Jumat, 17 Maret 2017

[SONGFICTION] YES? NO? MAYBE?

*Suzy – Yes No Maybe*

Cast :
You & Your’s
A boy and a girl

Author :
Miranti Rizkika

Genre:
Teen, Comfort, a lil’ bit Angst

Length:
3951 words

Explanation :
-          Bold     : Song Lyrics
-          Italic    : Flashback
-          - - -      : time differentiation (a moment later, two days later, exc)

Enjoy the story!



Don’t pick up
I know when I hear your voice
My heart will shake again
Though I tried to just talk to you


“Halo?”



Gadis dengan rambut lurus sebatas telinga itu dengan cepat menekan tombol merah di layar ponselnya dengan cepat. Ia mengatur nafasnya yang tadi sempat tercekat, ia seperti marah namun tidak juga. Matanya menatap layar ponselnya yang tidak berubah sedikit pun sejak ia mengakhiri panggilan tadi. Layar itu masih memperlihatkan gambar dirinya yang sedang menggenggam tangan sosok pria dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya, Nampak pria itu sama sekali tidak berminat menatap ke arah kamera. Sedangkan gadis itu tampak tersenyum gembira menatap ke arah kamera.




“ish!”



Ia menghentakkan kakinya kesal, kemudian menyusupkan kembali ponselnya ke saku rok seragam sekolahnya. Gadis itu memandang pantulan bayangannya sendiri pada cermin, bingung ia sedang menatap siapa. Apakah ini benar dirinya? Kenapa ia terlihat sedikit sedih ketika mengakhiri panggilan telepon yang ia mulai sendiri?





Dan kenapa ia kecewa





Tidak ada panggilan kembali darinya?




Kenapa pria itu tidak menghubunginya kembali?

---
Setelah bel berbunyi ia mendongakan kepalanya yang sejak tadi tertunduk diatas lengannya yang ia sandarkan pada permukaan meja. Matanya mengerjap masih mengantuk, ia sepertinya tertidur sebentar sebelum jam pelajaran berakhir. Ia melirik sekitar, teman – temannya hamper sebagian besar sudah meninggalkan kelas, tinggal beberapa orang yang sedang merapikan alat kebersihan selesai piket. Mereka sebenarnya bisa pulang lebih cepat karena guru pada jam terakhir tidak masuk, tapi tetap saja tidak bisa keluar sekolah sebelum bel berbunyi, gerbang sekolahnya tidak akan dibuka juga.


“Kau tidak pulang?” sebuah suara menarik gadis itu kembali ke alam sadar nya, ia melirik si sumber suara tanpa niat, menyempatkan untuk menguap sebentar sebelum menjawab.


“Sebentar lagi, kalian duluan saja.” Ujarnya sambil merentangkan tangan, meregangkan tangannya yang sedikit kesemutan.


“Kami duluan.” Ujar para petugas piket hari ini, sambil menaruh kunci kelas diatas meja guru, mengisyaratkan gadis itu untuk mengunci kelasnya sebelum ia keluar.

Ia kembali menyandarkan pipinya pada permukaan meja, jemari kanannya meraih ponselnya dari saku. Jarinya menggeser pembuka kunci dan menemukan tak satupun notifikasi di ponselnya, hanya beberapa pemberitahuan dari grup kelas tempat ia mengikuti les yang mengumumkan kalau hari ini libur. Bagus lah, ia bisa langsung pulang ke rumah atau pergi ke perpustakaan kota untuk menenangkan pikirannya. Namun ia masih kesal, tak satu pun pesan yang lelaki itu kirimkan untuknya.

“Hhhh…” ia mendesah kesal, kemudian menekan tombol kunci pada ponselnya dengan sedikit emosi. Ia membenturkan kepalanya pada meja berkali – kali dengan pelan. Merutuki kebodohannya yang sudah berkali – kali ia lakukan. Seringkali ia berusaha kembali ke akal sehatnya, tapi setiap senyum lelaki itu tampak di matanya atau bahkan hanya lewat di pikirannya, ia lagi – lagi terlarut. Mata hitamnya berbeda dengan miliknya sendiri yang kecoklatan, mata itu membuatnya tenggelam kedalam lubang hitam yang entah sedalam apa yang sampai sekarang ia tidak menemukan dasarnya. Selalu membuatnya terhipnotis sejak satu tahun yang lalu.


Kejadian ini dimulai sekitar satu tahun yang lalu, ketika baterai ponselnya sudah menunjukkan angka satu persen, ketika dompetnya yang berwarna hitam dengan gantungan kucing itu tidak ia dapati berada dalam tasnya. Ia kebingungan sekali sementara rumahnya terlalu jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki, temannya hampir sudah pulang semua dan sekolah mulai tampak kosong.

Menit itu sebuah motor berwarna hitam berhenti disampingnya, si pengemudi tiba – tiba menyodorkan helm berwarna krem kehadapannya tanpa mengatakan apa pun. Gadis itu mencoba melihat wajah si pengemudi namun tertutup kaca helmnya. Gadis itu hendak melangkah tapi sebuah tangan menahannya.


“Rumah kita searah, kau tak punya alasan untuk menolakku.”



Gadis itu hendak melepaskan genggamannya, namun cengkraman itu terlalu kuat. Merasakan adanya pemberontakan dari tangan yang ia genggam, pria itu membuka kaca helmnya, menatap tajam si gadis dengan lensa hitamnya. Sebelah sudut bibirnya mengangkat keatas, setelah melihat tatapan terkejut yang disamarkan gadis itu.



“Langsung ke rumah ya, aku malas berkunjung ke rumah tetangga baru.”



Pria itu tertawa hambar kemudian tangannya kembali memegang stang motornya, gadis itu kini sudah memakai helmnya, dan mendudukkan tubuhnya diatas jok, tepat di belakangnya. Ia mengenal gadis itu ketika ia membuka pintu rumahnya saat sedang mengerjakan tugas kelompok dengan ‘korban’ barunya dan ibunya sedang sibuk di dapur. Gadis itu mengantarkan satu kotak kimchi sebagai tanda perkenalan karena keluarga gadis itu baru saja pindah ke rumah sebelahnya. Detik itu pula ia tertarik untuk sedikit bermain – main.


“Disini saja, aku tidak ingin ibu bertanya macam – macam.”


Pria itu menghentikan kendaraannya di depan rumahnya sendiri, tepat disamping rumah gadis itu berada. Ia membentuk senyum miring sebelum merasakan jok nya duduk terasa ringan, gadis itu sudah turun dari sana.


“Katanya tidak ingin berkunjung, tapi minta diturunkan disini.”


