*Suzy – Yes No
Maybe*
Cast :
You & Your’s
A boy and a girl
Author :
Miranti Rizkika
Genre:
Teen, Comfort, a
lil’ bit Angst
Length:
3951 words
Explanation :
-
Bold : Song Lyrics
-
Italic : Flashback
-
- - - : time differentiation
(a moment later, two days later, exc)
Enjoy the story!
Don’t pick up
I know when I hear your voice
My heart will shake again
Though I tried to just talk to you
I know when I hear your voice
My heart will shake again
Though I tried to just talk to you
“Halo?”
Gadis dengan
rambut lurus sebatas telinga itu dengan cepat menekan tombol merah di layar
ponselnya dengan cepat. Ia mengatur nafasnya yang tadi sempat tercekat, ia
seperti marah namun tidak juga. Matanya menatap layar ponselnya yang tidak
berubah sedikit pun sejak ia mengakhiri panggilan tadi. Layar itu masih
memperlihatkan gambar dirinya yang sedang menggenggam tangan sosok pria dengan
masker yang menutupi sebagian wajahnya, Nampak pria itu sama sekali tidak
berminat menatap ke arah kamera. Sedangkan gadis itu tampak tersenyum gembira
menatap ke arah kamera.
“ish!”
Ia menghentakkan
kakinya kesal, kemudian menyusupkan kembali ponselnya ke saku rok seragam
sekolahnya. Gadis itu memandang pantulan bayangannya sendiri pada cermin,
bingung ia sedang menatap siapa. Apakah ini benar dirinya? Kenapa ia terlihat
sedikit sedih ketika mengakhiri panggilan telepon yang ia mulai sendiri?
Dan kenapa ia
kecewa
Tidak ada
panggilan kembali darinya?
Kenapa pria itu tidak
menghubunginya kembali?
---
Setelah bel
berbunyi ia mendongakan kepalanya yang sejak tadi tertunduk diatas lengannya
yang ia sandarkan pada permukaan meja. Matanya mengerjap masih mengantuk, ia
sepertinya tertidur sebentar sebelum jam pelajaran berakhir. Ia melirik
sekitar, teman – temannya hamper sebagian besar sudah meninggalkan kelas,
tinggal beberapa orang yang sedang merapikan alat kebersihan selesai piket.
Mereka sebenarnya bisa pulang lebih cepat karena guru pada jam terakhir tidak
masuk, tapi tetap saja tidak bisa keluar sekolah sebelum bel berbunyi, gerbang
sekolahnya tidak akan dibuka juga.
“Kau tidak
pulang?” sebuah suara menarik gadis itu kembali ke alam sadar nya, ia melirik
si sumber suara tanpa niat, menyempatkan untuk menguap sebentar sebelum
menjawab.
“Sebentar lagi,
kalian duluan saja.” Ujarnya sambil merentangkan tangan, meregangkan tangannya
yang sedikit kesemutan.
“Kami duluan.”
Ujar para petugas piket hari ini, sambil menaruh kunci kelas diatas meja guru,
mengisyaratkan gadis itu untuk mengunci kelasnya sebelum ia keluar.
Ia kembali menyandarkan
pipinya pada permukaan meja, jemari kanannya meraih ponselnya dari saku.
Jarinya menggeser pembuka kunci dan menemukan tak satupun notifikasi di
ponselnya, hanya beberapa pemberitahuan dari grup kelas tempat ia mengikuti les
yang mengumumkan kalau hari ini libur. Bagus lah, ia bisa langsung pulang ke
rumah atau pergi ke perpustakaan kota untuk menenangkan pikirannya. Namun ia
masih kesal, tak satu pun pesan yang lelaki itu kirimkan untuknya.
“Hhhh…” ia
mendesah kesal, kemudian menekan tombol kunci pada ponselnya dengan sedikit
emosi. Ia membenturkan kepalanya pada meja berkali – kali dengan pelan.
