
“Kau kenapa diam saja
sih? Kris!”
“Hmmm…terserah kau
saja.”
Kris sempat terpejam
saat Ran berteriak tadi, cukup terkejut dengan teriakan gadis itu yang
membawanya kembali ke realita. Sedetik kemudian terdengan pekikan senang dari
gadis itu sambil membalas pesan singkat yang sejak tadi belum ia balas. Ran
mengetik balasannya, balasan pernyataan cinta seorang Andrew Choi.
“Terimakasih.”
Gadis berambut sebatas
dagu itu merapatkan duduknya pada Kris, kemudian dengan gerakan lambat ia
memeluk lengan pria itu hangat, seraya menyandarkan kepalanya pada pundak Kris.
Yang disandarkan hanya menghela napas dan menatap kosong ke arah depan, sambil
menikmati desiran menyakitkan di dadanya.
~~~~
BUGH!
“Kau! Keparat!”
Tangan kurus itu
menghajar habis – habisan sosok yang sudah terhuyung – huyung di hadapannya.
Sosok itu berusaha menahan pukulan Kris sekuat yang ia bisa, sambil berusaha
membalas perkataan Kris yang sudah berapi – api.
“Tunggu! Kumohon,
jangan beritahukan ini pada Ran.”
“Kau sudah berkali –
kali janji padaku tak akan menyakiti Ran!” Kris sudah kembali bersiap untuk
melayangkan kembali pukulannya pada pria itu sebelum akhirnya Andrew menangkap
kepalan tangannya.
“Aku, benar – benar
mencintainya Kris. Aku berjanji, ini akan jadi yang terakhir.”
Mendengar perkataan
Andrew, Kris malah semakin kesal dan ingin kembali menghajarnya. Bukan karena
jani – janji kosong seorang Andrew Choi, tapi karena terlihat kesungguhan
dimatanya. Tak mungkin, tidak mungkin pria dihadapannya kini benar – benar
mencintai Ran. Dan jika ia benar mencintai gadis itu, apakah Kris akan benar –
benar kehilangan perannya sebagai pelindung Ran? Ia tak perlu lagi menghibur
tangis Ran karena pria brengsek itu? Ia tak perlu lagi menjadi pendengar setia
Ran dalam setiap ceritanya? Ia tak perlu lagi menemani Ran ke dokter gigi saat
ia sedang sakit? Tidak perlu lagi membelikan cemilan saat Ran kelaparan di
malam hari?
Dan yang terpenting
apakah ia…
..sudah kehilangan
kesempatan untuk menjadi teman hidup Ran? Selamanya?
‘Ya?’
‘Balasan macam apa itu dasar pria dingin yang bodoh’ ujar
Kris dalam hati setelah berhasil memakan waktu nyaris lima menit untuk membalas
pesan dari Ran yang isinya hanya memanggil nama.
Sekarang hampir setiap
sepersekian detik ia kembali membuka chat room yang (tepatnya) baru saja
ditutupnya sekitar lima detik yang lalu. Si penerima belum membaca apalagi
membalas pesannya, Kris jadi semakin banyak menduga – duga.
‘Kau tidak merindukan aku?’
‘Kau tidak merindukan
aku?’
Ran sudah mengeuarkan
cengirannya tepat saat Kris membuka pintu depan rumahnya, gadis itu terlihat
membawa sebuah paperbag beraroma mentega dan satu buah kantung plastic besar.
Kris hanya memberikan senyum yang dipaksakan. Tanpa dipersilahkan gadis yang
saat ini dikuncir kuda itu memasukki rumah dan langsung menuju lantai atas
tanpa sepatah kata pun. Merindu? Tentu saja, sudah hamper tiga bulan Kris
menghindari gadis itu dengan berbagai alasan sibuk yang dibuat – dibuat. Ia
bahkan terpaksa harus pindah game station langganannya agar Ran tidak
menemukannya.
Tapi ya…kini ia lelah dan beristirahat di dalam kamarnya, dan kebetulan
saja Ran langsung menemukannya di waktu yang tepat. Kris langsung mengikuti
langkah Ran yang sudah mencapai anak tangga paling atas dan melesat menuju
ruang tengah yang diisi televisi, sebuah meja kecil dan beberapa sofa yang
malah mirip dengan bantal besar.
Dengan ceria, ia
langsung membuka plastik berwarna merah terang itu dan mengeluarkan satu
persatu isinya. Keripik kentang, honey butter crisps, cola, dan dua buah corn
dog besar. Oke, mungkin Kris akan makan besar mala mini ditemani cemilan – cemilan
kesukaan Ran. Kris menghampiri gadis itu dan duduk disofa dan mengambil remote
tv lalu memindah – mindahkan channel asal. Pria itu berusaha menatap televise
selekat mungkin hingga ia mendengar suara gesekan korek api yang menyala dan
mengalihkan pandangannya pada Ran.