“Kita tetangga, bodoh! Terimakasih sudah mengantarku.” Ujarnya cepat – cepat dengan nada dingin, sambil meninggalkan sosok itu berjalan menuju rumahnya. Sepasang kakinya baru saja mengambil lima langkah, sebelum tangannya kembali digenggam erat sosok itu.


“Hei…” ia menahan tangan gadis itu lagi, namun kali ini sedikit lembut dibanding sebelumnya di gerbang sekolah sepulang sekolah tadi. Suaranya lembut dan tipis sekali seperti sutra, suara yang bisa membuat setiap wanita meleleh ketika mendengarnya. Namun tidak, ia tidak akan jatuh semudah ini. Sudah berkali – kali ia melihat laki – laki ini bermesraan dengan perempuan yang berbeda, di rumahnya, di sekolah, di minimarket, di perpustakaan, di mall, memang tidak parah, tapi cukup meyakinkan kalau pria ini memang seorang cassanova.



“Aku tidak tertarik dengan rayuanmu, kau pikir aku sama dengan perempuan – perempuan bodoh itu?”


Lelaki itu malah terbahak setelah mendengar tuturan gadis itu yang hampir secepat kereta jepang, tatapan matanya yang hendak membunuh bahkan tidak sama sekali mengurangi tawanya. Lelaki itu menunjuk kepalanya sendiri sambil menaikkan alisnya, disambut tatapan bingung gadis itu.



“Helm-ku, kembalikan, Nona.”



Gadis itu mendesis kesal, ia malu setengah mati. Sialan. Ia melepas helm itu dengan cepat, namun entah kenapa benda itu sangat sulit terlepas dari kepalanya. Tangannya sudah menarik sekuat tenaga tapi benda itu tetap tidak berpindah posisi sama sekali. Lelaki di hadapannya hanya menatapnya datar sambil mengetuk – ngetukkan jari di dashboard motornya. Gadis itu berusaha menghindari tatapan lelaki di hadapannya yang tajam, namun bisa membuat siapa pun terlarut kedalamnya.

Hingga sebuah tangan menarik tubuhnya mendekat, terdengar bunyi alas sepatunya bergesekan dengan aspal karena ia ditarik dengan agak cepat dan kasar. Kini ia dan pria itu terlalu dekat sampai ia dapat merasakan hembusan napas seharum peppermint menghambur ke penciumannya. Gadis itu menatap sosok di hadapannya dengan tatapan takut, namun tidak mengurangi tatapan kesalnya sama sekali. Matanya menatap lensa hitam itu dan nyaris terlena…


 hingga ia mendengar suara ‘klik’ dari samping kanan dagunya. Pria di depannya dengan mudah melepas helm itu, kemudian berbisik dengan pelan di telinganya.


“Kau baru tahu caranya membuka helm, Nona?”



“Uh.”
Gadis itu menggigit bibirnya kesal, semburat merah terlihat tipis di kedua belah pipinya. Ia berbalik sekuat tenaga dan membuka pagar rumahnya dengan terburu, meninggalkan lelaki itu yang tersenyum dengan santai diatas motor hitamnya.

Itu mungkin awal yang harusnya memang tidak terjadi dalam hidupnya, ia mengutuk siapa saja yang mengambil dompetnya dan menyembunyikan charger nya saat hendak berangkat sekolah waktu itu, tapi ia malah menemukan kedua benda itu tergeletak masing – masing disamping kasurnya dan meja riasnya yang sudah lama tidak ia bereskan.

“Ternyata benar belum pulang.”

Suara lembut itu membuat gadis ini menggigit bibir bawahnya kuat, setelah menyingkirkan ponselnya dari hadapan, kini ia dapat melihat pria itu dengan seragam sekolah yang masih rapi, dengan gitar yang ia gendong di punggunya. Tangan pria itu bersandar pada pintu kelas dengan tangan kirinya yang ia masukkan kedalam saku celana. Pria itu sebenarnya sudah tahu kalau gadis ini merindukannya, dari panggilan yang tadi gadisnya ini lakukan saat ia sedang sibuk di ruang guru, panggilan itu sendiri pula yang gadis itu putuskan secara sepihak. Ia tahu, gadis ini terlalu malu untuk mengakui kalau ia merindukannya.

‘SIal. Dia tidak lelah apa terus tebar pesona seperti itu’ gadis itu menggumam, sambil menegakkan tubuhnya dan merapikan alat tulisnya yang belum masuk kedalam tas punggungnya. Lelaki itu masuk kedalam kelasnya dan menghampiri gadis yang sedang merapikan isi tasnya dengan terburu.

“Aku sudah mau pulang.” Ujarnya seraya hendak mengambil kunci yang tergeletak diatas meja, namun tangannya kalah cepat dengan lelaki berjaket hitam yang sedang menggendong gitarnya itu, telunjuknya memutar – mutar sekelompok kunci itu dengan bertumpu pada salah satu gantungannya. Gadis di hadapannya hanya merengut, melipat tangannya di dada melihat pria di hadapannya sedang tersenyum miring, sudah hapal dengan kebiasaannya, gadis itu memilih untuk melewatinya dan hendak berjalan keluar kelas.

“Kau yang kunci pintu-“




BRAK!



Punggungnya terasa sakit karena baru saja menabrak dinding yang kini berada di belakangnya, ia meringis setelah melihat wajah orang yang mendorongnya kini hanya terpaut jarak sekitar sepuluh senti. Ia bahkan bisa mencium aroma vanilla yang menguar dari seragam pria itu dalam jarak sedekat ini. Bahkan napas nya pun dapat terasa di kulit wajahnya, pipinya kini memanas bersamaan dengan rona pipinya yang muncul.

“Pulang denganku, ya?” pria itu melembutkan suaranya tepat di telinga kanan gadis itu, telapak tangannya berada di sisi kanan dan kiri kepala sang gadis yang sedang membuang mukanya agar tidak menatap langsung sosok itu. Otaknya sudah benar – benar menolak ajakannya barusan, bahkan hampir mengeluarkan sumpah serapah, tapi-


“Baiklah, ayo.”


-toh, dia akan tetap menerima ajakan itu seperti yang sudah sering terjadi sebelumnya. Sekeras apa pun ia menolak, ia akan tetap seperti ini.



Menerima.



Pasrah akan keadaan.



Atau.



Dia sendiri memang mau mengiyakan.



----
I hate myself for doing this, hate me
I can’t not see you
But I can’t see you either


“Akh!” ringis seorang pria setelah merasakan sengatan kecil dari luka di sudut bibirnya yang kini sudah terkena cairan alkohol. Kini ia duduk diatas sofa di ruang keluarga milik tetangganya. Ia memperhatikan gadis yang terlihat bersungut kesal namun tampak jelas rasa khawatir di wajahnya. Pria itu tersenyum kecil –karena lukanya cukup pedih- sambil memperhatikan sosok di hadapannya.