Merutuki kebodohannya yang sudah berkali – kali ia lakukan. Seringkali ia
berusaha kembali ke akal sehatnya, tapi setiap senyum lelaki itu tampak di matanya
atau bahkan hanya lewat di pikirannya, ia lagi – lagi terlarut. Mata hitamnya
berbeda dengan miliknya sendiri yang kecoklatan, mata itu membuatnya tenggelam
kedalam lubang hitam yang entah sedalam apa yang sampai sekarang ia tidak
menemukan dasarnya. Selalu membuatnya terhipnotis sejak satu tahun yang lalu.
Kejadian ini dimulai sekitar satu tahun yang lalu, ketika baterai
ponselnya sudah menunjukkan angka satu persen, ketika dompetnya yang berwarna
hitam dengan gantungan kucing itu tidak ia dapati berada dalam tasnya. Ia
kebingungan sekali sementara rumahnya terlalu jauh untuk ditempuh dengan
berjalan kaki, temannya hampir sudah pulang semua dan sekolah mulai tampak
kosong.
Menit itu sebuah motor berwarna hitam berhenti disampingnya, si
pengemudi tiba – tiba menyodorkan helm berwarna krem kehadapannya tanpa mengatakan
apa pun. Gadis itu mencoba melihat wajah si pengemudi namun tertutup kaca
helmnya. Gadis itu hendak melangkah tapi sebuah tangan menahannya.
“Rumah kita searah, kau tak punya alasan untuk menolakku.”
Gadis itu hendak melepaskan genggamannya, namun cengkraman itu terlalu
kuat. Merasakan adanya pemberontakan dari tangan yang ia genggam, pria itu
membuka kaca helmnya, menatap tajam si gadis dengan lensa hitamnya. Sebelah
sudut bibirnya mengangkat keatas, setelah melihat tatapan terkejut yang
disamarkan gadis itu.
“Langsung ke rumah ya, aku malas berkunjung ke rumah tetangga baru.”
Pria itu tertawa hambar kemudian tangannya kembali memegang stang
motornya, gadis itu kini sudah memakai helmnya, dan mendudukkan tubuhnya diatas
jok, tepat di belakangnya. Ia mengenal gadis itu ketika ia membuka pintu
rumahnya saat sedang mengerjakan tugas kelompok dengan ‘korban’ barunya dan
ibunya sedang sibuk di dapur. Gadis itu mengantarkan satu kotak kimchi sebagai
tanda perkenalan karena keluarga gadis itu baru saja pindah ke rumah
sebelahnya. Detik itu pula ia tertarik untuk sedikit bermain – main.
“Disini saja, aku tidak ingin ibu bertanya macam – macam.”
Pria itu menghentikan kendaraannya di depan rumahnya sendiri, tepat
disamping rumah gadis itu berada. Ia membentuk senyum miring sebelum merasakan
jok nya duduk terasa ringan, gadis itu sudah turun dari sana.
“Katanya tidak ingin berkunjung, tapi minta diturunkan disini.”
“Kita tetangga, bodoh! Terimakasih sudah mengantarku.” Ujarnya cepat –
cepat dengan nada dingin, sambil meninggalkan sosok itu berjalan menuju
rumahnya. Sepasang kakinya baru saja mengambil lima langkah, sebelum tangannya
kembali digenggam erat sosok itu.
“Hei…” ia menahan tangan gadis itu lagi, namun kali ini sedikit lembut dibanding
sebelumnya di gerbang sekolah sepulang sekolah tadi. Suaranya lembut dan tipis
sekali seperti sutra, suara yang bisa membuat setiap wanita meleleh ketika
mendengarnya. Namun tidak, ia tidak akan jatuh semudah ini. Sudah berkali –
kali ia melihat laki – laki ini bermesraan dengan perempuan yang berbeda, di
rumahnya, di sekolah, di minimarket, di perpustakaan, di mall, memang tidak
parah, tapi cukup meyakinkan kalau pria ini memang seorang cassanova.
“Aku tidak tertarik dengan rayuanmu, kau pikir aku sama dengan perempuan
– perempuan bodoh itu?”
Lelaki itu malah terbahak setelah mendengar tuturan gadis itu yang
hampir secepat kereta jepang, tatapan matanya yang hendak membunuh bahkan tidak
sama sekali mengurangi tawanya. Lelaki itu menunjuk kepalanya sendiri sambil
menaikkan alisnya, disambut tatapan bingung gadis itu.