“Selamat ulang tahun
Ice Man!”
Ran tersenyum lebar sambil menyodorkan cupcake berukuran sedang pada
Kris, hanya terdapat dua buah ceri kecil diatas kuenya. Bukan karena Kris suka
cery, Ran yang menyukainya. Setelah menatap kuenya beberapa detik, Kris
meniupnya pelan kemudian memandang kearah Ran yang langsung menyambar dua buah
ceri itu dan memakannya. Kris nyaris tersenyum jika saja ia tak mengingatkan
dirinya akan keadaan saat ini. Ia harus berhenti memikirkan Ran, ia harus
berhenti memikirkan Ran, ia harus berhenti bergantung pada Ran, ia harus
berhenti..menyakiti dirinya sendiri.
“Kau melupakan
ulangtahunmu lagi.”
“Aku tidak lupa, ulang
tahun ku kemarin.”
“Kemarin tanggal 5
Kris. Hari ini tanggal 6.”
“Hmm, ya.”
Ran mendesah kesal, ia
kini malah mengharapkan Kris akan terus mendebatnya dan tak mau kalah, atau
bahkan menjahilinya tanpa ampun seperti dulu. Ia kecewa. Setelah tiga bulan
tidak melihat sosoknya, harusnya Kris sudah memeluknya dan memakan cemilan –
cemilan yang ia bawa dengan semangat. Tapi apa? Kini Kris berubah menjadi Ice
man. Ice Man sungguhan, dan Ran tidak suka itu.
“Bersikaplah seperti
biasa Kris, kau membuatku tidak nyaman.”
Perkataan itu seperti
menohok Kris dengan keras, ia baru sadar selain menyakiti dirinya sendiri ia
juga menyakiti perasaan gadis itu. Tapi ia pikir, Ran sudah punya penawar atas
semua pekerjaan yang ia lakukan untuk Ran yang sudah ia tinggalkan. Jadi Kris
berusaha berhenti menyesal.
“Kau jahat, Kris.”
Oh astaga, Kris tidak
tahan lagi. Gadis itu malah tersenyum pilu lalu menunduk, menyerah untuk
menatap Kris yang tak juga menatapnya balik. Kris menegakkan dagu Ran dengan
jemarinya lalu melihat buliran bening meluncur bebas dari mata berkilau milik
Ran. Ia kini menatap manik mata hitam itu lekat – lekat, kemudian mulai terasa
nyeri tepat di dadanya.
“Maaf.”
Setelah mengatakan
perkataan yang selama ini ia tahan mati – matian, Kris berusaha untuk tersenyum
pada gadis itu dan memegang kedua belah pipinya. Ran malah mengeluarkan
isakannya kemudian memeluk pundak Kris erat sambil mengeluarkan sesak
didadanya. Kris hanya mematung, matanya memanas, rasanya ia seperti akan
menangis juga. Kris sangat merindukan perasaan hangat ini, saat Ran memeluknya
dan membuatnya nyaman. Ia kini mengusap pelan puncak kepala Ran kemudian
membawa gadis itu kedalam pelukannya. Rasanya berbeda dengan dulu saat mereka
berbagi pelukan dengan sukarela, atau perasaan hangat yang murni Kris rasakan
dulu. Kini perasaan hangat itu bersatu dengan beberapa hujaman yang seperti
membunuhnya perlahan. Kris tak perduli lagi.
“Jangan lakukan itu
lagi. Kau membuatku kesal, Kris.” Ran melepaskan pelukan dan menatap Kris
sambil merajuk. Kris tertawa pelan dan mengangguk mengiyakan permintaan Ran.
Rasanya seperti ia kembali bisa tertawa saat melihat rajukan Ran, seperti warna
yang kini muncul setelah hidup dalam abu – abu selama nyaris tiga bulan
lamanya. Hanya untuk mala mini, ia akan melupakan semua perjanjiannya dengan
dirinya sendiri. Janjinya untuk melepaskan Ran.
~~~
“Kris, kado apa yang
kau inginkan?”
“Mmmm..”
Jam sudah menunjukan
pukul sembilan malam, dan ini sudah film ketiga yang mereka tonton sejak sore
tadi. Cemilan yang tersisa tinggal beberapa serpihan keripik kentang dan
setengah botol cola yang kedua. Ran mengalihkan pandangannya dari film Chasing
Liberty yang berada di layar dan menatap Kris yang sedang merangkulnya erat.