“Kan sudah kubilang Woohee itu terlalu pintar untuk kau bodohi dengan trik itu, kau ini bagaimana!” ucap gadis itu dengan penekanan pada setiap kata – katanya. Pria di hadapannya ini sudah membicarakan hal ini beberapa hari yang lalu, setelah melihat sosok cantik dengan lesung pipi sebagai siswa baru di tempat lesnya. Ia berencana menjadikan wanita itu korban barunya, akan ia buat melayang dengan bualannya sampai wanita itu lupa bagaimana caranya berpijak di tanah. Dan ketika wanita itu sudah benar – benar jatuh cinta, ia akan meninggalkannya begitu saja.

Jahat memang. Ia sudah melakukan trik ini kepada banyak wanita, dan hampir semuanya jatuh dengan mudah pada setiap bualannya, ditambah wajahnya yang cukup tampan dan segudang keahlian menggoda lainnya. Ia siswa popular, prestasinya juga cukup diacungi jempol, seorang pemain sepak bola andalan sekolah, juga seorang gitaris band.

Klasik.


Wanita mana yang tidak jatuh cinta?


Bahkan wanita dingin yang berada di hadapannya ini juga. Entah sudah sebodoh apa. Karena ia tetap saja tidak bisa berpaling pada sosok playboy ini. Sudah setahun ia berada disampingnya, mengetahui siapa saja wanita yang pernah ia dekati, berapa kali wajah pria ini terkena tamparan korban – korbannya, dan ia sendiri yang mengobati lukanya.

Sakit hati? Tentu saja, tapi entah kenapa ia tak bisa melarang atau pun marah. Ini sudah terhitung tujuh kali –sejak setahun lalu- ia mengobati luka di sudut bibirnya karena tamparan wanita. Alasannya sama, ketahuan sedang bersama wanita lainnya dan dengan entengnya pria ini menjawab ‘Memang kenapa? Kita kan memang tidak ada hubungan apa – apa.’ Dan terjadilah perkelahian kecil, tangisan drama, dan diakhiri tamparan ‘manis’ yang melukai wajahnya. Dan ya…sosok di hadapannya ini yang selalu ia hubungi sepulang kencan dengan wanita lain atau ketika mendapat tamparan ini di wajahnya.



Ah, mungkin ini alasannya.



Pria ini mengungkapkan perasaannya pada perempuan di hadapannya, menjadikan ia satu – satunya ‘kekasih’ yang ia akui. Ia sudah menyatakannya namun tidak ada jawaban, tapi melihat respon dan perhatian yang selalu ia berikan sudah pasti jawabannya iya.


“Pegang terus es nya, aku akan membereskan ini dulu.” Jemari mungil itu membereskan beberapa kapas dan botol antiseptic yang tergeletak di meja, memasukannya kedalam kotak bening yang memiliki pegangan diatasnya.


“Ibu dimana?” ujar pria berambut hitam itu sembari memegang esnya, memutar kepalanya kea rah gadis yang kini sedang menuju dapur untuk menaruh kotak obat.

“Menjemput Rae Won, lalu mampir ke supermarket untuk belanja, kebetulan bahan makan malam habis.” Tangannya membuka pintu kulkas sebelah kanan, kemudian menyusupkan kotak bening itu pada bagian khusus obat – obatan. Ketika lampu kulkas sudah mati dan pintunya tertutup, gerakannya terhenti ketika merasakan sepasang tangan melingkari pinggangnya dari belakang.

“Apa? Sudah tunggu disana saja dan pengang esnya.” Pipinya kini sudah semerah tomat yang tadi sekilas ia lihat ada di dalam kulkas, kini pipinya terasa makin panas setelah merasakan dagu yang bertopang pada bahunya. Tangan pria yang melingkar di pinggangnya itu kini semakin erat.

“Tidak apa – apa, aku merindukan yeda ku.” Ujarnya lembut, suaranya selembut krim tiramisu yang selalu ia temukan diantara kue tart favoritnya, nafasnya terasa di sekitar lehernya, membuatnya sedikit merinding. Suara lembut itu tiba – tiba berubah menjadi pekikan setelah pria itu merasakan sakit di kakinya.

“Jangan macam – macam!” ujar si gadis sambil melangkah pergi, meninggalkan si ‘casanova’ yang kesakitan setelah kakinya diinjak dengan keras.

Yeda adalah panggilan ‘kesayangan’ yang ia terima dari laki – laki itu, yang artinya yeppeun pabboda, ya…si cantik yang bodoh. Panggilan itu sudah sekitar satu tahun lalu ia dapatkan, tapi hanya di waktu – waktu tertentu. Ketika pria ini sedang bermanja – manja padanya, atau ketika pria ini berbuat kesalahan dan sedang meminta maaf, namun lebih sering saat gadis ini terlihat menggemaskan dimatanya. Nama yang memalukan memang, dan ia sudah berkali – kali kesal dipanggil dengan nama itu, tapi secara langsung tidak menolak juga.

Yah mau bagaimana.

Memang benar kan, dia bodoh.


:)

---
I can’t keep doing this
The end is so obvious
I can’t keep walking on this path