“Helm-ku, kembalikan, Nona.”
Gadis itu mendesis kesal, ia malu setengah mati. Sialan. Ia melepas helm
itu dengan cepat, namun entah kenapa benda itu sangat sulit terlepas dari
kepalanya. Tangannya sudah menarik sekuat tenaga tapi benda itu tetap tidak
berpindah posisi sama sekali. Lelaki di hadapannya hanya menatapnya datar
sambil mengetuk – ngetukkan jari di dashboard motornya. Gadis itu berusaha
menghindari tatapan lelaki di hadapannya yang tajam, namun bisa membuat siapa
pun terlarut kedalamnya.
Hingga sebuah tangan menarik tubuhnya mendekat, terdengar bunyi alas
sepatunya bergesekan dengan aspal karena ia ditarik dengan agak cepat dan
kasar. Kini ia dan pria itu terlalu dekat sampai ia dapat merasakan hembusan
napas seharum peppermint menghambur ke penciumannya. Gadis itu menatap sosok di
hadapannya dengan tatapan takut, namun tidak mengurangi tatapan kesalnya sama
sekali. Matanya menatap lensa hitam itu dan nyaris terlena…
hingga ia mendengar suara ‘klik’
dari samping kanan dagunya. Pria di depannya dengan mudah melepas helm itu,
kemudian berbisik dengan pelan di telinganya.
“Kau baru tahu caranya membuka helm, Nona?”
“Uh.”
Gadis itu menggigit bibirnya kesal, semburat merah terlihat tipis di
kedua belah pipinya. Ia berbalik sekuat tenaga dan membuka pagar rumahnya
dengan terburu, meninggalkan lelaki itu yang tersenyum dengan santai diatas
motor hitamnya.
Itu mungkin awal
yang harusnya memang tidak terjadi dalam hidupnya, ia mengutuk siapa saja yang
mengambil dompetnya dan menyembunyikan charger nya saat hendak berangkat
sekolah waktu itu, tapi ia malah menemukan kedua benda itu tergeletak masing –
masing disamping kasurnya dan meja riasnya yang sudah lama tidak ia bereskan.
“Ternyata benar
belum pulang.”
Suara lembut itu
membuat gadis ini menggigit bibir bawahnya kuat, setelah menyingkirkan
ponselnya dari hadapan, kini ia dapat melihat pria itu dengan seragam sekolah
yang masih rapi, dengan gitar yang ia gendong di punggunya. Tangan pria itu
bersandar pada pintu kelas dengan tangan kirinya yang ia masukkan kedalam saku
celana. Pria itu sebenarnya sudah tahu kalau gadis ini merindukannya, dari
panggilan yang tadi gadisnya ini lakukan saat ia sedang sibuk di ruang guru,
panggilan itu sendiri pula yang gadis itu putuskan secara sepihak. Ia tahu,
gadis ini terlalu malu untuk mengakui kalau ia merindukannya.
‘SIal. Dia tidak
lelah apa terus tebar pesona seperti itu’ gadis itu menggumam, sambil
menegakkan tubuhnya dan merapikan alat tulisnya yang belum masuk kedalam tas
punggungnya. Lelaki itu masuk kedalam kelasnya dan menghampiri gadis yang
sedang merapikan isi tasnya dengan terburu.
“Aku sudah mau pulang.”
Ujarnya seraya hendak mengambil kunci yang tergeletak diatas meja, namun
tangannya kalah cepat dengan lelaki berjaket hitam yang sedang menggendong
gitarnya itu, telunjuknya memutar – mutar sekelompok kunci itu dengan bertumpu
pada salah satu gantungannya. Gadis di hadapannya hanya merengut, melipat
tangannya di dada melihat pria di hadapannya sedang tersenyum miring, sudah
hapal dengan kebiasaannya, gadis itu memilih untuk melewatinya dan hendak
berjalan keluar kelas.
“Kau yang kunci
pintu-“
BRAK!