“Aku belum
memikirkannya.”
“Hmm yaa ya.”
Ran menyerah setelah
bertanya pada Kris lebih dari tujuh kali dan hanya mendapat jawaban yang sama.
Gadis itu agak tersentak saat terdengar lagu Cherry Blossom milik Busker –
busker terdengar dari ponselnya. Ran lantas bergegas dan mengangkat panggilan
itu sambil keluar dari jangkauan Kris kemudian berdiri tepat dihadapan jendela.
“Ya? Ada apa?”
“….”
Kris memandang kea rah
jendela dengan penasaran, berusaha curi dengar apa saja yang dikatakan Ran dari
tempatnya duduk.
“Huh? Liu..siapa?”
“….”
Kris sekarang
mengecilkang volume suara di televisi dan memandang Ran lebih lekat.
“Tidak, aku sudah
bertanya padanya. Ia bilang itu bukan siapa – siapa. Hanya mantan kekasihnya.”
“…”
“Nara, aku sudah
bilang padamu untuk berhenti bergosip soal pacarku. Kau punya bukti?”
“…”
“Hapus saja foto-foto
itu dan jangan hubungi aku lagi soal ini. Aku sibuk.”
Ran memutus sambungan
ponselnya kemudian menonaktifkannya cepat. Ia berbalik tepat saat Kris
mengalihkan kembali pandangannya pada layar televisi. Rahang Kris terlihat
seperti mengeras menahan sesuatu, namun ia tak mengatakan apa pun.
“Kris, bisa antarkan
aku pulang?
---
“Terimakasih untuk
hari ini.”
Ran tersenyum sambil
merapatkan mantelnya dan bersiap turun dari mobil jeep milik Kris. Pria itu
kemudian keluar dari mobilnya dan membukakan pintu disisi Ran kemudian
membantunya turun. Gadis itu tersenyum manis sambil menepuk pundak Kris pelan.
“Katakan padaku jika
kau sudah menemukan kado apa yang kau inginkan.”
Kris melengkungkan
senyumnya sambil menatap manik mata Ran dengan teduh, namun entah kenapa
terlihat sedikit tajam dimata Ran. Ia sudah mengambil lima langkah dari Kris
saat pria itu kembali memanggilnya. Ran kemudian berbalik dan kembali berjalan
menghampiri Kris yang hanya diam.
“Aku sudah menemukan
apa yang aku inginkan.”
“Apa itu?”
“Tinggalkan Andrew
Choi.”
“Apa?”
“Putuskan dia.
Hiduplah bahagia denganku, Ran.”
Dan sejak itu ia tak pernah kembali mendengar suara dari
seorang Eunran Lee. Ia tak pernah lagi mendengar kembali kabar dari gadisnya
itu, kecuali dari guyonan jahil sahabat – sahabatnya yang tahu betul saat itu
Kris sedang patah hati. Ran bekerja disebuah perusahaan internasional, yang
mungkin membuat ia sangat sibuk sampai tidak bisa mengabari Kris atau pun
berbasa – basi. Kris sempat merasa terpuruk namun ia mencoba bangkit kembali
setelah game buatannya dibeli oleh perusahaan milik Junmyoon dan kini ia
bekerja disana. Dengan gaji yang lumayan dan prestasi – prestasi yang ia
hasilkan dapat membuatnya sedikit lupa pada Ran. Hingga hari ini terjadi. Ia
seperti tersiram air yang sudah lama ia simpan dalam sebuah wadah, dan kini
terlanjur basah dan menikmati semua kenangannya yang sudah susah payah ia
lupakan.
‘Ada apa?’
‘Benar benar tidak berubah, dasar Ice Man. Beritahu aku
alamat jelasnya.’
Kris mengetik alamat yang diminta Ran dengan kecepatan
cahaya, persetan dengan gengsi atau pun menjaga image yang ia bangun bertahun –
tahun. Mungkin harusnya ia menunggu beberapa menit sebelum membalas pesan itu,
yah sekarang Kris kembali menyesal. Ia berpikir pasti Ran akan mengira ia
terlalu senang sampai – sampai membalas pesannya secepat itu.
“Ah…aku kira aku salah gedung.”
Kris terperanjat mendengar suara yang menembus gendang
telinganya barusan, ia kini berusaha berbalik dengan gerakan lambat. Kemudian
terpaku dengan apa yang kini berdiri beberapa meter dihadapannya. Gadis
berambut lurus panjang terurai dengan gaun hitam panjang membalut lekukan
tubuhnya. Gadis itu menguraikan rambutnya ke salah satu sisi pundaknya, tanpa
hiasan. Tangannya terlipat didepan dada sambil menatap Kris dengan senang dari
kejauhan. Ia menghampiri Kris dengan melangkahkan stiletto hitam miliknya
perlahan menuju pria yang terpaku.