Suara benturan mata pisau dengan papan kayu terdengar agak nyaring, seperti seseorang yang sedang memotong lobak itu sedang emosi. Benar saja, gadis yang sedang terlihat sibuk di dapur itu memotong sayurannya dengan mata berkilat – kilat, kini bahkan tangannya memotong lebih kecil potongan – potongan putih itu yang tadinya sudah seukuran batang korek api. Ia tidak bisa melupakan pemandangan yang ia lihat di minimarket dekat rumahnya tadi.
Ketika ia melihat pemandangan yang tidak mengenakan di depan meja kasir, seorang pria berambut hitam dengan senyum mempesonanya sedang menghitung uang kembalian. Ya, dia memang mengambil kerja sambilan disana untuk mengisi waktu luang. Tapi bukan itu masalahnya. Ia melihat sekelompok perempuan yang terlihat berada dua tahun dibawah usianya, sedang sibuk mengobrol dengan petugas kasir itu.
“Oppa, kenapa akhir – akhir ini oppa jarang menghubungiku?” perempuan berambut panjang dan memakai bandana merah muda terlihat tersenyum ‘terlalu manis’ itu sedang merajuk di depan si petugas kasir. Kedua temannya sedang berada di bagian makanan ringan, memiih antara popcorn asin dan caramel.
“Aku, ya begitulah kalau sudah tingkat tiga, sebentar lagi kelulusan.” Ujar si petugas kasir seraya memasukan uang kedalam meja kasir dan merapikannya. Senyumnya tidak menyingkir sama sekali, membuat si rambut panjang semakin merapatkan posisi berdirinya pada meja kasir. Si petugas terlihat agak risih tapi tidak menolak juga, yah anggap saja ;ramah pada pembeli’.
“Oppa, kami pernah melihat oppa sedang berjalan berdua dengan seorang wanita. Rambutnya sependek ini..” ujar si pipi tembam teman si rambut panjang tadi sambil mensejajarkan tangannya tepat dibawah telinga “…, rasa – rasanya dia sering kami lihat bersama denganmu.”
“Ah, mungkin kalian salah lihat.” Jawabnya sambil dengan canggung merapikan beberapa barang pada etalase produk di belakang meja kasir. Kemudian ia merasakan tangan kanannya diraih dengan paksa oleh si rambut panjang, hingga ia berbalik dengan sedikit terkejut.
“Oppa jujur kan? Berarti oppa tidak memiliki seorang kekasih, benar kan?” pertanyaan si rambut panjang membuat seorang gadis yang baru saja hendak menuju kasir menghentikan langkahnya dan memutuskan untuk berjalan menuju rak bagian majalah di seberang meja kasir. Tangannya menaikan penutup kepala dari hoodienya untuk menutupi bagian belakang kepalanya.
“Tidak, aku tidak punya.”
‘Hah? Tidak punya katanya??’ gadis itu hampir saja meremas Koran yang sedang digenggamnya untuk menutupi wajahnya tadi. Oh jadi begitu, tidak punya ya. Hmm.
“Ah syukurlaaah.” Ujar gadis rambut panjang itu sambil menaruh genggaman tangan si petugas kasir ke pipinya sambil memasang ekspresi bahagia berlebihan ala remaja di awal tahun sekolah menengah. Teman – temannya ikut heboh, bahkan ada yang sambil bertepuk tangan mendengar jawaban itu.
“Ini jadi berapa semuanya?” sebuah suara menginterupsi kejadian barusan, hingga si rambut panjang menggeser posisi berdirinya agar tidak menghalangi kegiatan di meja kasir. Si petugas kasir terlihat amat terkejut dengan siapa yang menaruh keranjang belanjaan berisi sayuran di mejanya, dengan sebuah koran yang terilhat agak kusut.
Setelah menyebutkan nominalnya gadis itu langsung memberikan uangnya dengan cepat tanpa menatap mata si petugas kasir. Ia mengambil plastik belanjaannya dengan terburu – kemudian berjalan sambil setengah berteriak.
“Ambil saja kembaliannya!”
“T-terima kasih atas kunjungannya. Hati – hati di jalan.” Si petugas kasir menjawab dengan gugup dan wajah cemas. Ia menatap punggung gadis yang mengenakan hoodie berwarna biru muda itu sambil menghela napas. Mengabaikan suara sekelompok gadis yang membicarakan sosok yang baru saja pergi, terlihat agak mirip dengan sosok yang mereka bicarakan beberapa menit lalu.
Gadis itu tahu, suatu saat nanti hubungan mereka pasti akan berakhir dengan mengenaskan. Salahkan ia yang selalu menerima apa pun yang pria itu lakukan padanya, sekali pun itu sama saja dengan menyakiti hatinya sendiri. Ia bahkan menurut saja ketika pria itu meninggalkannya untuk bertemu wanita lain, bahkan mengobati luka yang ia terima dari wanita yang ‘hampir’ ia kencani. Bahkan lebih bodohnya tetap percaya kata – katanya.

Bahwa ia, akan tetap menjadi satu – satunya.

Pandangannya sudah mulai memburam, ia memutuskan untuk menaruh pisaunya dan memasukan potongan – potongan sayurnya kedalam panci. Tangannya dengan cepat mengaduk sup itu setelah memberi beberapa bubuk merica dan garam. Kemudian menyalakan apinya sedang untuk memanaskan supnya.
Tubuhnya merosot pada dinding, kini gadis itu jatuh terduduk di sudut dapur. Ia memeluk lututnya sendiri sambil mengeluarkan suara isakan. Air mata yang sudah ia tahan sejak lama akhirnya mengalir juga, membasahi lutut dan pipinya. Ia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri sekarang.
Pada awalnya ia tidak merasakan apa – apa sama sekali, merasa bahwa keadaannya akan baik – baik saja selama ia bisa bertahan dan lelaki itu tidak melewati batas. Tapi perasaan cemasnya tetap ada, hingga setiap kali ia tenggelam dalam lengan lelaki itu yang selalu memeluknya yang harusnya memberikan perasaan aman, malah membuatnya semakin khawatir akan akhir dari semua kisah ini. Dia tidak ingin memikirkan hal buruk yang akan terjadi nanti, tapi disisi lain ia juga tidak ingin diam saja dan malah jatuh terlalu dalam.
Sepanjang tahun ini perjuangannya memang terasa melelahkan, tapi tidak terasa berat sampai hari ini.
Mungkin inilah alasan mengapa ia tidak pernah mau mengikuti lelaki itu ketika ia pergi untuk berjalan dengan wanita lain, tidak memiliki rasa ingin tahu untuk mengetahui apa saja yang mereka lakukan dibelakangnya. Ia sendiri takut hal ini terjadi.
Sekarang awal mereka bertemu di depan gerbang sekolah, setiap kali lelaki itu membawakan es krim saat ia sedang sedih, atau sekedar menghiburnya lewat telepon sudah menjadi kenangan buruk baginya. Perayaan hari jadinya yang pertama juga kini hanyalah potret lain yang pantas untuk hangus terbakar bersama seluruh mimpi lainnya.

Harusnya ia tahu, kapan untuk berhenti.

Harusnya ia tahu, bahwa semuanya pasti akan berakhir seperti ini.

Harusnya ia tahu itu.

Ia bukanlah satu – satunya.