Punggungnya terasa
sakit karena baru saja menabrak dinding yang kini berada di belakangnya, ia
meringis setelah melihat wajah orang yang mendorongnya kini hanya terpaut jarak
sekitar sepuluh senti. Ia bahkan bisa mencium aroma vanilla yang menguar dari
seragam pria itu dalam jarak sedekat ini. Bahkan napas nya pun dapat terasa di
kulit wajahnya, pipinya kini memanas bersamaan dengan rona pipinya yang muncul.
“Pulang denganku,
ya?” pria itu melembutkan suaranya tepat di telinga kanan gadis itu, telapak
tangannya berada di sisi kanan dan kiri kepala sang gadis yang sedang membuang
mukanya agar tidak menatap langsung sosok itu. Otaknya sudah benar – benar
menolak ajakannya barusan, bahkan hampir mengeluarkan sumpah serapah, tapi-
“Baiklah, ayo.”
-toh, dia akan
tetap menerima ajakan itu seperti yang sudah sering terjadi sebelumnya. Sekeras
apa pun ia menolak, ia akan tetap seperti ini.
Menerima.
Pasrah akan
keadaan.
Atau.
Dia sendiri memang
mau mengiyakan.
----
I hate myself for
doing this, hate me
I can’t not see you
But I can’t see you either
I can’t not see you
But I can’t see you either
“Akh!” ringis
seorang pria setelah merasakan sengatan kecil dari luka di sudut bibirnya yang
kini sudah terkena cairan alkohol. Kini ia duduk diatas sofa di ruang keluarga
milik tetangganya. Ia memperhatikan gadis yang terlihat bersungut kesal namun
tampak jelas rasa khawatir di wajahnya. Pria itu tersenyum kecil –karena
lukanya cukup pedih- sambil memperhatikan sosok di hadapannya.
“Kan sudah
kubilang Woohee itu terlalu pintar untuk kau bodohi dengan trik itu, kau ini
bagaimana!” ucap gadis itu dengan penekanan pada setiap kata – katanya. Pria di
hadapannya ini sudah membicarakan hal ini beberapa hari yang lalu, setelah
melihat sosok cantik dengan lesung pipi sebagai siswa baru di tempat lesnya. Ia
berencana menjadikan wanita itu korban barunya, akan ia buat melayang dengan
bualannya sampai wanita itu lupa bagaimana caranya berpijak di tanah. Dan
ketika wanita itu sudah benar – benar jatuh cinta, ia akan meninggalkannya
begitu saja.
Jahat memang. Ia
sudah melakukan trik ini kepada banyak wanita, dan hampir semuanya jatuh dengan
mudah pada setiap bualannya, ditambah wajahnya yang cukup tampan dan segudang
keahlian menggoda lainnya. Ia siswa popular, prestasinya juga cukup diacungi
jempol, seorang pemain sepak bola andalan sekolah, juga seorang gitaris band.
Klasik.
Wanita mana yang
tidak jatuh cinta?
Bahkan wanita
dingin yang berada di hadapannya ini juga. Entah sudah sebodoh apa. Karena ia
tetap saja tidak bisa berpaling pada sosok playboy
ini. Sudah setahun ia berada disampingnya, mengetahui siapa saja wanita
yang pernah ia dekati, berapa kali wajah pria ini terkena tamparan korban –
korbannya, dan ia sendiri yang mengobati lukanya.
Sakit hati? Tentu
saja, tapi entah kenapa ia tak bisa melarang atau pun marah. Ini sudah
terhitung tujuh kali –sejak setahun lalu- ia mengobati luka di sudut bibirnya
karena tamparan wanita. Alasannya sama, ketahuan sedang bersama wanita lainnya
dan dengan entengnya pria ini menjawab ‘Memang kenapa? Kita kan memang tidak
ada hubungan apa – apa.’ Dan terjadilah perkelahian kecil, tangisan drama, dan
diakhiri tamparan ‘manis’ yang melukai wajahnya. Dan ya…sosok di hadapannya ini
yang selalu ia hubungi sepulang kencan dengan wanita lain atau ketika mendapat
tamparan ini di wajahnya.
Ah, mungkin ini
alasannya.
Pria ini
mengungkapkan perasaannya pada perempuan di hadapannya, menjadikan ia satu –
satunya ‘kekasih’ yang ia akui. Ia sudah menyatakannya namun tidak ada jawaban,
tapi melihat respon dan perhatian yang selalu ia berikan sudah pasti jawabannya
iya.