Kris masih menatap Ran tanpa ekspresi seraya memasukkan
ponselnya kedalam saku jas hitam miliknya. Kini gadis itu sudah berdiri tepat
disampingnya dan tersenyum bangga, seakan sengaja membuat Kris salah tingkah.
“Aku pikir aku salah gedung, tapi ternyata pestanya di
rooftop. Pantas saja sepi sekali dibawah.”
Kris merindukan suara ini, suara ringan milik Ran yang sudah
lama tidak ia dengar. Ia bahkan tak bisa lagi menahan senyum bahagianya saat
melihat Ran juga melengkungkan sabit di bibirnya kemudian mendekatkan posisinya
tepat disamping Kris.
“Don’t you missed me?”
Ran masih kesal karena sejak tadi hanya ia yang berbicara,
namun bukan Kris namanya kalau ia langsung menjawab. Kris memang pria dingin
yang tidak terlalu banyak bicara, tentu saja kini ia hanya bisa di-
“I do.” Ran menengadahkan kepalanya dan menatap wajah Kris
yang saat ini cukup dekat dengan wajahnya. Gadis itu bahkan dapat mencium aroma
parfum Kris yang cukup memabukkan, aroma yang selama ini juga Ran rindukan.
“ I do. I miss you, a lot.”
Kris tersenyum sambil memegang pipi Ran yang mulai bersemu,
ia tersenyum saat ekspresi Ran nampak terkejut. Ia berhasil mengalahkan Ran, ia
menang.
“Ah dingin sekali.” Ran mengalihkan pandangannya dan memeluk
bahunya sendiri sambil menggosoknya pelan dengan telapak tangan.
“Kenapa kau pakai baju seperti itu? Bodoh.” Pundak Ran
seketika mulai terasa hangat saat ia merasa ada yang membebani bahunya. Tidak
terlalu hangat, namun ia merasa lebih baik. Ran melirik Kris yang kini hanya
mengenakan kemeja hitam panjang dengan dua kancing terbuka, kemudian
mengeratkan jas Kris yang kini sudah menghangatkannya.
“Hanya itu?”
“Apa?”
“Hanya itu yang kau lakukan saat bertemu denganku? Katanya
kau ingin aku hidup bahagia denganmu.” Ran berkata sambil tertawa kecil dan
menyindir sosok disampingnya. Berharap Kris kehabisan kata – kata dan bersemu
merah lebih daripada pipinya.
“Kau ingin aku melakukan apa, Eunran Lee?”
Kris membisikkan kalimat itu di telinganya dengan lembut,
entah kapan ia berpindah posisi namun ia dapat merasakan ada seseorang di
belakangnya. Ran cukup terkejut setelah mendapati lengan Kris melingkar di
bahunya dengan lembut. Pria itu kini tengah menghirup aroma rambut Ran yang
berwangi cokelat, sambil tersenyum menatap langit yang mulai sepi kembang api.
“Lima, empat, tiga, dua..SATU!”
Terdengar suara terompet dimana – mana, bersamaan dengan
puluhan atau mungkin ratusan kembang api yang menembakki langit malam.
Pemandangan itu dinikmati oleh Kris dan Ran dengan penuh sesak bahagia yang
memenuhi rongga dada keduanya.
“Happy New Year, Kris.”
Suara ringan Ran nyaris tertutupi suara terompet dan kembang
api yang bertabrakan dengan langit. Namun Kris dapat mendengarnya dengan amat
jelas ditelinganya.
“Happy New Normal Year.”
“Normal?”
Kris hanya diam dan tak menjawab pertanyaan Ran sambil
menatap kembali kembang api – yang berlomba – lomba memecah gelap langit. Ya,
ini tahun baru yang normal bagi Kris. Tahun ini ia akan bisa bernapas dengan
normal karena sudah kembali menemukan oksigennya, dapat tertawa dengan normal
karena sudah menemukan sumber cerianya, dan telah menemukan obat dari segala
rasa sakit yang kini sudah terbayar dan nyaris sembuh dengan adanya gadis ini
disisinya. Di pelukannya.
“Ah! Aku mau cerinya!”
Ran melepas pelukan Kris dan melesat menuju pai ceri yang
baru saja dihidangkan di meja. Kris kecewa. Pelukannya dilepas tiba – tiba
secara sepihak dan tanpa aba – aba. Tapi toh tidak apa – apa. Kris sangat yakin
kalau ia dapat memeluk gadis itu lagi lain kali.