Dan ia harus sadari itu.
Don’t go, if you go
You know you’ll fall for him again
Ia mengabaikan bunyi bel yang berdering dari depan rumahnya, sudah mengetahui siapa orang yang berada di balik pintu dari cara menekan bellnya yang berturut – turut. Gadis itu cukup sakit hati dan tidak ingin bertemu dengan pria itu sekarang. Tidak dalam keadaan seperti ini.
Hingga ia mendengar suara agak nyaring yang memanggil namanya, disertai langkah kaki yang mendekat perlahan. Ia telah menghentikan tangisnya, dan menghapus jejak air matanya tanpa ekspresi, namun tidak sedikitpun merubah posisi duduknya.
“Kau..menangis?” ujar sosok yang kini sudah ia benci itu disampingnya, pria itu berlutut mensejajarkan posisinya dengan gadis yang masih dalam posisi duduk di lantai.
“Iya dan bukan urusanmu.” Jawab gadis itu dingin sambil membuang wajahnya ke arah lain, tidak mau menatap lensa hitam bening milik pria itu yang selalu membuatnya tenang. Pria itu mendekat dan mengusap pelan kepalanya lembut, menyisir helaian rambut pendek gadis itu yang sebatas bawah telinga.
“Maaf.” Ucapnya terdengar sungguh – sungguh, diakhiri dengan helaan nafas panjang darinya.
“Aku tadi…hmm. Maaf aku tidak tahu kau ada disana jadi terpaksa mengatakan itu. Ya…kau tau kan.” Ujarnya terputus – putus sambil tetap membelai rambut gadis nya dengan lembut. Gadis itu mendecak pelan dan berusaha bangkit dari posisi duduknya.
“Maafkan aku karena selalu menyakiti perasaanmu.” Tangan pria itu berada di kedua pundak gadis dihadapannya, yang secara otomatis menghentikan pergerakannya yang hendak berdiri tadi. Permintaan maafnya terdengar tulus, hmm bahkan sebelumnya tidak pernah meminta maaf sama sekali mengenai hobi jeleknya itu.
“Maafkan aku karena kau sudah menunggu terlalu lama.” Ucapannya barusan membuat pipi gadis dihadapannya kembali basah, ia menundukan kepalanya, membiarkan air matanya jatuh dengan bebas bahkan beberapa tetes jatuh diatas lantai.
“Aku tau kau sudah pernah mendengar ini musim hujan tahun lalu tapi…” kedua tangan pria itu menangkup wajah gadis dihadapannya, membuat mereka kini saling menatap dalam. Ibu jari pria itu menghapus jejak air mata di pipi sang gadis sambil berkata “Aku tidak pernah mendengarkan jawaban darimu jadi, aku ingin mendengarnya sekarang.”
Gadis itu menatap mata dihadapannya, mata yang membuat ia dulu tenggelam dalam warna hitamnya, tenggelam dalam tatapan hangat itu dan memutuskan untuk tetap bertahan di sisinya. Tetap jatuh cinta padanya.
 “…kau mau kan, menjadi kekasihku?”
Tangan pria itu beralih menggenggam tangan sosok di hadapannya, menyalurkan rasa hangat yang menjalar lewat telapak tangannya. Kini gadis itu menggigit bibir bawahnya menahan malu, karena dulu saat musim hujan itu ia malah pergi dan mengalihkan pembicaraan. Ia sadar kini tidak ada yang bisa mengalihkan perhatiannya dan ia harus menjawab jadi-


“Aku…mau.”


-ia menerimanya. Setelah tadi ia mengutuknya habis – habisan dalam hati dan menangis layaknya orang putus cinta lainnya. Setelah untuk memutuskan untuk melupakannya dan menganggap bahwa ini adalah akhir dari semuanya. Heol.

Pria dihadapannya tersenyum bahagia, memamerkan sederet gigi putihnya dengan mata yang berbinar. Gadis dihadapannya mengerucutkan bibir seraya menunduk, ia merasa malu sekali sekarang, sambil menatap lantai menyembunyikan pipinya yang merona, tapi ia malah melihat tangannya yang sedang digenggam pria itu dan malah membuat pipinya semakin merah.
Sebuah tangan mendarat di pipi sebelah kirinya, jemarinya menelusuri pipi itu hingga berakhir pada dagu gadis itu yang kini dipegang ibu jari dan telunjuknya, menarik gadis itu untuk mendongak dan menatap wajah dihadapannya.
I see myself going back on it
I don’t understand myself

Mata pria itu kini menatap lurus ke mata coklat yang kini menatapnya tanpa berkedip. Sorot matanya beralih dari lensa coklat itu kemudian menatap bibir semerah stroberi dihadapannya bergantian. Jemari yang tadi berada di dagunya kini menarik wajah itu mendekat, hingga jarak antara wajah mereka hanya sekitar tiga jari saja.

Mereka sudah merasakan hembusan nafas mereka masing – masing karena jarak mereka yang terlalu dekat, bahkan semakin dekat hingga pucuk hidung mereka bergesekan. Kedua insan itu sudah mulai menutup kedua pelupuk matanya hingga

“Ah iya supnya!” terdengar suara air yang mengalir keluar dari panci karena masakan itu sudah mendidih dan mengenai kompor di bawahnya.

Setelah itu hanya terdengar suara tawa seorang lelaki dan kekasihnya yang sibuk mematikan kompor dan mengomel karena lupa mematikan kompornya sejak tadi.
Kekasihnya?

Tentu saja, sekarang mereka sudah resmi untuk saling menyebut dengan ‘kekasih’ kan?

Yes no maybe
I don’t know my heart
I try to not see you ever again
But I’m going to you again
Now no more baby
I hate myself for doing this, hate me
I can’t not see you

But I can’t see you either

Don’t do this
I tell myself this is the last time
But yet again



THE END

Astaghfirullah ini apaan :” maaf ya udah lama gak nulis jadinya aneh gini, ga rame heu :” dimohon komennya supaya aku semangat nulis lagi ahaha. Terimakasih sudah menghabiskan waktu nya untuk membaca ini! Laff <3 

Selasa, 29 November 2016

Autumn Sleeves

Autumn Sleeves

Author : Miranti Rizkika

Kind of Songfiction-Oneshot

Genre : Romance

Length : 2563 words

Published : November, 30th 2016

It’s been a long time! Hope you like it ^-^



Uncertainty tipped me makes the wind feel cool
Rather than open the wardrobe to take the long sleeves
The memories that I forgot came to me
I covered the tears in front of me

Aku terdiam, diatas kursi dekat meja belajarku. Menatap kosong pada lembaran - lembaran berisi hapalan, yang semalam sudah kukerjakan setengah mengantuk, semacam persiapan ujian yang dipaksakan. Tapi kini aku malah menyia-nyiakannya. Jangankan menghapal satu kalimat, menatap judulnya saja sudah muak. Aku lelah. Bosan.

Diluar rumah pasti jalanan sudah dipenuhi daun - daun yang menguning, berguguran karena memang sudah waktunya. Pantas udara mulai agak dingin, aku bahkan baru tersadar setelah tatapan beralih pada jemariku yang berada dibalik sweater rajutan, yang kau berikan padaku dua tahun lalu.

Ah. Dia lagi.