“Pegang terus es nya,
aku akan membereskan ini dulu.” Jemari mungil itu membereskan beberapa kapas
dan botol antiseptic yang tergeletak di meja, memasukannya kedalam kotak bening
yang memiliki pegangan diatasnya.
“Ibu dimana?” ujar
pria berambut hitam itu sembari memegang esnya, memutar kepalanya kea rah gadis
yang kini sedang menuju dapur untuk menaruh kotak obat.
“Menjemput Rae
Won, lalu mampir ke supermarket untuk belanja, kebetulan bahan makan malam
habis.” Tangannya membuka pintu kulkas sebelah kanan, kemudian menyusupkan
kotak bening itu pada bagian khusus obat – obatan. Ketika lampu kulkas sudah
mati dan pintunya tertutup, gerakannya terhenti ketika merasakan sepasang
tangan melingkari pinggangnya dari belakang.
“Apa? Sudah tunggu
disana saja dan pengang esnya.” Pipinya kini sudah semerah tomat yang tadi
sekilas ia lihat ada di dalam kulkas, kini pipinya terasa makin panas setelah
merasakan dagu yang bertopang pada bahunya. Tangan pria yang melingkar di
pinggangnya itu kini semakin erat.
“Tidak apa – apa,
aku merindukan yeda ku.” Ujarnya lembut,
suaranya selembut krim tiramisu yang selalu ia temukan diantara kue tart
favoritnya, nafasnya terasa di sekitar lehernya, membuatnya sedikit merinding.
Suara lembut itu tiba – tiba berubah menjadi pekikan setelah pria itu merasakan
sakit di kakinya.
“Jangan macam –
macam!” ujar si gadis sambil melangkah pergi, meninggalkan si ‘casanova’ yang kesakitan setelah kakinya
diinjak dengan keras.
Yeda adalah panggilan ‘kesayangan’ yang ia terima dari laki – laki itu, yang
artinya yeppeun pabboda, ya…si cantik
yang bodoh. Panggilan itu sudah sekitar satu tahun lalu ia dapatkan, tapi hanya
di waktu – waktu tertentu. Ketika pria ini sedang bermanja – manja padanya,
atau ketika pria ini berbuat kesalahan dan sedang meminta maaf, namun lebih
sering saat gadis ini terlihat menggemaskan dimatanya. Nama yang memalukan
memang, dan ia sudah berkali – kali kesal dipanggil dengan nama itu, tapi
secara langsung tidak menolak juga.
Yah mau bagaimana.
Memang benar kan,
dia bodoh.
:)
---
I can’t keep doing
this
The end is so obvious
I can’t keep walking on this path
The end is so obvious
I can’t keep walking on this path
Suara benturan mata pisau dengan papan kayu terdengar agak nyaring,
seperti seseorang yang sedang memotong lobak itu sedang emosi. Benar saja,
gadis yang sedang terlihat sibuk di dapur itu memotong sayurannya dengan mata
berkilat – kilat, kini bahkan tangannya memotong lebih kecil potongan –
potongan putih itu yang tadinya sudah seukuran batang korek api. Ia tidak bisa
melupakan pemandangan yang ia lihat di minimarket dekat rumahnya tadi.
Ketika ia melihat pemandangan yang tidak mengenakan di depan meja kasir,
seorang pria berambut hitam dengan senyum mempesonanya sedang menghitung uang
kembalian. Ya, dia memang mengambil kerja sambilan disana untuk mengisi waktu
luang. Tapi bukan itu masalahnya. Ia melihat sekelompok perempuan yang terlihat
berada dua tahun dibawah usianya, sedang sibuk mengobrol dengan petugas kasir
itu.
“Oppa, kenapa
akhir – akhir ini oppa jarang menghubungiku?” perempuan berambut panjang dan
memakai bandana merah muda terlihat tersenyum ‘terlalu manis’ itu sedang
merajuk di depan si petugas kasir. Kedua temannya sedang berada di bagian
makanan ringan, memiih antara popcorn asin dan caramel.
“Aku, ya begitulah
kalau sudah tingkat tiga, sebentar lagi kelulusan.” Ujar si petugas kasir
seraya memasukan uang kedalam meja kasir dan merapikannya. Senyumnya tidak
menyingkir sama sekali, membuat si rambut panjang semakin merapatkan posisi
berdirinya pada meja kasir. Si petugas terlihat agak risih tapi tidak menolak
juga, yah anggap saja ;ramah pada pembeli’.
“Oppa, kami pernah
melihat oppa sedang berjalan berdua dengan seorang wanita. Rambutnya sependek
ini..” ujar si pipi tembam teman si rambut panjang tadi sambil mensejajarkan
tangannya tepat dibawah telinga “…, rasa – rasanya dia sering kami lihat
bersama denganmu.”
“Ah, mungkin
kalian salah lihat.” Jawabnya sambil dengan canggung merapikan beberapa barang
pada etalase produk di belakang meja kasir. Kemudian ia merasakan tangan
kanannya diraih dengan paksa oleh si rambut panjang, hingga ia berbalik dengan
sedikit terkejut.
“Oppa jujur kan?
Berarti oppa tidak memiliki seorang kekasih, benar kan?” pertanyaan si rambut
panjang membuat seorang gadis yang baru saja hendak menuju kasir menghentikan
langkahnya dan memutuskan untuk berjalan menuju rak bagian majalah di seberang
meja kasir. Tangannya menaikan penutup kepala dari hoodienya untuk menutupi
bagian belakang kepalanya.
“Tidak, aku tidak
punya.”
‘Hah? Tidak punya
katanya??’ gadis itu hampir saja meremas Koran yang sedang digenggamnya untuk
menutupi wajahnya tadi. Oh jadi begitu, tidak punya ya. Hmm.
“Ah syukurlaaah.” Ujar
gadis rambut panjang itu sambil menaruh genggaman tangan si petugas kasir ke
pipinya sambil memasang ekspresi bahagia berlebihan ala remaja di awal tahun
sekolah menengah. Teman – temannya ikut heboh, bahkan ada yang sambil bertepuk
tangan mendengar jawaban itu.
“Ini jadi berapa
semuanya?” sebuah suara menginterupsi kejadian barusan, hingga si rambut
panjang menggeser posisi berdirinya agar tidak menghalangi kegiatan di meja
kasir. Si petugas kasir terlihat amat terkejut dengan siapa yang menaruh
keranjang belanjaan berisi sayuran di mejanya, dengan sebuah koran yang
terilhat agak kusut.
Setelah
menyebutkan nominalnya gadis itu langsung memberikan uangnya dengan cepat tanpa
menatap mata si petugas kasir. Ia mengambil plastik belanjaannya dengan terburu
– kemudian berjalan sambil setengah berteriak.
“Ambil saja
kembaliannya!”
“T-terima kasih
atas kunjungannya. Hati – hati di jalan.” Si petugas kasir menjawab dengan
gugup dan wajah cemas. Ia menatap punggung gadis yang mengenakan hoodie
berwarna biru muda itu sambil menghela napas. Mengabaikan suara sekelompok
gadis yang membicarakan sosok yang baru saja pergi, terlihat agak mirip dengan
sosok yang mereka bicarakan beberapa menit lalu.
Gadis itu tahu, suatu saat nanti hubungan mereka pasti akan berakhir
dengan mengenaskan. Salahkan ia yang selalu menerima apa pun yang pria itu
lakukan padanya, sekali pun itu sama saja dengan menyakiti hatinya sendiri. Ia
bahkan menurut saja ketika pria itu meninggalkannya untuk bertemu wanita lain,
bahkan mengobati luka yang ia terima dari wanita yang ‘hampir’ ia kencani.
Bahkan lebih bodohnya tetap percaya kata – katanya.
Bahwa ia, akan tetap menjadi satu – satunya.
Pandangannya sudah mulai memburam, ia memutuskan untuk menaruh pisaunya
dan memasukan potongan – potongan sayurnya kedalam panci. Tangannya dengan
cepat mengaduk sup itu setelah memberi beberapa bubuk merica dan garam.
Kemudian menyalakan apinya sedang untuk memanaskan supnya.