Aku mengikat rambutku asal, bermaksud kembali mengumpulkan tekad untuk mempelajari bahan ujian. yang sama sekali tak kusentuh sejak tadi pagi. Aku beralih menatap jadwal ujian yang dengan sengaja kutempel di dinding, menghitung waktu. Ujian tinggal menghitung jam, sekitar 17 jam lagi, diantara setiap mata kuliah ada jeda istirahat dua jam jadi-


Dua jam ya? Bukankan perbedaan waktu disini dan disana itu dua jam?


Dia. Lagi. Bodoh.


“Argh.” aku mengerang tanpa sadar. Membenci diriku sendiri yang tidak pernah bisa fokus pada lebih dari satu hal. Satu hal mengganggu, satu lagi urusannya akan terabaikan. Aku sudah seperti ini sejak semalam, padahal setahun terkahir ia sudah tidak pernah begini. Tak ada rasa rindu berlebihan, atau mengingat satu hal kecil yang ada sangkut pautnya dengan pria itu akan mengganggunya. Tentu saja aku memang merindukannya setiap hari, tapi, kali ini berbeda. Kini tubuhku rasanya lemas sekali, seperti kehabisan tenaga. Mungkin tekanan semester ini memang sangat berat, mungkin aku kurang menikmati kuliah saat ini, atau mungkin...aku hanya merindukannya.

Hanya itu.

---
Did i live pretend to not concern, pretend to be okay?
The hurt memories makes my head downs again
It becomes clear again your unheard laugh voice
When you filled my heart fully 


Kuhirup udara segar di sekitarku, jalan - jalan sebentar keliling sekitar rumah boleh saja kan? Bukan tidak mau belajar, aku hanya mengumpulkan ‘mood’ untuk kesiapanku menyerap hapalan tentang Rencana Anggaran Biaya dan teman - temannya yang harus dihitung dengan cepat, sesuai contoh kasus yang diberikan nantinya.


Membayangkan rumus - rumusnya membuat aku merasa mual. Astaga, kini nominal pemesanan jasa dan pemasangan kusen pintu dan jendela seperti berterbangan didepan mataku.


Ugh.


Sebaiknya aku duduk dan mencoba kembali berpikir jernih. Beberapa langkah dari tempatku sekarang terdapat kursi kosong, dengan beberapa helai daun berjatuhan keatasnya. Cantik sekali. Padahal biasa saja sih. Aku hanya berlebihan, mungkin karena stress. Ya ampun, sekarang aku bahkan berbicara sendiri dalam kepalaku, sepertinya aku hampir gila.


Aku menggelengkan kepalaku perlahan, membuat seorang ibu - ibu menoleh ke arahku dengan wajah bingung. Aku memutuskan untuk tidak menghiraukannya dan mempercepat langkahku untuk duduk di kursi itu. Aku menghela napas pelan, kemudian menyandarkan punggungku yang lelah ke sandaran kursi kayu itu. Manik mataku menangkap pemandangan helaian kekuningan yang berjatuhan dari pohon diatas kepalaku, tanpa sadar bibirku mengulas senyuman. 


Indah.


Tanganku merogoh saku mantel, mencari ponsel berwarna putih yang mungkin sekarang sudah ketinggalan jaman, ya mau bagaimana lagi, belum rusak dan belum harus diganti.


Hingga beberapa detik kemudian layarnya berkedip empat kali saat aku menekan tombol buka kunci, oh...mungkin memang harus di perbaiki sedikit, awal bulan nanti aku akan pergi ke tempat temanku dan minta untuk dibetulkan. Lumayan kan, gratis.


Tepat saat layar ponselku kembali normal, aku baru menyadari foto yang kupilih sebagai latar belakang layar kunci. Seorang pria berambut hitam yang menatap tepat ke arah kamera, namun posenya sedikit tidak siap, dengan krim kopi yang mengiasi bibir atasnya. Dia agak kesal ketika aku memotretnya tanpa membiarkan dirinya menggunakan gaya sok keren andalannya, atau gaya imut yang cocok untuk digunakan oleh anak umur lima tahun yang selalu digunakannya untuk menghibur aku yang sedang sedih. Namun bagiku foto ini adalah yang paling kusukai diantara fotonya yang lain. Ia terilhat sedikit menggemaskan, namun tidak melunturkan satu persen pun ketampanannya.

Aku baru tersadar dari lamunan setelah layar ponselku kembali mati, karena aku terlalu lama menatap fotonya. Ck, berarti aku harus menggeser tombol kunci dan menunggunya untuk berkedip empat kali lagi. Aku membuka ponselku (setelah layarnya berkedip empat kali tentu saja, rrrr) dan terdapat satu pesan masuk, dari teman kelasku yang meminta materi ujian. Kukirimi ia beberapa foto catatan yang kupotret sebelumnya (siapa tau aku akan belajar sebelum tidur jadi kupotret saja), lalu menggeser kursor ke menu kontak. Jariku refleks menggulir kursor kebawah, mengamati satu persatu orang yang berada pada daftar kontakku. Perlahan menurun menuju abjad nama penggunya yang digunakan olehnya, mataku langsung menatap layar status terakhir yang ia tulis.

Sibuk’

Aku, benci kata itu. Kata itu membuat aku jauh darinya selama ini, setahun pertama ia masih bisa menghubungiku setiap hari meskipun tak sesering dulu saat aku masih tahun pertama kuliah dan ia masih melakukan persiapan untuk pelatihan. Namun beberapa bulan berikutnya ia mulai jarang menghubungiku, setiap pesan yang aku kirimkan paling cepat akan ia balas setelah seharian. Pesan yang aku kirimkan pagi hari akan ia balas ketika malam hari saat aku sudah tertidur. Begitu setiap harinya sampai akhirnya aku lelah dan mulai larut dalam kesibukanku sendiri, begitu pun dia. Kami hanya sesekali saling menghubungi ketika larut malam, atau bahkan ketika ada momen penting untuk diceritakan.

Aku membuka percakapan terakhir yang kulakukan dengannya, sekitar delapan bulan yang lalu. Ketika ia berada di sela - sela waktu latihan dan diperbolehkan menggunakan ponsel.

Kau sedang apa?

Istirahat, akhirnyaa.

Sesibuk itu -_- sekarang kau boleh menggunakan ponsel?

Boleh, pelatihku sedang baik. Kami semua sekarang sedang bermain ponsel, rasanya seperti orang primitif saja kkk~

Apa kau sehat - sehat saja disana? Makan dengan baik? 