Tubuhnya merosot pada dinding, kini gadis itu jatuh terduduk di sudut
dapur. Ia memeluk lututnya sendiri sambil mengeluarkan suara isakan. Air mata
yang sudah ia tahan sejak lama akhirnya mengalir juga, membasahi lutut dan
pipinya. Ia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri sekarang.
Pada awalnya ia tidak merasakan apa – apa sama sekali, merasa bahwa
keadaannya akan baik – baik saja selama ia bisa bertahan dan lelaki itu tidak
melewati batas. Tapi perasaan cemasnya tetap ada, hingga setiap kali ia
tenggelam dalam lengan lelaki itu yang selalu memeluknya yang harusnya
memberikan perasaan aman, malah membuatnya semakin khawatir akan akhir dari
semua kisah ini. Dia tidak ingin memikirkan hal buruk yang akan terjadi nanti,
tapi disisi lain ia juga tidak ingin diam saja dan malah jatuh terlalu dalam.
Sepanjang tahun ini perjuangannya memang terasa melelahkan, tapi tidak
terasa berat sampai hari ini.
Mungkin inilah alasan mengapa ia tidak pernah mau mengikuti lelaki itu
ketika ia pergi untuk berjalan dengan wanita lain, tidak memiliki rasa ingin
tahu untuk mengetahui apa saja yang mereka lakukan dibelakangnya. Ia sendiri
takut hal ini terjadi.
Sekarang awal mereka bertemu di depan gerbang sekolah, setiap kali
lelaki itu membawakan es krim saat ia sedang sedih, atau sekedar menghiburnya
lewat telepon sudah menjadi kenangan buruk baginya. Perayaan hari jadinya yang
pertama juga kini hanyalah potret lain yang pantas untuk hangus terbakar
bersama seluruh mimpi lainnya.
Harusnya ia tahu, kapan untuk berhenti.
Harusnya ia tahu, bahwa semuanya pasti akan berakhir seperti ini.
Harusnya ia tahu itu.
Ia bukanlah satu – satunya.
Dan ia harus sadari itu.
Don’t go, if you
go
You know you’ll fall for him again
You know you’ll fall for him again
Ia mengabaikan bunyi bel yang berdering dari depan rumahnya, sudah
mengetahui siapa orang yang berada di balik pintu dari cara menekan bellnya
yang berturut – turut. Gadis itu cukup sakit hati dan tidak ingin bertemu
dengan pria itu sekarang. Tidak dalam keadaan seperti ini.
Hingga ia mendengar suara agak nyaring yang memanggil namanya, disertai
langkah kaki yang mendekat perlahan. Ia telah menghentikan tangisnya, dan
menghapus jejak air matanya tanpa ekspresi, namun tidak sedikitpun merubah
posisi duduknya.
“Kau..menangis?” ujar sosok yang kini sudah ia benci itu disampingnya,
pria itu berlutut mensejajarkan posisinya dengan gadis yang masih dalam posisi
duduk di lantai.
“Iya dan bukan urusanmu.” Jawab gadis itu dingin sambil membuang
wajahnya ke arah lain, tidak mau menatap lensa hitam bening milik pria itu yang
selalu membuatnya tenang. Pria itu mendekat dan mengusap pelan kepalanya
lembut, menyisir helaian rambut pendek gadis itu yang sebatas bawah telinga.
“Maaf.” Ucapnya terdengar sungguh – sungguh, diakhiri dengan helaan
nafas panjang darinya.
“Aku tadi…hmm. Maaf aku tidak tahu kau ada disana jadi terpaksa
mengatakan itu. Ya…kau tau kan.” Ujarnya terputus – putus sambil tetap membelai
rambut gadis nya dengan lembut. Gadis itu mendecak pelan dan berusaha bangkit
dari posisi duduknya.
“Maafkan aku karena selalu menyakiti perasaanmu.” Tangan pria itu berada
di kedua pundak gadis dihadapannya, yang secara otomatis menghentikan
pergerakannya yang hendak berdiri tadi. Permintaan maafnya terdengar tulus, hmm
bahkan sebelumnya tidak pernah meminta maaf sama sekali mengenai hobi jeleknya
itu.
“Maafkan aku karena kau sudah menunggu terlalu lama.” Ucapannya barusan
membuat pipi gadis dihadapannya kembali basah, ia menundukan kepalanya,
membiarkan air matanya jatuh dengan bebas bahkan beberapa tetes jatuh diatas
lantai.
“Aku tau kau sudah pernah mendengar ini musim hujan tahun lalu tapi…” kedua
tangan pria itu menangkup wajah gadis dihadapannya, membuat mereka kini saling
menatap dalam. Ibu jari pria itu menghapus jejak air mata di pipi sang gadis sambil
berkata “Aku tidak pernah mendengarkan jawaban darimu jadi, aku ingin
mendengarnya sekarang.”
Gadis itu menatap mata dihadapannya, mata yang membuat ia dulu tenggelam
dalam warna hitamnya, tenggelam dalam tatapan hangat itu dan memutuskan untuk
tetap bertahan di sisinya. Tetap jatuh cinta padanya.
“…kau mau kan, menjadi kekasihku?”
Tangan pria itu beralih menggenggam tangan sosok di hadapannya,
menyalurkan rasa hangat yang menjalar lewat telapak tangannya. Kini gadis itu
menggigit bibir bawahnya menahan malu, karena dulu saat musim hujan itu ia
malah pergi dan mengalihkan pembicaraan. Ia sadar kini tidak ada yang bisa
mengalihkan perhatiannya dan ia harus menjawab jadi-
“Aku…mau.”
-ia menerimanya. Setelah tadi ia mengutuknya habis – habisan dalam hati
dan menangis layaknya orang putus cinta lainnya. Setelah untuk memutuskan untuk
melupakannya dan menganggap bahwa ini adalah akhir dari semuanya. Heol.
Pria dihadapannya tersenyum bahagia, memamerkan sederet gigi putihnya
dengan mata yang berbinar. Gadis dihadapannya mengerucutkan bibir seraya
menunduk, ia merasa malu sekali sekarang, sambil menatap lantai menyembunyikan
pipinya yang merona, tapi ia malah melihat tangannya yang sedang digenggam pria
itu dan malah membuat pipinya semakin merah.
Sebuah tangan mendarat di pipi sebelah kirinya, jemarinya menelusuri
pipi itu hingga berakhir pada dagu gadis itu yang kini dipegang ibu jari dan
telunjuknya, menarik gadis itu untuk mendongak dan menatap wajah dihadapannya.
I see myself going back on it
I don’t understand myself
Mata pria itu kini menatap lurus ke mata coklat yang kini menatapnya
tanpa berkedip. Sorot matanya beralih dari lensa coklat itu kemudian menatap
bibir semerah stroberi dihadapannya bergantian. Jemari yang tadi berada di
dagunya kini menarik wajah itu mendekat, hingga jarak antara wajah mereka hanya
sekitar tiga jari saja.
Mereka sudah merasakan hembusan nafas mereka masing – masing karena
jarak mereka yang terlalu dekat, bahkan semakin dekat hingga pucuk hidung
mereka bergesekan. Kedua insan itu sudah mulai menutup kedua pelupuk matanya
hingga
“Ah iya supnya!” terdengar suara air yang mengalir keluar dari panci
karena masakan itu sudah mendidih dan mengenai kompor di bawahnya.
Setelah itu hanya terdengar suara tawa seorang lelaki dan kekasihnya
yang sibuk mematikan kompor dan mengomel karena lupa mematikan kompornya sejak
tadi.
Kekasihnya?
Tentu saja, sekarang mereka sudah resmi untuk saling menyebut dengan ‘kekasih’
kan?
Yes no maybe
I don’t know my heart
I try to not see you ever again
But I’m going to you again
Now no more baby
I hate myself for doing this, hate me
I can’t not see you
But I can’t see you either
Don’t do this
I tell myself this
is the last time
But yet again
THE END
Astaghfirullah ini apaan :” maaf ya udah lama gak nulis jadinya aneh
gini, ga rame heu :” dimohon komennya supaya aku semangat nulis lagi ahaha.
Terimakasih sudah menghabiskan waktu nya untuk membaca ini! Laff <3