Tentu saja. Makanan disini enak, kau harus mencobanya, aku yakin kau akan menyukainya ^-^

Bagaimana caranya? Jarak antara kita  3280 mil T-T

Ah, kau membuat aku sedih T-T. Tunggu saja, akan ada saatnya aku kembali :)

Cepatlah kembali

Aku harus kembali berlatih, pria itu mulai marah - marah tidak jelas lagi -_-. Aku pergi yaa, jaga kesehatanmu.

Cepat sekali :’(

Kkkk~ maaf. 
Oh iya, berjanjilah padaku, jangan menangis :)

Jangan menangis katanya? Dasar bodoh. Aku mengingat seberapa marahnya aku saat itu dan memutuskan untuk tidak membalas kembali pesannya. Sedikit berharap ia akan kembali menghubungiku setelah itu. 

Tapi tidak. 

Hal itu tidak pernah terjadi, 


sampai saat ini.

---
After struggling like that, I try to look for you again
I took you out the day when I miss you a lot
I struggling hold it, I closed my heart
Only the good memories left
Forget everything 
Setelah lelah berjalan selama beberapa jam, aku memutuskan untuk kembali ke kamarku yang hangat. Musim gugur memang terasa lebih dingin dari biasanya, membuat diriku jadi merasa lebih betah berada di rumah. 

Aku perlahan berjalan menuju kamarku sambil menjinjing sepatu boot warna oranye kecoklatan yang tadi kupakai, menaruhnya sembarangan didalam rak sepatu. Dingin sekali, aku harus menghangatkan diriku.

Aku melepaskan mantel hitamku dan menggantungnya dekat pintu masuk, kemudian berjalan perlahan menuju dapur dengan kaki sdikit berjingkat. Bagaimana bisa lantainya juga terasa dingin astaga -_-.

Tanganku meraih gagang pintu lemari makanan dan menggesernya, mencari bungkusan berwarna perak berisi bubuk coklat. Segelas coklat hangat sudah terbayang di otakku, kini aku membuka pembungkus itu tergesa, kemudian tiba - tiba bungkusan itu terjatuh. Bubuk coklatnya mengotori lantai, isi didalam bungkusnya mungkin tinggal seperempat. Aku-

Jangan ceroboh, kau ini sudah kepala dua.

Kalimat itu tiba - tiba memasukki pendengaranku, aku sedikit terkejut dengan ingatan itu yang tiba - tiba berputar layaknya roll film. Aku menatap kosong kearah lantai yang kotor. Pikiranku melayang entah kemana. Kini aku dapat mendengar sekilas suara tawa kecilnya melewati gendang telingaku.


Setetes air mata mengalir dari mata kananku, aku terkejut dan mengerjapkan kelopak mataku. Aku mengelap jejak buliran di pipiku dengan ujung lengan sweaterku, berusaha menahan sesak itu sekuat tenaga. 


Aku berjongkok dan mengambil bungkusan coklat itu dan menuangkan sisanya kedalam gelas, ternyata masih tersisa banyak, hanya sedikit yang terbuang. Kemudian mengisinya dengan air panas dan mengaduknya tidak sabar, aku mengerucutkan bibirku kesal.

Karena coklat hangatnya tidak utuh, ah bukan-



Aku merindukannya.



Sungguh.



Rasanya seperti mau mati saja.

---
The familiar your warm fragrant
It still lingers at the end of my nose
My wishes slowly go far away
Flowing following you go

Selesai!

Setelah menghabiskan segelas coklat hangat tadi aku mulai merasa dipenuhi energi, dan memutuskan kembali ke kamarku untuk melanjutkan hapalan yang tadi tertunda. Aku menulis kembali rangkuman dari beberapa catatanku, berharap terdapat beberapa bahasan yang menempel di kepala. 

Jam sudah menunjukan pukul delapan malam. Aku merentangkan tubuhku, beberapa tulangku berbunyi, setelah berjalan kemudian duduk seharian yang membuatku begitu merasa pegal. Sedikit rasa lega memasuki ruang dadaku, setidaknya satu targetku hari ini terselesaikan, tinggal menunggu takdir yang aku harap membantuku menyelesaikan ujian dengan hasil yang baik.

Aku tersenyum tipis, sedikit teringat akan kecerobohanku tadi, dan tangis yang tadi begitu kuat aku tahan. Memang begitu seharusnya, begitulah biasanya. Aku kuat, aku tidak akan menangis hanya gara - gara merindukannya di pertengahan musim gugur. Aku tidak akan mengingatnya dalam keadaan sedih, aku hanya akan mengingatnya sebagai penyemangatku. 

Bukankah kami sedang sama - sama berjuang? Aku sangat percaya padanya disana, dan aku tidak akan menyia-nyiakan kepercayaannya yang ia titipkan padaku.

Tanganku meraih pinggiran tempat tidur dengan lemah, menggerakan badanku kearah kasur dan merebahkan tubuhku diatasnya. Mendesah lega, akhirnya kini tubuhku terasa nyaman, tulang punggungku terasa amat lurus sekarang. Aku meraih selimut berwarna biru tua dengan motif bintik putih itu dengan lemah, menutupi dari ujung kaki sampai leherku.

Aku menatap kearah jam dinding, berusaha untuk mengantuk karena sebenarnya aku merasa sangat lelah, tapi mataku tidak juga mau terpejam.

Aku mengamati pergerakan jarum berwarna merah itu, dan sedikit demi sedikit mulai merasa mengantuk. Aku mulai menguap dan air mata mulai terasa di pelupuk mataku. Ini saatnya aku memasuki alam mimpi, aku harus ti-

♫ We share our hobbies like forcing together a puzzle
I used to call you “hey” but now you’re “baby”
It’s such a familiar scene, like dejavu  

Ya ampun, sebegitu merindunya ya? Aku sampai mendengar ringtone yang aku pilihkan khusus untuk panggilan darinya, rasanya aku sampai lupa kalau aku yang memilihkan lagu itu untuknya, eh tapi sebentar-

Drrrt...Drrrt...
♫ You feel it too, this is a bit funny
Like the development, crisis, peak and ending of a book
It’s always the same process, it’s just that
The temperature of dating gets hot then cools down
It’s always been like that so I can’t even get butterflies anymore ♫ 

Itu bukan khayalan??

Aku terbangun dengan cepat sampai merasakan sakit di pinggangku. Setelah sedikit mengumpat sambil mengelus pinggang yang sakit, aku meraih ponselku terburu, dan menatap fotonya yang muncul di layar dengan simbol telepon berwarna hijau dibawahnya. Aku masih memasang wajah datar saking terkejutnya, kemudian menggeser kursor untuk menjawab panggilan.

“H-Halo?”
“Hello baby how are you”
Ujarnya dengan suara agak serak, aku merasa sangat senang mendengar suaranya kembali, namun daru suaranya aku memperkirakan kalau ia sedang tidak sehat. Tunggu, dia tadi menyapaku ala drama amerika? Eww...
“Cih.” Decakku dengan nada agak geli dengan ucapannya barusan. Kemudian aku mendengar suara tawanya yang teramat aku rindukan, bahkan aku bisa melihat bagaimana ia tertawa saat ini hanya melalui suaranya.
“Bagaimana kabarmu?”
“Aku, baik. Hanya sedikit lelah karena harus belajar untuk ujian.”
“Uh, besok sudah mulai ujian ya.”
“Iya.”

Aku mendengar suaranya menghela napas, ia seperti amat kelelahan namun tetap berusaha menghubungiku. Kemudian tiba - tiba sambungan terputus.
Aku sedikit terkejut karena tiba - tiba teleponnya ditutup. Mataku menatap layar ponsel yang sudah kembali ke layar wallpaper biasa. Mungkin, aku tadi benar bermimpi.

Ah sudahlah.

♫ We share our hobbies like forcing together a puzzle
I used to call you “hey” but now you’re “baby”
It’s such a familiar scene, like dejavu  

Dengan gerakan secepat kilat aku mengangkat panggilannya, dan kali ini panggilan video. Aku langsung mengangkatnya begitu saja tanpa persiapan, tak menyadari kalau rambutku kini sudah setengah berantakan.

Perlahan gambaran kotak-kotak itu mulai membentuk sesosok wajah yang aku rindukan, ia tersenyum dan melambaikan tangannya pelan. Aku tersenyum dan ikut melambai dengan kaku.

“Maaf, aku ingin melihat wajahmu jadi langsung kututup telponnya.”

“Ah iya, tidak apa-apa. Jadi bagaimana hari-harimu?”

“Melelahkan, tapi menyenangkan juga. Keahlianku bertambah dan aku punya banyak teman baru. Beberapa diantara mereka menanyakan tentang dirimu.”

“Kemudian kau bilang apa?” ujarku sambil setengah tertawa melihat wajahnya yang agak kecut setelah mengatakan itu.

“Aku tidak bilang apa - apa, tidak ada satupun dari mereka yang boleh mengetahui tentangmu. Aku tidak mau membagi informasi tentang pacarku.” ucapnya sambil sedikit memanyunkan bibir, aku tertawa dan ia juga membalas tawaku. Kutatap matanya yang kini terdapat garis hitam dibawahnya, ia pasti lelah sekali.

“Kau pasti sangat merindukanku kan? Sudah lama aku tidak menghubungimu. Tenang saja aku merindukanmu juga~”
“Huh aku...tidak.”
“Aaah ayolah, aku tau kau sangat sangat sangattt merindukanku. Kau pasti mengingatku apa pun yang kau lakukan, mendengar suaraku bahakn ketika aku tidak ada disana dan bahkan memandangi fotoku seharian sambil menangis. Iya kan? Mengaku sajaa~” ujarnya dengan nada percaya diri, bermaksud menggodaku.

“A-aku...hiks.”

Tawanya berhenti setelah mendengar suaraku. Ia terdiam dan menatapku dalam - dalam disana. Aku sendiri sudah tidak bisa mengontrol keadaanku, mulai terisak pelan.

“Maafkan aku.”

Mendengar suaranya kembali membuat tangisku semakin pecah. Pandangan mataku mulai tidak jelas karena air mata mendesak keluar, wajahnya mulai samar - samar. Ia tetap terdiam disana, menatapku tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.


“Aku merindukanmu.”


Sambil terisak aku mengatakan itu agak keras, terdapat emosi yang meluap disana.

“Aku merindukanmu!”

  
Aku menekuk lututku dan membenamkan wajahku disana, dengan tetap memegang lurus ponselku. Terlihat samar - samar ia bergerak mendekati layar, berusaha melihat lebih dekat keadaanku saat ini. Setelah tangisanku reda, ia tersenyum menatapku.


“Sudah?”


Aku mengangguk mengiyakan, menatap matanya yang kini terlihat terluka. Sesaat kemudian ia mengerang frustasi, kemudian memandang ke arah belakang ponselnya.


“Sekarang tanggal berapa?”

“Mmm...30 Agustus.”

Ia menggumamkan tanggal sambil tetap memandang ke arah belakang ponselnya, bibirnya seperti sedang menghitung sesuatu. Aku mengira jika ia sedang memandang kalender yang tergantung disana.


“Ah! Bulan depan aku ada libur, aku akan berusaha agar bisa pulang menemuimu.”


Ia tersenyum lemah, kemudian ibu jarinya mengusap layar, terasa seperti ia berusaha menghapus jejak airmataku dengan jemarinya. Aku memandangnya dalam. Begitu aku sangat merindukannya, hingga sedalam ini.


“Ah atau aku kabur saja besok ya? Mungkin aku bisa bolos sekitar dua hari dan mengatakan ada urusan darurat disana lalu-”

“Kau tidak perlu melakukannya.”


“Aku bisa! Tidak apa - apa kan hanya dua ha-”


“Aku bilang tidak usah, aku baik - baik saja.” ia berhenti kemudian menatapku cemas, kemudian kembali mengusap layar, berusaha mengusap pipiku dari sana. Aku tersenyum senang, setidaknya aku juga tau kalau ternyata ia juga merindukanku, ia berusaha menemuiku.


“Oh iya, bulan Januari nanti aku boleh kembali menggunakan ponsel! Aku akan langsung menghubungimu ketika itu terjadi.”


“Woah.Benarkah?”


Ia mengangguk antusias, kemudian tersenyum manis. Aku membalas senyumannya, kemudian mengelap sisa air mata di ujung mataku.

“Aku juga merindukanmu. Kau tau itu kan? Aku, tidak akan pernah berhenti memikirkanmu. Bahkan aku merindukanmu lebih dari kau merindukanku. Jadi, kuatlah, ya?”

Ia berkata dengan suara beratnya, membuat aku amat tenang dan merasa sangat kuat saat itu juga. Bahkan mendengar suaranya saja begitu membuatku dipenuhi energi.

“Aku mencintaimu.” ujarnya setengah berbisik

“Aku juga.” ujarku ikut berbisik sepertinya. Ia tersenyum dan melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan. Aku ikut melambai padanya, dan ia tertawa kecil kemudian mengakhiri panggilannya. Setelah aku merebahkan kembali tubuhku keatas kasur, aku mendapat sebuah pesan suara darinya. Kubuka pesan itu dan mendekatkan ponselku ke telinga untuk mendengar pesan darinya.

“Jangan menangis, aku merindukanmu. Selamat ujian!”


---THE END---